Konten Media Partner

Krisis Harga Singkong: DPRD Lampung Desak Stabilisasi dan Penetapan HET

11 Desember 2024 21:24 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Komisi II DPRD Lampung, Ahmad Basuki | Foto : Ist
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Komisi II DPRD Lampung, Ahmad Basuki | Foto : Ist
ADVERTISEMENT
Lampung Geh, Bandar Lampung – Para petani singkong di Lampung semakin terpuruk akibat harga jual yang terus anjlok hingga Rp717,5 per kilogram setelah potongan.
ADVERTISEMENT
Ketua Komisi II DPRD Lampung, Ahmad Basuki, menyebut kondisi ini sebagai ancaman serius terhadap kesejahteraan petani dan keberlanjutan sektor pertanian di provinsi tersebut.
“Harga singkong yang anjlok ini adalah persoalan mendesak. Kami akan segera berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan dinas terkait untuk mencari solusi konkret,” ujar Ahmad, saat dikonfirmasi pada Rabu (11/12).
Ahmad mengusulkan beberapa langkah strategis untuk mengatasi persoalan ini, termasuk kebijakan stabilisasi harga melalui penetapan harga dasar yang adil bagi petani.
Selain itu, ia juga menekankan pentingnya penguatan koperasi petani untuk meningkatkan posisi tawar di pasar.
"Kami juga mendorong pengembangan industri hilir berbasis singkong, seperti tepung tapioka dan bioetanol. Dengan begitu, nilai tambah singkong bisa meningkat, dan ketergantungan pada pasar bahan mentah bisa dikurangi," tambah Ahmad.
Anggota Komisi II DPRD Lampung dari Fraksi Gerindra, Fauzi Heri | Foto : Ist
Ahmad memastikan DPRD juga akan fokus pada solusi jangka pendek.
ADVERTISEMENT
"Kami akan mendorong pemerintah untuk memanggil pengusaha singkong dan perwakilan petani agar dapat merumuskan harga yang lebih berkeadilan. Kami juga mengusulkan subsidi pupuk untuk singkong guna meringankan beban petani di tengah situasi sulit ini," tegasnya.
Sementara itu, Fauzi Heri, anggota Komisi II DPRD Lampung dari Fraksi Gerindra, mengkritik tajam praktik perusahaan yang menetapkan harga tanpa mempertimbangkan beban petani.
Ia menyebut situasi ini sebagai bentuk penjajahan gaya baru.
"Petani kita dipermainkan. Perusahaan membeli singkong seharga Rp 1.025 per kilogram, lalu menerapkan potongan hingga 30 persen. Akibatnya, petani hanya menerima Rp 717,5 per kilogram," kata Fauzi.
Ia juga memaparkan bahwa dengan biaya tanam dan angkut mencapai Rp 20 juta per hektare, petani yang menghasilkan 30 ton singkong per tahun hanya memperoleh pendapatan bersih sekitar Rp 1,5 juta per tahun atau Rp 125 ribu per bulan.
ADVERTISEMENT
"Angka ini jauh di bawah Upah Minimum Provinsi. Situasi ini tidak manusiawi," tambahnya.
Fauzi mengatakan, Lampung merupakan daerah dengan luas lahan singkong mencapai 366.830 hektare dan produksi lebih dari 8 juta ton per tahun.
Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah segera mengeluarkan regulasi stabilisasi harga dan menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk mencegah manipulasi harga oleh tengkulak dan perusahaan.
"Pemerintah harus hadir untuk melindungi petani. Jangan biarkan mereka menjadi korban praktik tidak adil seperti ini," pungkasnya. (Cha)