Konten Media Partner

Pengamat: Pentingnya Tata Kelola RTH sebagai Upaya Atasi Banjir Bandar Lampung

26 Februari 2025 17:36 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) | Foto : Eka Febriani / Lampung Geh
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) | Foto : Eka Febriani / Lampung Geh
ADVERTISEMENT
Lampung Geh, Bandar Lampung – Pengamat menekankan kepada Pemerintah Kota (Pemkot) Bandar Lampung harus memperhatikan tata kelola ruang terbuka hijau (RTH) untuk mengatasi banjir.
ADVERTISEMENT
Dua kali banjir besar dalam dua bulan terakhir di Bandar Lampung menjadi alarm serius bagi pemerintah dan masyarakat. Setelah hujan deras mengguyur kota pada 21-22 Februari 2025, banjir kembali terjadi, menyebabkan 9.022 rumah terdampak dengan total 9.588 kepala keluarga (KK) atau sekitar 30.850 jiwa dan tiga korban jiwa. Banjir ini terjadi hanya sebulan setelah bencana serupa pada 17-18 Januari 2025, yang kala itu merendam lebih dari 14.000 rumah dan menewaskan dua orang. Melihat kondisi ini, Peneliti Pusat Studi Kota dan Daerah (PSKD), Erina Noviani, menyoroti pentingnya tata kelola ruang terbuka hijau (RTH) dan infrastruktur resapan air sebagai solusi jangka panjang dalam menangani banjir di Bandar Lampung. Menurutnya, minimnya daerah resapan air dan tidak optimalnya pengelolaan RTH menjadi salah satu faktor utama banjir semakin sering terjadi. Erina menekankan, ruang terbuka hijau yang seharusnya menjadi daerah resapan air justru semakin berkurang akibat alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Padahal, menjaga dan memperluas RTH serta daerah resapan air sangat penting untuk menekan risiko banjir. “Banyak lahan yang awalnya berfungsi sebagai daerah resapan kini berubah menjadi kawasan terbangun. Akibatnya, air hujan tidak bisa terserap dengan baik ke dalam tanah dan langsung mengalir ke drainase atau sungai, yang sayangnya kapasitasnya tidak cukup untuk menampung volume air yang semakin besar,” ujar Erina. Ia menilai, pemerintah perlu memperketat regulasi terkait pengelolaan RTH dan melakukan rehabilitasi terhadap lahan-lahan yang seharusnya berfungsi sebagai daerah resapan air. Selain menjaga RTH, Erina menekankan, pentingnya infrastruktur resapan air berbasis alam, seperti pembangunan kolam retensi, taman resapan air, dan sumur resapan di berbagai titik strategis di kota. Kolam retensi berfungsi untuk menampung sementara air hujan sebelum dialirkan ke sistem drainase utama, sehingga mengurangi risiko genangan di permukiman. Sementara itu, taman resapan air dapat membantu meningkatkan daya serap tanah terhadap air hujan, sehingga mengurangi limpasan air permukaan. “Kolam retensi dan taman resapan air harus diperbanyak di area perkotaan. Saat ini, banyak kota besar yang mulai menerapkan konsep ini untuk mengurangi dampak banjir. Bandar Lampung juga bisa menerapkan strategi serupa dengan menyesuaikan kondisi wilayahnya,” jelasnya. Selain itu, pembangunan sumur resapan di area perumahan, perkantoran, dan ruang publik juga perlu digalakkan. Sumur resapan berfungsi untuk menampung air hujan agar bisa meresap ke dalam tanah secara bertahap, mengurangi limpasan air yang langsung menuju drainase atau sungai. Erina menegaskan, solusi ini membutuhkan komitmen dari pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Regulasi harus diperkuat agar pembangunan di wilayah perkotaan tetap memperhitungkan keseimbangan ekologi. Di sisi lain, masyarakat juga perlu didorong untuk berpartisipasi dalam pemeliharaan ruang hijau dan penggunaan teknologi resapan air di lingkungan masing-masing. “Jika kita bisa menerapkan tata kelola lingkungan yang baik dan memperbanyak solusi berbasis alam, risiko banjir di Bandar Lampung bisa ditekan. Ini bukan hanya tentang mengatasi genangan, tetapi juga tentang bagaimana kita menyiapkan kota yang lebih tangguh dan berkelanjutan,” pungkasnya. (Cha/Ansa)
ADVERTISEMENT