Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.97.1
Konten Media Partner
Ibu Hamil Alami Pendarahan saat Penggusuran Lahan di Sabah Balau Lampung Selatan
14 Februari 2025 17:10 WIB
ยท
waktu baca 3 menit![Ibu hamil yang mengalami pendarahan saat di Desa Sabah Balau, Lampung Selatan. | Foto: istimewa](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jm1yspxm303j72nhge3yvywd.jpg)
ADVERTISEMENT
Lampung Geh, Bandar Lampung - Seorang ibu hamil bernama Mona mengalami pendarahan saat terjadi aksi penggusuran rumah warga di Desa Sabah Balau, Kabupaten Lampung Selatan, Rabu (12/2).
ADVERTISEMENT
Mona yang tengah mengandung tiga bulan mengalami insiden tersebut akibat dorong-dorongan saat menolak penggusuran lahan tempat tinggalnya.
Suami Mona, Anang menceritakan, istrinya awalnya dalam kondisi sehat sebelum kejadian. Namun, saat penggusuran berlangsung, terjadi ketegangan antara warga dan petugas. Dalam situasi tersebut, Mona terlibat dalam aksi dorong-dorongan hingga mengalami pendarahan.
"Karena cekcok dan dorong-dorongan, ibaratnya sudah main fisik itu. Karena dorong-dorongan itu namanya main fisik lah," ujar Anang.
Melihat kondisi istrinya yang mengalami pendarahan, Anang segera membawa Mona ke rumah sakit. Namun, ia mengaku tidak mendapat bantuan penuh dari pihak pemerintah.
"Ada yang mengantar ke rumah sakit, tapi setelah itu mereka pergi dan tidak mengurus lagi. Saya sampai kebingungan pas ditanya dari mana. Saya kira mereka sudah melapor, eh tahunya sudah pergi. Biaya juga saya sendiri yang tanggung. Setelah dari rumah sakit, saya masih harus berobat lagi ke dokter lain," ungkapnya.
Saat ini, Mona masih dalam kondisi lemah dan harus banyak beristirahat pasca mengalami pendarahan.
ADVERTISEMENT
Anang menyampaikan, sebelumnya mereka telah menerima tawaran kompensasi dari pemerintah sebesar Rp2,5 juta. Namun, menurutnya, jumlah tersebut sangat tidak mencukupi untuk biaya hidup setelah kehilangan tempat tinggal.
"Kompensasi dari pemerintah hanya Rp2,5 juta. Itu pun kalau dipakai untuk kontrakan mungkin hanya cukup untuk tiga bulan. Setelah itu kami harus ke mana? Kalau untuk DP rumah subsidi pun, memangnya ada yang DP-nya Rp2,5 juta?" keluhnya.
Anang sendiri mengaku sudah tinggal di lokasi tersebut sejak tahun 2020, meskipun lahan itu telah dimilikinya sejak 1999 untuk keperluan bertani. Setelah menikah pada 2020, ia membangun rumah dan menetap di sana hingga akhirnya rumahnya digusur.
"Saya tinggal di situ dari 2020, tapi saya sudah punya lahan di situ dari tahun 1999. Cuma saya belum bermukim, saya masih nyawah, nanam padi. Tahun 2000 saya bikin gubuk buat neduh aja. Terus saya menikah 2020, saya bangun rumah, saya tinggalin, akhirnya ini digusur sekarang," katanya.
Kini, Anang dan keluarganya harus berpindah tempat tinggal sementara. Ia mengaku masih sering kembali ke lokasi rumahnya yang sudah rata dengan tanah untuk mengamankan barang-barang yang tersisa.
"Saat ini saya masih sering ke sana. Kalau jam 1 atau jam 2 saya pulang ke tempat orang tua, karena masih harus mengamankan barang yang masih ada di sana, takut dijarah orang. Soalnya pas kejadian kemarin juga banyak barang saya yang hilang. Kalau mau nuntut juga nuntut siapa?" tambahnya.
Anang mengaku sangat dirugikan oleh penggusuran ini. Selain kehilangan tempat tinggal, ia juga kehilangan banyak perabotan dan alat rumah tangga yang tidak bisa diselamatkan saat proses penggusuran berlangsung.
"Sangat merasa dirugikan karena tempat tinggal hilang dan juga banyak perabotan atau peralatan rumah tangga yang hilang setelah digusur," tutupnya. (Mam/Ansa)
ADVERTISEMENT