Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten Media Partner
Catahu LBH Bandar Lampung: Konflik Agraria dan Pelanggaran HAM Belum Selesai
3 Februari 2025 20:55 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Lampung Geh, Bandar Lampung – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung merilis laporan akhir tahun 2024 yang menyoroti tingginya angka konflik agraria, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), serta kemunduran demokrasi di Provinsi Lampung, pada Senin (3/2).
ADVERTISEMENT
Sepanjang tahun ini, LBH mencatat adanya 97 kasus pelanggaran HAM yang mereka dampingi, dengan 25 kasus di antaranya mendapatkan pendampingan penuh selama satu tahun.
Direktur LBH Bandar Lampung, Sumaindra, menyatakan bahwa masyarakat miskin dan kelompok rentan masih menjadi pihak yang paling terdampak oleh kebijakan dan tindakan yang merugikan mereka.
"Sering terjadi di Lampung, bagaimana ruang hidup masyarakat dirampas demi kepentingan investasi dan infrastruktur. Situasi ini tidak hanya merampas hak atas tanah, tetapi juga menimbulkan pelanggaran HAM dan kriminalisasi," kata Sumaindra, pada Senin (3/2).
Ia mengatakan bahwa, Lampung masih menjadi salah satu daerah dengan tingkat kerawanan agraria yang tinggi di Indonesia.
Laporan LBH Bandar Lampung mengungkapkan bahwa konflik tanah banyak terjadi di kawasan pesisir dan daerah yang menjadi bagian dari proyek infrastruktur strategis nasional.
ADVERTISEMENT
"Konflik agraria di Lampung bukan hanya soal kepemilikan tanah, tetapi juga bagaimana negara seharusnya hadir untuk melindungi rakyatnya dari kepentingan korporasi," lanjutnya.
Selain itu, LBH juga mencatat adanya berbagai bentuk kriminalisasi terhadap petani dan aktivis agraria.
"Mereka para petani yang memperjuangkan hak atas tanah kerap berhadapan dengan ancaman hukum yang dianggap tidak adil," ujarnya.
Selain konflik agraria, laporan LBH juga menyoroti isu ketenagakerjaan di Lampung, khususnya terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak.
Salah satu kasus yang disorot adalah PHK terhadap buruh perempuan di PT Philip.
"Kasus ini menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap hak-hak pekerja, khususnya buruh perempuan yang sering kali menjadi pihak paling rentan di tempat kerja," ujar Sumaindra.
Tidak hanya di sektor swasta, pekerja di Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) juga mengalami permasalahan serupa.
ADVERTISEMENT
LBH mencatat bahwa masih ada pekerja yang menerima upah di bawah standar dan tidak mendapatkan hak-hak dasar sebagaimana mestinya.
Laporan LBH juga menyoroti pelaksanaan Pemilu 2024 yang dinilai semakin menjauh dari prinsip demokrasi yang sehat.
Sumaindra menyebut bahwa proses politik di Lampung lebih banyak diwarnai oleh kepentingan kelompok tertentu dibandingkan aspirasi masyarakat.
"Pemilu seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki kondisi demokrasi, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Kepentingan rakyat sering kali diabaikan dan lebih banyak keputusan yang berpihak kepada elit politik," katanya.
Menghadapi berbagai persoalan ini, LBH Bandar Lampung bersama jaringan masyarakat sipil berupaya memperkuat pengawasan terhadap kebijakan pemerintah.
"Tantangan ke depan adalah bagaimana kita bisa memperkuat solidaritas di antara komunitas agar negara tidak bisa bertindak semena-mena terhadap rakyat," pungkasnya. (Cha/Put)
ADVERTISEMENT