Konten Media Partner

Penggusuran Lahan di Sabah Balau, Warga Kehilangan Tempat Tinggal dan Keadilan

14 Februari 2025 16:54 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penggusuran Lahan di Sabah Balau, Warga Kehilangan Tempat Tinggal dan Harapkan Keadilan. | Foto : Muhamad Amirudin/Lampung Geh
zoom-in-whitePerbesar
Penggusuran Lahan di Sabah Balau, Warga Kehilangan Tempat Tinggal dan Harapkan Keadilan. | Foto : Muhamad Amirudin/Lampung Geh
ADVERTISEMENT
Lampung Geh, Lampung Selatan – Penggusuran lahan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung di Desa Sabah Balau, Kecamatan Tanjung Bintang, Lampung Selatan, menuai protes dari warga yang terdampak.
ADVERTISEMENT
Warga telah menempati lahan tersebut selama bertahun-tahun dan masih menjalani proses hukum terkait status kepemilikan tanah.

Warga Kehilangan Tempat Tinggal di Tengah Proses Hukum

Amrullah, salah satu warga terdampak mengungkapkan, ia telah tinggal di lokasi tersebut sejak 2017 dan memiliki dokumen kepemilikan seperti surat supradik serta sebagian warga telah membayar pajak. Namun, tanpa penyelesaian hukum yang jelas, mereka tiba-tiba dihadapkan pada penggusuran.
“Kami tinggal di sini sudah lama, ada yang punya SKT (Surat Keterangan Tanah), bahkan sebagian sudah membayar NPWP. Tapi tiba-tiba kami diintimidasi bahwa ini tanah milik provinsi. Proses hukum masih berjalan, tetapi penggusuran tetap dilakukan,” ujar Amrullah.
Akibat penggusuran itu, banyak warga kehilangan tempat tinggal dan terpaksa tidur di area lahan bekas rumah mereka dengan kondisi minim fasilitas.
ADVERTISEMENT
“Kami banyak yang tidur di jalanan, di bawah kayu. Saya sendiri tidur di depan musala, tapi barang-barang kami tidak boleh ditaruh di sana oleh Satpol PP dan pihak provinsi,” tambahnya.
Penggusuran Lahan di Sabah Balau, Warga Kehilangan Tempat Tinggal dan Harapkan Keadilan. | Foto : Muhamad Amirudin/Lampung Geh

Putusan Pengadilan Berstatus Quo, Warga Tetap Digusur

Agus, warga lainnya yang turut terkena dampak menjelaskan, sebelum penggusuran, warga telah menerima somasi selama tiga hari untuk mengosongkan lahan. Karena merasa memiliki hak atas tanah tersebut, mereka mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Karang. “Putusan pengadilan menyatakan tanah berstatus quo karena kurangnya pihak yang terlibat dalam gugatan. Kami kemudian mengajukan gugatan baru ke PN Kalianda, dan putusannya tetap sama: status quo. Seharusnya tidak ada tindakan penggusuran sebelum ada putusan final,” jelas Agus.
ADVERTISEMENT
Meski keputusan pengadilan menyatakan status quo, penggusuran tetap dilakukan dan menyebabkan bentrokan antara warga dan petugas pengamanan. Menurut Agus, dalam insiden tersebut, seorang warga bahkan mengalami keguguran akibat gesekan yang terjadi saat proses penertiban lahan.

Harapan Warga terhadap Proses Hukum

Pasca-penggusuran, warga masih bertahan di lahan tersebut dengan kondisi yang memprihatinkan. Mereka berharap proses hukum dapat memberikan keadilan yang sebenarnya. “Sebagian warga akan terus memperjuangkan hak mereka meskipun rumah-rumah mereka sudah rata dengan tanah. Hukum seharusnya bisa menegakkan keadilan, tidak boleh runtuh hanya karena penggusuran ini,” tegas Agus. Penggusuran lahan ini masih menjadi polemik, warga berharap ada solusi yang tidak hanya berpihak pada kepentingan pemerintah, tetapi juga mempertimbangkan hak-hak mereka yang telah lama menempati lahan tersebut. (Fan/Ansa)
ADVERTISEMENT