Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Aktivitas Produksi Teri Asin di Pulau Pasaran Pasca Tsunami
20 Februari 2019 14:27 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:04 WIB
ADVERTISEMENT
Lampunggeh.co.id, Bandar Lampung - Tentu kita masih ingat pada tragedi tsunami yang menerjang pesisir Lampung dan Banten pada 22 Desember 2018 silam. Akibat pasang tinggi dan longsor bawah laut aktifitas Gunung Anak Krakatau (GAK) kala itu, setidaknya 426 orang tewas, 7.202 terluka dan 23 orang hilang.
ADVERTISEMENT
Dua bulan pasca tsunami, Lampung Geh tertarik untuk menilik aktivitas pulau reklamasi yang berlokasi di teluk Kota Bandar Lampung yang menjadi sentra teri asin pada Rabu (20/2). Pasalnya tidak banyak yang mengetahui bahwa teri-teri asin itu ditangkap dari lautan Krakatau dan sekitarnya.
Pulau Pasaran, masuk dalam area Kelurahan Kota Karang, Kecamatan Teluk Betung Timur, Bandar Lampung. Pulau seluas 12 hektare dengan penduduk lebih dari 100 kepala keluarga ini, tampaknya memang tidak terdampak langsung dengan gelombang tsunami Selat Sunda.
Hal ini dibuktikan dengan jembatan sepanjang 100 meter yang menghubungkan Pulau Pasaran dengan daratan Kota Karang masih kokoh berdiri dan aktivitas warga berjalan seperti hari-hari biasa.
Dilansir dari tribunlampung.co.id, gelombang besar kala itu hanya menyebabkan beberapa bagan nelayan hancur karena tidak kuat menahan terjangan arus dan beberapa bagian jembatan rusak ringan karena tertabrak kapal nelayan yang tengah bersandar.
ADVERTISEMENT
Aktivitas warga Pulau Pasaran dimulai sejak pagi sekitar pukul 08.00 WIB, ketika kapal-kapal motor nelayan yang membawa hasil tangkapan ikan semalam merapat. Kapal-kapal yang didominasi dari Pulau Sebesi itu membawa hasil tangkapan berupa teri jengki.
Teri jengki (engraulis sp.) merupakan salah satu jenis ikan teri yang banyak digemari di Indonesia. Teri jengki berasal dari keluarga engraulidae. Memiliki ukuran lebih besar dari teri medan (teri nasi) atau sekitar 3-5 cm. Memiliki warna kuning kehitaman dan bertekstur garing saat digoreng.
Anto, salah satu nelayan yang pagi itu sedang menurunkan teri-teri dari kapalnya bertutur, "Melautnya dari sore sekitar jam lima, menjaring teri di dekat Krakatau pakai bagan congkel yang ditarik dua kapal. Pagi baru dibawa ke sini (Pulau Pasaran) untuk dijual."
ADVERTISEMENT
Dalam sekali melaut, Anto dan teman-teman nelayan yang berjumlah 8 orang bisa mendapatkan teri basah antara 1-4 ton banyaknya. Pendapatan ini bergantung pada cuaca, gelombang laut dan musim ikan.
Sebelum dijual ke pengolah, teri-teri hasil tangkapan nelayan itu terlebih dahulu direbus di atas kapal menggunakan api yang bersumber dari gas LPG. Lalu teri-teri itu ditempatkan dan ditiriskan pada bakul-bakul kecil untuk kemudian diangkut ke daratan menggunakan gerobak.
Awalnya Pulau Pasaran tidak hanya mengolah teri asin saja, beberapa di antaranya juga mengepul dan mengolah ikan asin. Namun seiring waktu berjalan, permintaan akan teri asin kian meningkat, sehingga industri yang saat ini berkembang lebih kepada pengolahan teri asin.
ADVERTISEMENT
Tidak melulu teri jengki, di pulau ini juga diproduksi teri nasi sebagai bahan baku industri. Sayangnya teri nasi semakin sulit diperoleh kendati harga dan permintaannya tinggi.
Abdul Aziz, salah seorang pengolah teri asin mengaku sudah menjalani bisnis ini sejak lima tahun silam. "Teri nasi itu mahal harganya sekitar 100-120 ribuan sekilonya. Tapi saya tidak memroduksi, karena jarang nelayan yang bawa. Kalau teri jengki lebih murah antara 40-50 ribuan saja sekilonya."
Azis mengaku setiap hari ia bisa membeli 1-5 ton teri basah. Pagi itu, ia membeli sebanyak 2 ton teri dari kapal nelayan yang bersandar. Saat kering bobot teri-teri itu akan berkurang hingga setengahnya. Dari 2 ton yang Azis beli ia akan memperoleh 1 ton teri kering yang siap dikirim ke pemesan.
ADVERTISEMENT
Ketika reporter Lampung Geh menanyakan perihal peristiwa tsunami dua bulan silam, baik Azis maupun Anto menjawab senada, yakni peristiwa tsunami tidak terlalu berdampak pada industri teri asin di Lampung.
Anto bertutur, "Itu memang gelombangnya tinggi, cepat naik, cepat juga surutnya. Membikin warga di Sebesi panik dan mengungsi. Tapi beberapa hari kemudian kami melaut lagi. Kalau tidak melaut tidak ada pemasukan," jelasnya lebih lanjut.
Sementara Azis mengaku tidak menghentikan produksi teri asin di tempat usahanya, meskipun pasokan teri yang ia peroleh saat tsunami terbilang sedikit. Namun tiga hari berselang, pasokan teri kembali normal.
Hujani, salah seorang sesepuh di Pulau Pasaran mengaku sudah mulai mencari teri di perairan Selat Sunda sudah sejak tahun 1965-an. Kala itu rumahnya di daerah Gudang Lelang terbakar, membuat ia dan keluarganya pindah ke pulau reklamasi ini dan mulai ikut menangkap teri.
Sejak kala itu hingga kini industri teri asin di Pulau Pasaran semakin berkembang saja. Ada sekitar 50-an industri teri asin di dalam Pulau Pasaran yang berhasil menampung pekerja hingga ratusan orang dari Kota Karang dan sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Ropiah, warga Kota Karang yang merupakan salah seorang pekerja di industri teri asin mengaku menggeluti pekerjaan ini sejak tahun 90-an dengan upah perhari hingga 50 ribu rupiah, yang ia gunakan untuk menghidupi tujuh orang anaknya.
Teri-teri asin ini dijemur selama kurang lebih setengah hari saat panas terik untuk menghilangkan kadar airnya, kemudian ikan jenis lain dan cumi-cumi yang turut tersangkut jaring dipisahkan sebelum dikemas ke dalam kardus.
Teri dari Pulau Pasaran tidak membutuhkan banyak proses penggaraman sebelum dijual. Proses penggaraman hanya difungsikan sebagai pengawet saja, berupa garam halus yang ditaburkan merata sebelum dikemas dengan kardus. Nantinya teri-teri ini akan dikirim utamanya ke daerah Jakarta dan beberapa di antaranya ke Medan menggunakan ekspedisi. (*)
ADVERTISEMENT
Laporan reporeter Lampung Geh Latifah Desti Lustikasari/lampunggeh.co.id
Editor : M Adita Putra