LBH Bandar Lampung: 60 Tahun Lampung, Pemprov Seolah Menutup Mata dan Telinga

Konten Media Partner
20 Maret 2024 19:17 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ratusan petani lakukan aksi damai di Tugu Adipura, Bandar Lampung. | Foto: Sinta Yuliana/Lampung Geh
zoom-in-whitePerbesar
Ratusan petani lakukan aksi damai di Tugu Adipura, Bandar Lampung. | Foto: Sinta Yuliana/Lampung Geh
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Lampung Geh, Bandar Lampung - Di hari jadi Provinsi Lampung yang ke - 60, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) LBH Bandar Lampung, Sumaindra Jarwadi, S.H angkat bicara terkait beberapa persoalan kebijakan dari pemerintah kepada masyarakat yang kontradiktif.
ADVERTISEMENT
Dalam siaran persnya Sumaindra menuturkan, puncak hari jadi Provinsi Lampung ke-60, yang dirayakan dalam rapat paripurna bersama dengan DPRD Provinsi Lampung, Gubernur Arinal Djunaidi mengeklaim keberhasilan selama 4 tahun terakhir.
"Sementara itu dua hari sebelumnya, tepat pada 16 Maret 2024 lalu di tengah ketenangan menjalankan ibadah puasa Ramadan, sejumlah lahan garapan petani diporak-porandakan oleh Pemprov Lampung melalui Badan Pengelolaan Keuasangan dan Aset Daerah (BPKAD) yang menggusur tanaman petani penggarap lahan Kota Baru Lampung Selatan. Lahan yang baru saja ditanami singkong oleh petani digusur dengan menggunakan 3 traktor bajak yang dikawal oleh puluhan preman," ucapnya pada Lampung Geh
Disisi lain Pemerintah Provinsi (Pemprov) berdalih melakukan hal tersebut adalah dalam rangka penertiban aset, di mana mereka dengan sengaja menggusur tanaman petani yang menolak untuk melakukan sewa di atas tanah Pemprov yang sebelumnya akan direncanakan akan dibangun Ibu Kota Baru Provinsi Lampung.
ADVERTISEMENT
"Petani penggarap Kota Baru tidak semerta-merta menggarap di lahan tersebut, mereka bukanlah penggarap yang baru. Penggarap yang mayoritas berasal dari 3 desa sekitar Kota Baru sudah melakukan penggarapan sejak tanah tersebut masih berstatus kawasan hutan. Bahkan sejak 1950an lahan digarap secara turun temurun dari orang tuanya hingga hari ini," jelasnya
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) LBH Bandar Lampung, Sumaindra Jarwadi, S.H | Foto : Dok. LBH Bandar Lampung
Dahulu lahan itu masih berstatus Kawasan Hutan Produksi Register 40 Gedong Wani yang ditetapkan sebagai kawasan hutan sejak zaman kolonial Belanda lewat Besluit Resident Lampung District Nomor 372 tanggal 12 Juni 1937.
"Penggarapan terus dilakukan oleh masyarakat sejak tahun 1998 sampai dengan pada tahun 2011 Pemerintah Provinsi Lampung menetapkan kebijakan pembangunan kota baru untuk pusat pemerintahan Provinsi Lampung di wilayah tersebut dengan rencana penggunaan lahan seluas 1300 Ha melalui Peraturan Daerah Nomor 12 tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Lampung Tahun 2009 Sampai Dengan 2029. Namun pada faktanya hingga hari ini pembangunan Kota Baru justru mangkrak dan meninggalkan bangunan kosong," papar Sumaindra
ADVERTISEMENT
Diketahui Gubernur Lampung telah membuat keputusan Nomor G/293/VI.02/HK/2022 tentang penetapan sewa tanah Kotabaru yang saat ini belum dipergunakan untuk kepentingan pembangunan Provinsi Lampung melahirkan reaksi penolakan dari masyarakat, bahwa terhadap kebijakan tersebut dinilai cenderung memberatkan.
"Terlebih dengan nominal harga sewa yang telah ditetapkan melalui keputusan tersebut, yakni Rp. 300,- (tiga ratus rupiah) per meter per tahun atau Rp. 3.000.000,- per hektare per tahun yang dianggap terlalu tinggi. Bahwa harga sewa tersebut semakin menjauhkan masyarakat petani penggarap dari kesejahteraan, karena petani penggarap yang notabene-nya petani singkong, jagung dan padi tersebut harus mengeluarkan biaya produksi kurang lebih Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) sampai dengan Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) per hektare sekali musim dari tanam hingga panen.
ADVERTISEMENT
Sementara itu harga beras yang meroket, pajak yang naik namun tidak diimbangi dengan kestabilan harga hasil pertanian. Harga singkong dan jagung yang bersifat fluktuatif ditambah dengan kondisi perekonomian yang tidak menentu dan menguntungkan bagi petani," sambungnya
KIni masyarakat yang telah lama melakukan aktivitas penggarapan dan bergantung pada lahan tersebut merasa terancam kehilangan ruang penghidupan dengan adanya keputusan Gubernur tersebut.
"Seolah menutup mata dan telinga, kebijakan sewa lahan Kota Baru pada faktanya meniadakan masyarakat yang hari ini melakukan penggarapan di sana sejak tahun 1940-an dengan sama sekali tidak dilibatkan dalam hal perumusan kebijakan," pungkasnya. (Al/Ansa)