Konten Media Partner

Aksi Damai, Solidaritas Perempuan Sebay Lampung Tuntut Keadilan Iklim di COP29

18 November 2024 19:57 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aksi damai Perempuan Bersuara atas Iklim: Menuntut Keadilan Iklim di COP29 yang dilakukan oleh Solidaritas Perempuan Sebay Lampung di Tugu Adipura | Foto : Ist
zoom-in-whitePerbesar
Aksi damai Perempuan Bersuara atas Iklim: Menuntut Keadilan Iklim di COP29 yang dilakukan oleh Solidaritas Perempuan Sebay Lampung di Tugu Adipura | Foto : Ist
ADVERTISEMENT
Lampung Geh, Bandar Lampung – Solidaritas Perempuan Sebay Lampung menggelar aksi damai bertajuk Perempuan Bersuara atas Iklim: Menuntut Keadilan Iklim di COP29, pada Senin (18/11).
ADVERTISEMENT
Aksi ini dilakukan di Tugu Adipura, Bandar Lampung, untuk menyuarakan kritik terhadap pendekatan pemerintah Indonesia dalam negosiasi perubahan iklim di COP29 yang berlangsung di Baku, Azerbaijan.
Ketua Solidaritas Perempuan, Armayanti Sanusi, menyoroti bahwa solusi iklim yang disampaikan Utusan Khusus Delegasi RI, Hashim Sujono Djojohadikusumo, pada sidang plenary 12 November lalu lebih berorientasi pada investasi dan pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan keadilan sosial.
"Alih-alih menuntut tanggung jawab negara-negara maju atas krisis iklim, pemerintah justru mempromosikan proyek transisi energi yang merampas hak hidup masyarakat, terutama perempuan dan komunitas adat," tegas Armayanti.
Aksi damai Perempuan Bersuara atas Iklim: Menuntut Keadilan Iklim di COP29 yang dilakukan oleh Solidaritas Perempuan Sebay Lampung di Tugu Adipura | Foto : Ist
Solidaritas Perempuan mengkritik dampak negatif dari proyek energi bersih seperti Geothermal di Poco Leok dan PLTA Poso. Proyek ini dinilai menyebabkan kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan pemiskinan perempuan.
ADVERTISEMENT
"Di Poco Leok, tanah adat dirampas, air tercemar, dan tanaman seperti vanili, cengkeh, serta kopi rusak. Sementara itu, di Poso, masyarakat kehilangan sumber protein ikan akibat keramba tenggelam akibat meningkatnya debit air untuk PLTA," jelasnya.
Mereka juga mengkritisi proyek Food Estate yang diklaim sebagai solusi krisis pangan, namun dianggap memperburuk krisis lingkungan dan sosial.
"Proyek Food Estate justru menyebabkan feminisasi kemiskinan dengan menghancurkan ruang kelola masyarakat. Di Kalimantan Tengah, misalnya, banyak lahan proyek ini terbengkalai atau berubah menjadi perkebunan sawit," tambahnya.
Armayanti menegaskan bahwa perempuan menghadapi dampak berlapis dari krisis iklim, seperti gagal panen, gagal tangkap, hingga migrasi yang eksploitatif.
Ia mendesak pemerintah memastikan bahwa kebijakan transisi energi dan iklim tidak meminggirkan perempuan.
ADVERTISEMENT
"Keadilan iklim hanya dapat tercapai jika hak-hak masyarakat terdampak diakui dan dilindungi, serta ada pengakuan atas kontribusi perempuan dalam menjaga lingkungan," pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Solidaritas Perempuan Sebay Lampung, Reni Yuliana, menekankan bahwa aksi ini bertujuan mendorong pemerintah Indonesia untuk memprioritaskan keadilan iklim yang inklusif dan berkeadilan gender di forum COP29.
Dalam aksi tersebut, Solidaritas Perempuan menyampaikan lima tuntutan utama:
1. Menghentikan proyek transisi energi yang merampas hak hidup masyarakat.
2. Menghentikan perluasan proyek Food Estate yang tidak berkelanjutan.
3. Menjalankan Rencana Aksi Nasional Gender Perubahan Iklim (RAN-GPI) dengan melibatkan perempuan secara bermakna.
4. Mengakui pengetahuan perempuan dalam adaptasi dan mitigasi iklim.
5. Menuntut tanggung jawab negara-negara maju atas krisis iklim melalui pendanaan yang adil, transparan, dan responsif gender.
ADVERTISEMENT
Aksi ini menjadi seruan bagi pemerintah untuk memanfaatkan forum internasional seperti COP29 sebagai momentum memperjuangkan keadilan iklim yang berpihak kepada masyarakat rentan, khususnya perempuan. (Cha/Put)