Tingkat Kelembapan di Pesawat Sama Rendahnya dengan Gurun Sahara

Lampu Edison
Edison 9955 kali gagal menemukan lampu pijar yang menyala. Jika ia berhenti di percobaan ke 9956, mungkin sekarang kita tidak akan punya lampu.
Konten dari Pengguna
20 November 2018 22:52 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lampu Edison tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebuah pepatah mengatakan, semakin tinggi suatu pohon berdiri, maka terjangan anginnya pun akan semakin kencang. Bagi pesawat terbang sendiri, semakin tinggi kendaraan ini mengudara, maka akan semakin rendah kelembaban yang dirasakan.
ADVERTISEMENT
Hal ini dikarenakan udara di ketinggian memiliki kadar air yang lebih rendah daripada udara di dekat permukaan. Umumnya kadar kelembaban yang dimiliki kabin pesawat yaitu sekitar 20 persen atau kurang darinya. Rendahnya kelembaban ini hampir menyamai, bahkan lebih rendah dari kelembaban yang terdapat pada Gurun Sahara.
Gurun yang disebut sebagai gurun pasir panas terbesar tersebut rata-rata kelembabannya berada pada kadar 25 persen. Sementara pada kondisi normal di rumah, kelembaban udara yang dianjurkan berkisar antara 30-50%, tergantung pada lingkungan dan cuaca. Tentu saja kadar yang rendah memberikan berbagai dampak terhadap tubuh kita.
Dehidrasi merupakan salah satu masalah atau dampak yang paling sering dialami para penumpang pesawat. Terlebih ketika kita berada pada perjalanan yang panjang. Untuk tiap jamnya, udara yang kering dapat menyebabkan penurunan air dalam tubuh sebanyak 8 ons.
ADVERTISEMENT
Sehingga bila kita melakukan perjalanan yang memakan waktu hingga 10 jam misalnya, maka jumlah air dalam tubuh yang terbuang yakni sekitar 2 liter.
Sebuah eksperimen yang dilakukan dalam sebuah simulator dengan kondisi layaknya di dalam pesawat terbang juga menunjukkan adanya penurunan status hidrasi yang signifikan. Terhitung dalam waktu 6 jam, jumlah air dalam tubuh merosot sebanyak 2 persen meskipun mereka telah minum 400ml air.
Pesawat Lion Palu-Balikpapan sempat oleng saat turbulensi. (Foto: Dok. Situr Wijaya)
Semakin rendah tingkat kelembaban yang kita alami dapat pula berpotensi menyebabkan membran mukosa pada hidung, mulut, dan tenggorokan menjadi kering. Akibatnya kemampuan mukosa sebagai perangkap bagi bakteri dan virus juga menjadi kurang efektif dan efisien.
Hal ini secara tidak langsung membuat penumpang pesawat akan merasakan kelelahan, iritasi, hingga terserang penyakit seperti batuk dan pilek. Berkurangnya sebanyak 1-2 persen air dalam tubuh turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap bagian-bagian pada tubuh di antaranya kondisi emosi, kognisi, perhatian, memori, dan kemampuan berpikir kritis.
ADVERTISEMENT
Sekitar 50 persen dari penurunan jumlah air pada tubuh diketahui dialami tanpa kita sadari atau rasakan, karena sebagian besar terjadi melalui proses respirasi (pernapasan).
Kondisi berkurangnya kadar air tanpa disadari (insensible water loss) ini berkaitan dengan adanya kombinasi antara lingkungan yang sedikit hipoksia, sehingga meningkatkan laju pernapasan, dan udara kabin yang kering.
Oleh karenanya menjadi sulit untuk mencegah atau menurunkan jenis dehidrasi semacam ini. Akan sangat disarankan bagi mereka yang melakukan perjalanan panjang untuk mengonsumsi air atau melembabkan kulitnya agar terhindar dari dehidrasi berlebih.
Namun, perlu diperhatikan untuk tidak mengonsumsi minuman yang justru akan menimbulkan efek diuretik, seperti minuman berkafein dan beralkohol.
Pada pesawat yang tergolong modern, masalah rendahnya kadar kelembaban di dalam kabin telah menjadi perhatian yang penting.
ADVERTISEMENT
Untuk membantu menjaga kondisi udara agar sedikit lebih lembab selama penerbangan, para penumpang beserta kru kabin dapat menghirup udara yang berasal dari udara segar (udara dari lingkungan bebas) dan udara yang telah disirkulasi ulang.
Dibanding hanya menghirup udara segar, menggunakan kombinasi udara ini juga dapat membuat pengaturan temperatur di pesawat menjadi lebih mudah. Persediaan udara awalnya dialirkan dari bagian kompresor pada mesin.
Pesawat Merpati Nusantara Airlines. (Foto: instagram @aal_ehem)
Udara yang telah dikompres merupakan udara yang sangat panas, namun kompresor hanya bertugas untuk memampatkan dan tidak ada berhubungan dengan gas pembakaran.
Udara hasil kompresi ini dikenal sebagai “bleed air.” Dari sana, udara panas akan dimasukkan ke dalam unit pendinginan udara untuk didinginkan. Selanjutnya udara yang telah dingin dialirkan ke dalam kabin melalui kisi-kisi, lubang angin, atau bola gas mata di atas tempat duduk.
ADVERTISEMENT
Udara akan bersirkulasi hingga airnya ditarik ke bawah badan pesawat, di mana sekitar setengahnya dibuang ke laut akibat tersedot keluar oleh katup bertekanan yang mengalirkannya keluar. Sisa dari udara yang tidak terbuang (sekitar 33-50%) kemudian dicampur kembali dengan pasokan udara segar dari mesin dan dijalankan melalui sistem penyaringan.
Waktu rata-rata yang diperlukan untuk mengalirkan udara dari lubang angin menuju katup pembuangan secara berkelanjutan ialah sekitar 10 menit. Ini artinya, setelah 20 menit waktu perjalanan, hanya terdapat 7 sampai 25 persen udara yang kita bawa ke kabin dari luar.
Sehingga jika kita melakukan penerbangan selama satu jam saja, pada dasarnya kita sudah tidak lagi menghirup udara bebas dari lingkungan, melainkan udara yang sudah dikompres dari ketinggian.
Pilot dan kopilot di kokpit pesawat. (Foto: AFP/Adek Berry)
ADVERTISEMENT