Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Cerita Wanita asal Lampung Puasa di Swedia: Baru Kenyang Buka, Sudah Sahur Lagi
12 Mei 2020 16:50 WIB
ADVERTISEMENT
Lampung Geh, Swedia - Berpuasa merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim ketika di Bulan Ramadhan, tak terkecuali bagi Novita Supardi (25). Ya, wanita asal Bandar Lampung ini tetap menjalankan ibadah puasa selama 19 jam meski sedang menempuh program studi S2-nya di Stockholm University, Swedia.
ADVERTISEMENT
Awal mula Novita menginjak tanah Swedia saat ia diterima di Stockholm University melalui jalur beasiswa yang disediakan oleh pemerintah Swedia. Saat ini dirinya tengah menempuh semester 2 dari 4 semester yang wajib diselesaikan pada Jurusan Marketing.
"Saya daftar kuliah di Swedia ini karena ada beasiswanya, namanya Swedish Institute. Itu ada beberapa program beasiswa, untuk khusus orang Indonesia itu nama programnya Swedish Institute Scholarships for Global Professionals (SISGP)," ungkapnya saat diwawancarai Lampung Geh, Minggu (10/5).
Mengetahui program beasiswa tersebut, Novita langsung tertarik dan ikut mencoba berkompetisi agar bisa berkuliah di negara Eropa Utara yang berbatasan langsung dengan Norwegia dan Finlandia tersebut.
"Jadi saya lihat kok di Swedia ada beasiswa dari pemerintahnya, terus saya coba. Pas dicek juga jurusannya cocok, saya penuhi persyaratannya segala macam, alhamdulilah masuk," papar dia.
ADVERTISEMENT
Dan pada tahun ini merupakan pengalaman berarti bagi dirinya, di mana ia menjalani puasa yang jauh lebih lama dari Indonesia. Setidaknya Novita menjalankan ibadah puasa selama kurang lebih 18 hingga 19 jam.
"Sebenarnya awal puasa kayak mikir, kan bukanya jam 9 (malam) dan sahurnya harus pagi banget takut gak kebangun. Jadinya akhir-akhir ini gak tidur, awalnya berat tapi gimana lagi harus puasa. Lama-lama jadi biasa aja, mungkin puasanya udah agak lama jadi biasa aja. Cuma itu, buka ke sahurnya pendek banget waktunya," kata Novita.
Di Swedia, matahari terbenam sekitar jam 9 malam atau pukul 21.00 waktu Indonesia dan matahari terbit jam setengah 5 atau 4.21 waktu Indonesia. Jadwal imsak pun ditetapkan pemerintah Swedia pada pukul 2 dini hari waktu setempat.
ADVERTISEMENT
"Jadi baru kenyang sudah makan lagi, ya kita dicicil-cicil makannya. Kalau awal-awal itu makan buka terus tidur terus sahur, pas bangun masih kenyang. Di sini matahari terbit tiap harinya maju, sunset jam 9 malam imsak jam 2 malam, subuh 2.54 terbit (matahari) jam 4.21," ucapnya.
Lantaran situasi itu menjadi pengalaman pertama baginya, Novita sempat merasa tak nyaman dan tak yakin lantaran berpuasa lebih lama dari biasanya. Meski demikian ia tetap ikhlas menjalaninya sebagai kewajiban seorang muslim.
"Pengalamannya kirain bakalan susah, ternyata enggak juga biasa aja. Cuma lebih lama dan aneh. Jam 6 belum buka, matahari terbenam jam 9 (malam). Jadi semakin ke musim panas mataharinya semakin lama, hampir gak ada malam. Kalau tinggal di bagian yang lebih utara itu malah gak ada malam, sepanjang hari terang terus," urai dia.
ADVERTISEMENT
Namun kondisi itu berbanding terbalik jika berpuasa di musim dingin, ketika itu matahari terbit dan terbenam lebih cepat sehingga malam lebih lama dan berpuasa hanya 6 jam saja.
"Jadi siangnya lebih lama mau menuju musim panas, kalau suatu saat bulan puasanya musim dingin itu hanya 6 jam puasanya," ujarnya.
Suasana Ramadhan pun tidak terasa begitu kental seperti di Indonesia, tetapi beberapa supermarket di Swedia juga telah menyediakan buah kurma untuk sebagai takjil berbuka puasa.
"Kemarin di supermarket ada jualan kurma, sebenarnya kurma itu ditarok di tempat biasanya, tapi sekarang lebih di-display di depan, jadi kayak ada jualan takjil. Tapi di sini toleransi (agamanya) tinggi, paham juga kalau lagi Ramadhan jadi barang seperti kurma tarok di depan," beber dia.
ADVERTISEMENT
"Kalau di Swedia itu kebanyakan atheis gak punya agama, tapi kalau dikategorikan itu paling banyak Kristen Ortodoks, yang kedua Islam paling banyak. Karena banyak imigran di sini," imbuh Novita.
Warga Jalan Panglima Polim, Gang Randu, Kelurahan Segala Mider, Kecamatan Tanjung Karang Barat, Kota Bandar Lampung ini menerangkan jika suara azan pun tak terdengar ketika memasuki waktu salat.
"Di sini kita gak ada yang azan, tapi ada salah satu masjid di Stockholm sini bisa azan. Tapi cuma satu masjid ini aja di sini," terangnya.
Ujian yang dirasakan Novita juga ditambah dengan berpuasa di tengah pandemi COVID-19. Ia tak dapat buka puasa bersama teman-teman dan salat tarawih di masjid.
ADVERTISEMENT
"Puasa di tengah COVID-19 di sini gak bisa tarawih gak bisa ke masjid, ini kan ramadhan pertama saya di Stockholm jadi saya gak tahu sebenarnya kalau enggak ada COVID-19. Jadi saya tanya teman saya yang orang muslim Swedia, katanya di sini itu ada salat tarawih dan buka bersama juga sama muslim yang lain," ungkap dia.
Meski jumlah kasus positif COVID-19 jauh lebih banyak dari Indonesia, Novita menjelaskan pemerintah setempat masih mengizinkan jika melakukan perkumpulan kurang dari 50 orang.
"Tapi pandemi ini gak ada kegiatan itu, karena gak boleh ada perkumpulan lebih dari 50 orang. Kalau 10 masih boleh, di sini lebih santai daripada di Indonesia, kalau kasusnya lebih banyak dari Indonesia sudah 25 ribu. Karena mereka diomongin sekali langsung paham untuk social distancing, karena budayanya sudah social distancing jadi lebih mudah," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Social distancing juga selalu diterapkan oleh masyarakat Swedia ketika mengantre atau duduk di dalam kendaraan umum baik bus atau pun kereta.
"Kita kalau naik bus atau kendaraan lain di sini gak akan deket sama orang lain, kalau antre pun ada space-nya agak jauh. Kalau dikasih tahu suruh social distancing memang sudah social distancing," tambah dia.
Physical distancing juga memang sudah biasa diterapkan oleh negara 4 musim ini, mereka bersalaman atau bersentuhan hanya kepada orang terdekat maupun teman yang sudah lama kenal.
"Physical distancing juga mereka orangnya gak suka ada touch langsung kalau gak kenal dan gak dekat. Kalau di Indonesia kan suka kumpul rame-rame, kalau di sini lebih ke individualis. Kalau di Indonesia mau main ke rumah orang yaudah dateng aja, kalau di sini harus buat janji dulu, kalau tiba-tiba dateng gitu gak sopan," pungkasnya.(*)
ADVERTISEMENT
-------------
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona .
****
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.