Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Studi: Bias Manusia Terhadap Orang Jelek
8 September 2020 8:46 WIB
Tulisan dari Lampu Edison tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Seringkali kita mendengar ungkapan 'don’t judge a book by its cover', jangan melihat seseorang dari penampilan luarnya, bahwa penampilan luar seseorang tidaklah penting. Sayangnya, kenyataan tidak sebaik yang kita sangka selama ini. Sebuah penelitian yang digarap oleh Christoph Klebl, Professor Brock Bastian, Dr Katie Greenaway, dan Joshua Ju-suk Rhee dari University of Melbourne menemukan adanya bias manusia terhadap seseorang yang dianggap berpenampilan jelek. Simak ulasannya.

Dilansir dari Pursuit, Universitas Melbourne, penelitian tersebut menemukan adanya psikologi bias manusia terhadap orang maupun sesuatu yang dianggap jelek terikat dengan respons bawaan manusia yang dirancang untuk memberi peringatan akan objek yang mungkin mengandung penyakit yang berpotensi berbahaya.
ADVERTISEMENT
Pernyataan di atas bukan berarti menunjukkan bahwa orang jelek (tidak menarik) lebih berpotensi terserang atau menyebarkan penyakit, tapi menyatakan bahwa respons naluri alamiah manusia terhadap objek yang dianggap jelek telah melampaui logika berpikir manusia.
Behavioural immune system
Studi Klebl dkk. (2020) dimulai dengan asumsi bahwa terdapat konsensus/kesepakatan penilaian tentang apa yang dianggap jelek pada manusia, hewan, dan bangunan −meskipun asumsi tersebut pada akhirnya subjektif− Studi ini dilakukan untuk mengetahui mekanisme psikologi dibalik penilaian tersebut. Selain itu studi ini juga bertujuan untuk mengetahui apakah penilaian tersebut terkait dengan ‘sistem kekebalan perilaku’ (behavioural immune system) pada manusia. Behavioural immune system adalah sebuah frasa yang merujuk pada serangkaian mekanisme psikologis yang memungkinkan seorang individu mendeteksi potensi keberadaan parasite/penyakit di sekitar diri mereka dengan menggunakan emosi ‘jijik’.
ADVERTISEMENT
Sistem kekebalan tersebut membantu sistem kekebalan fisiologis manusia dengan menjadi garda pertahanan pertama. Salah satu contoh aplikasi sistem kekebalan perilaku yaitu, cairan tubuh orang asing –seperti air liur, keringat− sering kali membuat seseorang merasa jijik, dan kontak dengan orang asing tersebut akan meningkatkan peluang untuk tertular penyakit menular.
Penelitian Klebl dkk menemukan bahwa wajah manusia yang dianggap jelek, hewan jelek, dan bangunan jelek akan menimbulkan 'rasa jijik'.
Ada atau tidaknya tanda-tanda sebuah penyakit (misalnya lesi/kondisi abnormal pada kulit, dengan atau tanpa peradangan) menandakan bahwa manusia telah membuat penilaian atas suatu ‘kejelekan’, yang menunjukkan bahwa manusia merespon ide adanya keberadaan patogen/penyakit. Secara sederhana, penilaian kejelekan (ugliness judgments) mengaktifkan sistem kekebalan perilaku, yang memiliki fungsi melindungi dari potensi ancaman patogen atau penyakit.
ADVERTISEMENT
Namun begitu, faktanya, tidak ada ancaman patogen yang nyata dari objek yang dianggap jelek. Dengan mengaktifkan sistem kekebalan perilaku, secara tidak sadar manusia memperlakukan orang yang dianggap jelek dan tidak menarik seolah-olah mereka mengidap penyakit menular. Hal ini tentu berdampak pada menstigmatisasi orang-orang dengan perbedaan wajah atau tubuh.
The ugly truth – betapa biasnya manusia
Bertentangan dengan yang kita dengar selama ini, ternyata pada umumnya ada ‘kesepakatan’ di antara orang-orang tentang apa yang jelek dan apa yang tidak jelek. Dan kebanyakan orang tidak menyadari betapa biasnya mereka.
Sebagai contoh, penelitian-penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa orang yang tidak menarik cenderung tidak dipekerjakan atau mendapatkan promosi pekerjaan, lebih mungkin ditemukan bersalah, lebih mungkin menerima hukuman lebih berat, dan bahkan lebih mungkin tidak terpilih sebagai kandidat politik.
ADVERTISEMENT
Penelitian lain juga menemukan bahwa orang-orang lebih kecil kemungkinannya untuk menyumbang dana konservasi spesies hewan yang ‘kurang menarik’. Ada banyak hewan yang terancam punah, namun sayangnya sulit memotivasi orang untuk melindunginya karena hewan tersebut dianggap jelek, seperti kelelawar dan lemur.
Melawan bias
Bias seperti ini jelas membuat objek yang dianggap jelek dan tidak menarik merasa dirugikan dan merasa terpinggirkan. Ada mekanisme psikologis yang berperan saat melihat seseorang atau sesuatu yang kita anggap jelek, yang kemudian mengesampingkan logika manusia. Namun begitu, bukan berarti mekanisme psikologi ini tidak bisa dilawan. Dengan menyadari adanya bias pada penilaian kejelekan, maka diharapkan manusia bisa mendahulukan logika daripada respons naluriah terhadap objek yang dianggap jelek dan tidak menarik.
ADVERTISEMENT
Sumber:
https://doi.org/10.1177/1948550620931655
https://pursuit.unimelb.edu.au/articles/the-ugly-truth