Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Studi Pada Tikus Ungkap Fakta Mengapa Stres Menyebabkan Rambut Rontok
11 April 2021 19:32 WIB
Tulisan dari Lampu Edison tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Telah menjadi rahasia umum bahwa stres merupakan salah satu penyebab munculnya uban dan rambut rontok, tetapi belum diketahui alasan pasti di balik fenomena ini. Sebuah studi baru pada tikus telah menemukan jawaban kunci tentang hubungan yang sangat penting antara stres dan rambut kita.
ADVERTISEMENT
Dalam penelitian yang telah dipublikasikan di jurnal Nature tersebut, para peneliti tidak hanya mengidentifikasi hormon stres utama yang memperlambat pertumbuhan rambut, mereka bahkan telah menemukan jenis sel dan molekul yang bertanggung jawab dalam transmisi sinyal stres.
Ya-Chieh Hsu, anggota tim yang merupakan ahli biologi dari Universitas Harvard, menjelaskan, tim menemukan bahwa stres sebenarnya menunda aktivasi sel punca atau stem cell, dan secara mendasar mengubah frekuensi hair follicle stem cell (HFSC) dalam meregenerasi jaringan.
Dikutip dari Science Alert, folikel rambut memiliki peranan mengontrol pertumbuhan rambut pada mamalia. Sementara itu, sel punca ditemukan dalam siklus alami antara periode pertumbuhan dan periode istirahat. Para peneliti mengkonfirmasi bahwa tikus yang stres mengalami pertumbuhan rambut yang terbatas. Hal ini disebabkan karena stres akan memperpanjang waktu istirahat sel punca.
ADVERTISEMENT
Tim peneliti juga mengidentifikasi efek kortikosteron sebagai hormon stres terhadap pertumbuhan rambut. Mereka memberi tikus ekstra kortikosteron yang akan memberikan efek stres pada hewan, sama seperti ketika kita memiringkan kandang atau mengedipkan lampu.
Sementara itu, pembedahan untuk menghilangkan sumber hormon stres memberikan efek berlawanan, di mana folikel rambut pada tikus terus beregenerasi dengan jeda istirahat yang singkat, bahkan saat hewan bertambah tua (seiring bertambahnya usia mamalia, folikel biasanya menjadi kurang aktif).
Hal ini menunjukkan bahwa pada tikus, kortikosteron memiliki efek pengaturan yang penting dalam hal pertumbuhan rambut — bahkan pada tingkat normal — dan stres tambahan bisa menjadi alasan mengapa folikel rambut dan sel puncanya menjadi tidak aktif dalam waktu yang lebih lama.
ADVERTISEMENT
Menurut Sekyu Choi, peneliti utama dan ahli biologi dari Universitas Harvard, awalnya tim menduga bahwa hormon stres mengatur sel punca secara langsung, namun dugaan itu salah. Sebaliknya, mereka menemukan bahwa hormon stres sebenarnya bekerja pada sekelompok sel kulit di bawah folikel rambut, yang dikenal sebagai papila kulit.
Papila kulit diketahui mendukung HFSC serta mengontrol aliran nutrisi, dan sel-sel inilah yang tampaknya berinteraksi dengan kortikosteron, bukan HFSC. Secara khusus, hormon stres menghentikan sel papila kulit mengeluarkan protein yang disebut growth arrest-specific 6 atau GAS6.
Eksperimen lanjutan menunjukkan bahwa penambahan GAS6 di atas kadar kortikosteron normal dan tinggi pada tikus akan mengaktifkan HFSC dan mendorong pertumbuhan rambut melalui protein AXL yang meneruskan pesan tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun, apakah tubuh manusia memiliki mekanisme yang sama dengan tikus?
Manusia memiliki hormon stres yang setara yang disebut kortisol, tetapi penelitian lebih lanjut sangat diperlukan untuk menentukan apakah hormon tersebut bereaksi dengan cara yang sama seperti kortikosteron pada tikus.
Ada juga beberapa perbedaan antara cara kerja siklus pertumbuhan rambut pada tikus dan manusia, meskipun sebagian besar mesin biologis untuk rambut mamalia benar-benar serupa.
Jika temuan ini berhasil diterjemahkan ke dalam biologi manusia, maka ini dapat mengungkapkan keterkaitan stres kronis dengan kerontokan rambut, sehingga dapat dicari solusi yang tepat terkait masalah ini.
Stres dapat berdampak baik untuk tubuh manusia jika masih dalam jumlah yang tepat, tapi juga bisa menyebabkan banyak kerusakan. Jadi, setiap individu harus mampu mengelola stres dengan baik sehingga tidak mengalami efek samping yang dapat mengganggu.
ADVERTISEMENT