Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.0
Konten dari Pengguna
Taman Dipangga, Ruang Terbuka Hijau Bersejarah yang Terabaikan
11 Februari 2019 20:06 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:04 WIB
Tulisan dari Redaksi Lampung Geh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
![Deretan huruf penunjuk Taman Dipangga yang sudah tidak sempurna lagi | Foto: Latifah Desti Lustikasari/lampunggeh.co.id](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1549889857/nhtpkmxlehewjnzibqbc.jpg)
Lampunggeh.co.id, Bandar Lampung — Tentu masih amat lekat di ingatan, terutama bagi kita warga Lampung yang bermukim dekat dengan salah satu gunung berapi aktif di Indonesia. Pada 22 desember 2018, sejarah kembali mencatat, kita menutup tahun dengan tragedi erupsi Gunung Anak Krakatau (GAK) yang kemudian memicu terjadinya gelombang tsunami di pesisir Selat Sunda.
ADVERTISEMENT
Pada momen itu, setidaknya ada 430 korban tewas di daerah Banten dan Lampung dengan kerugian materil yang tak kalah besar. Tinggi GAK yang sebelumnya mencapai 338 Meter di atas permukaan laut (mdpl), kini hanya bersisa 110 mdpl saja. Setidaknya 70-80% volume Gunung Anak Krakatau habis terkikis.
Sadarkah bahwa erupsi GAK seolah mengajak kita untuk tidak begitu saja mengabaikan tragedi mematikan tahun 1883, peristiwa meletusnya Gunung Krakatau yang begitu dahsyat. Kemudian diabadikan pada Monumen Mercusuar Taman Dipangga di Jl. Wolter Monginsidi, Teluk Betung Selatan.
Sejarah tidak melulu untuk konsumsi teman-teman yang sedang duduk di bangku sekolah. Terlepas dari kewajiban seorang pelajar, kita semua perlu "melek" dan peduli pada sejarah. Hendak dibawa ke mana jati diri kita, jika peristiwa sejarah di daerah sendiri saja tidak paham.
ADVERTISEMENT
Cerita Dibalik Monumen Mercusuar Taman Dipangga
Menurut catatan, letusan Gunung Kakatau tahun 1883 dimulai sejak bulan mei. Hingga Agustus mencapai puncaknya, terjadi letusan dahsyat yang berlangsung selama 19 jam tanpa henti. Amat mengerikan!
Gunung berapi di tengah Selat Sunda itu memuntahkan material vulkanik ke udara hingga setinggi 90 km. Debu bercampur kerikil menghujam hingga radius 300 ribu km. Ledakannya berkekuatan amat fantastis, setara dengan 21.547 bom atom yang menghancurkan Nagasaki dan Hirosima. Terbayangkah, bagaimana kepanikan warga Lampung kala itu?
Letusan Gunung Krakatau menimbulkan gelombang tsunami setinggi 40 m dengan kecepatan 500 km/jam. Pemukiman penduduk di area 10 km dari pesisir pantai Banten dan teluk Lampung tidak kuasa menahan sapuan dan terjangan gelombang air laut.
ADVERTISEMENT
Harta benda yang hilang tidak lagi tercatat jumlahnya. Sedangkan korban nyawa sekitar 36 ribu jiwa. Angka yang sangat fantastis jika meninjau kepadatan penduduk tahun 80-an tidak setinggi saat ini.
Tidak cukup sampai di sana, dampak letusan Gunung Krakatau turut dirasakan oleh seluruh warga dunia. Bumi mengalami kegelapan akibat debu vulkanik memenuhi atmosfer dan suhu global ikut turun. Hingga beberapa tahun kemudian, anomali cuaca terjadi. Salju turun di China saat musim panas dan sinar matahari meredup di Eropa yang berimbas pada terhambatnya laju fotosintesis tanaman pertanian.
Bukti paling konkrit, yang bisa kita lihat dan kenang dari dahsyatnya letusan Gunung Krakatau tahun 83 hingga detik ini, yaitu terhempasnya mercusuar kapal muatan barang bernama De Broh hingga bagian pesisir Teluk Lampung. Ya, mercusuar ini yang menjadi cikal bakal monumen di Taman Dipangga.
ADVERTISEMENT
Di bangun pada tahun 1981, Taman Dipangga sempat memiliki prasasti marmer yang mengisahkan tentang sejarah letusan Gunung Krakatau. Dikelilingi patung gajah, patung beruang, patung badak, dan pepohonan rindang beserta rerumputan hijau. Bahkan fasilitas rekreasi publikpun ada.
Sayangnya seiring berjalannya waktu, ia tidak terawat lagi. Menjadi korban vandalisme dan parahnya prasasti marmer di sana juga turut dicuri oleh tangan tak bertanggung jawab. Seolah tak bertuan, Ruang Terbuka Hijau (RTH) milik warga Bandar Lampung ini benar-benar diabaikan.
Padahal monumen Krakatau yang terletak persimpangan jalan WR. Supratman dan Wolter Mongonsidi ini juga berfungsi sebagai monumen nol kilometer Lampung. Dari sinilah titik nol kilometer untuk perhitungan jarak antar kota di Provinsi Lampung bermula.
Kini si saksi bisu dahsyatnya bencana akibat letusan Krakatau 1883 silam ini memang masih bisa diakses. Namun keadaannya sudah jauh berbeda sebab setengah area taman sudah dialih fungsikan sebagai lahan parkir.
ADVERTISEMENT
Taman Dipangga tampak lebih bersih dari serakan sampah dan jejak vandalisme juga lenyap. Namun bersamaan itu relief yang menuangkan gambaran aktivitas masyarakat pra kejadian dan kepanikan yang melanda masyarakat kala Gunung Krakatau meletus tahun 80-an lengkap dengan hempasan debu vulkanik dan gelombang tsunami juga ikut lenyap.
Bahkan gambaran masyarakat Lampung yang panik, berbondong-bondong mengungsi dengan membawa barang-barang di atas kepala yang tertuang di atas relief Taman Dipangga turut tersapu perubahan jaman dan kebijakan.(*)
Laporan reporter Lampunggeh Latifah Desti Lustikasari
Editor : M Adita Putra