Konten dari Pengguna

Sains Dibalik Pohon Mati Karena Kekurangan Air (Kekeringan)

Lampu Edison
Edison 9955 kali gagal menemukan lampu pijar yang menyala. Jika ia berhenti di percobaan ke 9956, mungkin sekarang kita tidak akan punya lampu.
10 Mei 2021 14:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lampu Edison tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Layaknya manusia, pohon sangat bergantung pada air namun bagaimana dalam pandangan sains pohon dapat mati begitu saja karena kekeringan?

ADVERTISEMENT
Kita pasti sering melihat ada pohon yang mati kekurangan air atau tanaman di rumah kita sendiri yang lupa kita siram sampai akhirnya mati kekeringan. Namun pernahkah kita membayangkan proses apa yang terjadi pada pohon tersebut? Ketika pohon mati selama musim kemarau, mereka mati kehausan seperti layaknya manusia yang tidak minum selama beberapa hari. Para peneliti dari University of Basel telah menunjukkan dalam sebuah studi yang diteliti pada kejadian di lapangan bahwa runtuhnya sistem hidrolika (air) yang cepat menyebabkan kematian pada pohon yang berada pada area sekitarnya. Mereka (para peneliti) menemukan bahwa pohon-pohon itu mungkin mati lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya karena kekurangan air, baik dari akarnya maupun hujan yang turun dari langit.
tree and water illustration | pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
tree and water illustration | pixabay.com
Hal yang dapat menjadi bukti kekeringan yang melanda pohon-pohon dan menyebabkan kematian adalah adanya gelombang panas yang terjadi beberapa tahun silam. Tepatnya, gelombang panas musim panas 2018 adalah situasi yang luar biasa, baik untuk alam maupun untuk penelitian itu sendiri. Meskipun hal itu sangat berdampak pada ekosistem pepohonan kita, namun hal itu juga memberikan kesempatan bagi para peneliti di Universitas Basel untuk mempelajari secara dekat reaksi pepohonan terhadap fenomena cuaca ini. Kelompok penelitian yang dipimpin oleh Profesor Ansgar Kahmen telah menyiapkan area penelitian di sebuah kota bernama Basel-Landschaft di Hölstein pada tahun sebelum terjadinya gelombang panas tersebut. Tujuan dari para ilmuwan tersebut adalah mempelajari tajuk pohon 30 meter di atas tanah menggunakan derek untuk menentukan bagaimana spesies pohon asli seperti cemara Norwegia merespons perubahan iklim yang terjadi pada lingkungan sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Penelitian ini tentu menggambarkan kondisi kehidupan nyata yang dialami oleh pohon-pohon tersebut walaupun tak lama kemudian, gelombang panas musim panas 2018 turun seperti yang kita bahas di atas. Menurut Dr. Matthias yang terlibat dalam penelitian tersebut, hal ini merupakan kesempatan bagi para peneliti dimana untuk pertama kalinya mereka (para peneliti) dapat mengamati di alam apa dampak kekeringan pada pohon-pohon besar dan tua ketika gelombang panas itu terjadi secara langsung. Sebagai bagian dari studi yang dilakukan, para peneliti mempelajari 10 pohon cemara Norwegia yang dipilih secara acak, semuanya berusia lebih dari 100 tahun dan tingginya sekitar 30 meter. Mereka melakukan beberapa hal dalam penelitian ini untuk mengukur fluktuasi musiman dalam neraca air di kanopi. Secara teori, dengan sistem akarnya yang datar, pohon cemara Norwegia sangat rentan runtuh. Pohon itu mungkin mati karena sistem hidrolik yang mengangkut air ke atas dari tanah juga ikut runtuh dan tidak tersedia lagi ketika gelombang panas datang.
Dying trees illustration | pixabay.com
Para peneliti menegaskan bahwa pengamatan pada pepohonan menderita selama musim kemarau bukanlah hal baru. Namun hal yang jauh lebih penting adalah memahami proses yang menyebabkan kematian pohon ini dan inilah yang sebenarnya ingin dicapai oleh para peneliti dalam penelitian yang dipublikasikan di jurnal ilmiah PNAS ini. Mereka beranggapan bahwa hal ini adalah satu-satunya cara bagi mereka untuk memastikan proses pemodelan yang lebih baik di masa mendatang, agar hal ini dapat dicegah jika suatu saat kondisi gelombang panas jauh lebih ekstrim. Di sisi lain, studi tersebut juga membuat temuan yang mengejutkan yaitu sistem hidrolik yang runtuh dengan sangat cepat, walaupun para peneliti berasumsi bahwa titik kritis ini tercapai ketika sebagian besar akar di tanah yang mengering kehilangan kontak dengan kelembaban tanah. Prakiraan ini tentu sangat sulit, karena ini bukan proses linier yang lambat, tetapi yang terjadi sangat tiba-tiba, dengan sistem pengambilan dan pengangkutan air yang gagal dalam waktu hanya beberapa hari.
ADVERTISEMENT
Hasil baru menyimpang dari nilai ambang kematian sebelumnya yang diidentifikasi di laboratorium, yang berarti bahwa sistem hidrolika pohon rusak lebih cepat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini terjadi karena dehidrasi tidak berkembang secara linier dan pohon tidak dapat pulih dari keruntuhan sistem hidrolika, dan akibatnya mati secara perlahan. Para peneliti menyimpulkan bahwa pohon cemara Norwegia secara khusus merespon lebih sensitif terhadap kekeringan daripada yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini terjadi perkiraan periode ekstrim kekeringan akan semakin sering terjadi di masa depan, sehingga kita harus memikirkan spesies pohon lain yang mungkin dapat mengatasi kekurangan air dengan lebih baik.