Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Opini: Perjuangan Perempuan Menembus Dominasi Laki-laki di KPU dan Bawaslu
1 Agustus 2024 21:51 WIB
ยท
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Oleh: Arif Suhaimi
Lampung Geh, Bandar Lampung - Demokrasi Indonesia telah mengalami evolusi signifikan sejak era reformasi dan Sejarah telah menunjukkan bahwa perempuan memiliki peran penting dalam berbagai gerakan, termasuk di Indonesia. Gerakan perempuan di Indonesia telah aktif berpartisipasi di berbagai sektor sosial, politik, ekonomi dan berjuang untuk hak dan kesetaraan. Namun keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga kunci seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) masih menjadi isu yang memprihatinkan. Meskipun undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan umum (UU Pemilu) telah menetapkan kuota 30% untuk keterwakilan perempuan dalam politik, implementasinya di lembaga-lembaga kepemiluan masih jauh dari ideal.
ADVERTISEMENT
KPU dan Bawaslu, sebagai garda terdepan dalam menjaga integritas pemilu, memiliki peran strategis dalam mewujudkan demokrasi yang berkualitas. Namun, dominasi laki-laki dalam struktur kelembagaan ini mencerminkan ketimpangan gender yang lebih luas dalam masyarakat Indonesia. Ketidakseimbangan ini bukan hanya masalah representasi numerik, tetapi juga menyangkut keragaman perspektif dan pengalaman yang sangat diperlukan dalam pengambilan keputusan yang inklusif.
Meskipun UU Pemilu telah menetapkan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon anggota legislatif, akan tetapi yang perlu diperhatikan juga di tubuh KPU dan Bawaslu masih jauh dari memuaskan. Data terbaru menunjukkan bahwa representasi perempuan di KPU dan Bawaslu Provinsi Lampung masih belum mencapai angka yang ideal. Di KPU Provinsi Lampung, hanya ada 1 komisioner perempuan dari total 7 komisioner. Sedangkan di BAWASLU Provinsi Lampung tidak ada komisioner perempuan. Di tingkat kabupaten/kota se-Lampung, komposisi gender di KPU terdiri dari 77 komisioner laki-laki (86,51%) dan hanya 12 komisioner perempuan (13,49%). Sementara itu, di Bawaslu kabupaten/kota se-Lampung, terdapat 51 komisioner laki-laki (85%) dan 9 komisioner perempuan (15%). Angka-angka ini menggambarkan betapa perempuan masih terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan di lembaga-lembaga vital ini.
ADVERTISEMENT
Dominasi laki-laki di KPU dan Bawaslu bukan sekadar masalah statistik. Ini berimplikasi pada kualitas kebijakan dan pengawasan pemilu yang dihasilkan. Ketika suara dan perspektif perempuan tidak cukup terepresentasi, isu-isu krusial seperti kekerasan berbasis gender dalam politik, aksesibilitas bagi pemilih difabel, dan partisipasi politik kelompok marginal lainnya berisiko terabaikan. Padahal, keragaman perspektif sangat diperlukan untuk memastikan penyelenggaraan pemilu yang adil dan inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat.
Perjuangan perempuan untuk menembus dominasi laki-laki di KPU dan Bawaslu menghadapi berbagai hambatan. Selain stereotip gender yang masih kuat, perempuan juga sering kali kesulitan mengakses jaringan politik dan dukungan yang diperlukan untuk mencapai posisi-posisi strategis. Kultur maskulin yang mengakar dalam lembaga-lembaga ini juga menciptakan lingkungan yang tidak selalu ramah bagi kepemimpinan perempuan.
ADVERTISEMENT
Namun, di tengah tantangan ini, beberapa perempuan telah berhasil meraih posisi penting di KPU dan Bawaslu. Kehadiran mereka, meski masih minoritas, telah membawa perubahan signifikan. Mereka tidak hanya membawa perspektif baru dalam pengambilan keputusan, tetapi juga menjadi role model yang menginspirasi generasi muda perempuan untuk terlibat aktif dalam arena kepemiluan.
Untuk mengakselerasi perubahan, diperlukan langkah-langkah konkret dan sistematis. Pertama, perlu ada reformasi regulasi yang menjamin keterwakilan perempuan yang lebih baik di KPU dan Bawaslu, misalnya melalui penetapan kuota minimal. Kedua, penguatan kapasitas kepemimpinan perempuan harus menjadi prioritas, termasuk melalui program mentoring dan pelatihan khusus. Ketiga, perlu ada upaya bersama untuk mengubah kultur organisasi agar lebih inklusif dan apresiatif terhadap keragaman.
ADVERTISEMENT
Perjuangan perempuan untuk keluar dari pinggiran dan memasuki pusat kekuasaan di KPU dan Bawaslu bukanlah sekadar upaya demi kesetaraan numerik. Ini adalah langkah krusial menuju demokrasi yang lebih substantif, di mana setiap suara dan pengalaman mendapat ruang yang setara. Ketika perempuan mendapat representasi yang adil di lembaga-lembaga ini, kita bukan hanya mewujudkan keadilan gender, tetapi juga memperkuat fondasi demokrasi Indonesia secara keseluruhan. (Red/Dwk)