Konten Media Partner

Gubernur Lampung Paparkan Tantangan Peningkatan PAD di Hadapan Komisi II DPR RI

29 April 2025 21:59 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi II DPR RI dan Menteri Dalam Negeri di Jakarta | Foto : Tangkaplayar Youtube
zoom-in-whitePerbesar
Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi II DPR RI dan Menteri Dalam Negeri di Jakarta | Foto : Tangkaplayar Youtube
ADVERTISEMENT
Lampung Geh, Jakarta – Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal memaparkan sejumlah tantangan fiskal yang dihadapi Provinsi Lampung dalam upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi II DPR RI dan Menteri Dalam Negeri di Jakarta, Selasa (29/4).
ADVERTISEMENT
Gubernur Mirza menyampaikan, meskipun Lampung memiliki potensi ekonomi dan demografi yang besar, namun realisasi PAD masih tergolong rendah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
“Lampung merupakan provinsi terpadat kedua di Sumatera setelah Sumatera Utara, dengan jumlah penduduk mencapai 9,4 juta jiwa. Namun, pertumbuhan ekonomi kami dalam beberapa tahun terakhir tidak pernah melampaui rata-rata nasional,” ujar Gubernur Mirza.
Ia menjelaskan, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Lampung pada tahun 2024 tercatat sebesar Rp483,8 triliun dan menjadi yang keempat terbesar di Pulau Sumatera.
Tiga sektor utama yang menopang PDRB tersebut adalah pertanian, industri pengolahan, dan perdagangan yang menyumbang sebesar 59,39 persen.
Meskipun demikian, Gubernur Mirza mengungkapkan, rasio Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terhadap jumlah penduduk di Lampung merupakan yang terendah di Sumatera.
ADVERTISEMENT
“Total APBD seluruh kabupaten dan kota di Lampung mencapai sekitar Rp32 triliun, namun hanya sekitar 6 persen berasal dari PAD. Di tingkat provinsi, PAD tahun 2024 mencapai 59 persen dari total APBD sebesar Rp8,3 triliun,” jelasnya.
Mirza juga menyampaikan, dari 15 kabupaten/kota di Lampung, sebanyak 10 hingga 11 daerah memiliki PAD di bawah 10 persen, bahkan ada yang hanya mencapai 3 persen.
“Ekonomi hidup, tetapi PAD kami kecil,” tambahnya.
Lebih lanjut, Gubernur Mirza menyoroti ketimpangan dalam struktur belanja daerah, khususnya belanja pegawai yang menyerap porsi besar dari anggaran daerah.
“Ada satu kabupaten yang belanja pegawainya mencapai 80 persen dari total APBD. Bahkan setelah mengikuti kewajiban mandatori, total belanjanya menjadi 105 persen, sehingga tidak ada ruang untuk belanja lainnya,” katanya.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini, menurutnya, menyebabkan sebagian besar pemerintah daerah di Lampung sangat bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat, yakni Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH).
“Dari total belanja daerah sebesar Rp7,5 triliun, hanya sekitar Rp1,2 triliun yang bisa dialokasikan untuk belanja modal, sementara kebutuhan daerah sangat besar, termasuk untuk infrastruktur jalan sepanjang 1.700 kilometer dan pelayanan kepada 9,4 juta penduduk,” jelas Mirza.
Ia juga menyinggung minimnya kontribusi fiskal dari aktivitas ekonomi besar yang berlangsung di wilayah Lampung, seperti pengiriman batu bara dan kegiatan ekspor-impor melalui pelabuhan.
“PT Bukit Asam mengirimkan 27 juta ton batu bara melalui pelabuhan di Lampung, tapi kami tidak mendapatkan apa pun kecuali Corporate Social Responsibility (CSR). Semua aktivitas dikelola Pelindo. Begitu pula dengan ekspor dan impor, tidak ada kontribusi fiskal langsung ke daerah,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Mirza menambahkan, Lampung juga tidak memiliki sumber daya tambang yang signifikan untuk mendongkrak PAD seperti halnya beberapa provinsi lain di Sumatera.
“Kami belum memiliki cara yang efektif untuk meningkatkan PAD secara signifikan. Sumber daya tambang tidak tersedia, dan meskipun kami dilalui alur distribusi komoditas, manfaat fiskal langsung hampir tidak ada,” pungkasnya. (Cha/Put)