Peran Penting Masyarakat Mencegah Kasus Incest

Konten Media Partner
2 Maret 2019 15:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kekerasan seksual pada anak | Foto : Ist.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekerasan seksual pada anak | Foto : Ist.
ADVERTISEMENT
Lampung Geh, Bandar Lampung - Dalam balutan baju berwana merah muda, ia memeluk amat sayang boneka kecil sewarna dengan ceria. Bahkan ketika Nahar, Deputi Bidang Perlindungan Anak dan Perempuan Kemen PPPA, mengajaknya bernyanyi bersama, ia menyambutnya dengan riang.
ADVERTISEMENT
Lagu anak-anak berjudul 'Balonku Ada Lima' lantas dipilih. Nyanyian yang terlantun malu-malu dari mulutnya seolah menyiratkan jiwa suci khas anak-anak, menghipnotis seluruh tamu undangan dialog tertutup untuk ikut bernyanyi bersama pada Kamis sore (28/2).
Usia anak-anak dengan segala kepolosannya, dengan naluri alamiah untuk dikasihi dan dilindungi, entah bagaimana mampu menebarkan atmosfer kedamaian dan keceriaan pada lingkungan sekitar. Namun di balik perangai polosnya, ada bahaya predator yang mengintai dan siap menerkam.
Seolah, dengan keadaan yang masih bergantung kepada perlindungan orang terdekat dan ketidakberdayaan terhadap ancaman, anak-anak berpotensi menjadi sasaran atau objek yang amat rentan terhadap tindak kekerasan bahkan pencabulan.
Deteksi dini yang berhasil menguak kasus persetubuhan terhadap saudara kandung (incest) di daerah Pringsewu, Lampung, di mana tersangkanya adalah ayah, kakak, dan adik kandung korban, kini menjadi perhatian nasional. Terlebih, korban merupakan anak penyandang disabilitas.
Ilustrasi pemaksaan seksual Foto: Dok. Pixabay
Pada awal tahun 2018, korban bernama AT (18) tinggal bersama nenek dan ibunya di daerah Tanggamus. Namun, setelah sang nenek dan ibunya meninggal dunia, AT lantas dijemput oleh ayahnya untuk tinggal bersama di Pringsewu.
ADVERTISEMENT
Tidak ada yang pernah menyangka bahwa si anak berkebutuhan khusus ini akan menjadi korban atas tindakan biadab orang terdekatnya. Keluarga, apalagi saudara kandung, mestinya menjadi tembok terdepan untuk AT bernaung dan berlindung. Namun yang terjadi justru sebaliknya, penjaga itu justru malah merenggut masa depannya dengan berbalik mengintai dan memangsanya.
Tiga pelaku berinisial JM (44), SA (24), dan YF (15) masing-masing adalah ayah, kakak, dan adik kandung dari AT. AT menjadi objek pelampiasan nafsu bejat mereka, bahkan terhitung hingga ratusan kali dalam kurun waktu setahun belakangan. Kondisinya sebagai anak perempuan berkebutuhan khusus dengan segala ketidakberdayaannya, seolah tidak menyurutkan para pelaku dalam melancarkan aksinya.
Sang ayah bahkan mengaku sadar, bahwa yang menjadi pelampiasan hasrat seksualnya itu merupakan anak kandungnya. Darah dagingnya sendiri. Alasan ia melakukan hal itu lantaran sang istri telah tiada.
ADVERTISEMENT
Sementara pelaku SA mengaku tega menyetubuhi adiknya, lantaran seringnya ia menonton video porno melalui ponsel. Dalam pemeriksaan, ia bahkan mengaku rutin dan sudah ratusan kali melakukan aksi biadabnya itu.
Lebih mengiris nurani. Pelaku YF yang masih di bawah umur, tidak hanya terhitung puluhan kali melakukan hal serupa kepada kakak perempuannya, tetapi ia juga mengalami penyimpangan seksual dengan melampiaskan hasrat pada beberapa hewan ternak milik tetangga.
Ketiga pelaku yang merupakan keluarga terdekat dan tinggal serumah dengan korban dinilai saling tahu kelakuan antar satu dan yang lain. Namun tetap saja mereka melakukan aksi kejinya tanpa merasa bersalah hingga terdeteksi oleh lingkungan setempat setahun kemudian.
Alih-alih menjaga dan melindungi anak perempuannya yang kehilangan sosok ibu, justru ayah, kakak, dan adik ini memanfaatkan kepolosan dan ketidakberdayaan korban dengan tindakan keji yang tidak termaafkan.
ADVERTISEMENT
Dihubungi di lokasi berbeda, Ketua Harian Children Crisist Center (CCC), Syarifudin, memberikan tanggapannya.
"Anak menjadi objek tindak kejahatan karena dari segi fisik tidak cukup kuat untuk melawan, kondisi psikis yang belum matang juga membuatnya mudah dipengaruhi hingga diiming-imingi, dan ia juga tidak berdaya akan suatu acaman," kata Syarifudin, Kamis (28/2).
Tindak kejahatan, khususnya kekerasan terhadap anak, bisa terjadi di mana saja dan bisa dilakukan oleh siapa saja. Orang tua, wali, guru, keluarga yang idealnya menjadi pelindung dan pengayom justru acap kali menjadi predatornya.
Menjadi perkara yang sulit untuk menjamin tempat yang aman untuk anak saat ini. Sebab, fakta di lapangan menunjukkan lingkungan keluarga dan lembaga pendidikan, baik sekolah maupun tempat belajar agama, justru menjadi lokasi yang paling banyak menelan korban.
ADVERTISEMENT
CCC sebagai salah satu lembaga yang concern terhadap isu anak di bidang kekerasan, yang berdiri sejak tahun 2007, menemukan bahwa tren tindak kekerasan terhadap anak di lingkungan rumah tangga meningkat dari tahun ke tahun, baik dari segi jumlah maupun bentuk kekerasannya.
Syarifudin memaparkan bahwa keadaan ini cukup gawat dan amat mengkhawatirkan, karena kekerasan terhadap anak tidak cukup sampai tindak pencabulan, bahkan hingga perdagangan manusia dan pembunuhan korban.
Ada persepsi di kalangan masyarakat sekarang yang perlu diubah, seperti perihal batasan mencampuri privasi orang lain. Terlebih, anggapan bahwa anak ini merupakan buah hatinya sendiri, sehingga apapun yang orang tua lakukan, termasuk tindak kekerasan, menjadi hak perseorangan.
Padahal, kontrol sesama masyarakat yang idealnya hidup berdampingan dan bertetangga di suatu lingkungan dapat menjadi upaya pencegahan yang paling efektif. Ini dapat dilakukan dengan menegur baik-baik tindakan keluarga anak yang mengarah kepada bentuk kekerasan atau turut melapor jika dinilai keadaan semakin mengkhawatirkan.
ADVERTISEMENT
Sebab, upaya pencegahan bukan semata kewajiban pemerintah, tapi juga tanggung jawab masyarakat. Masing-masing individu semestinya turut berperan dalam memerhatikan kelangsungan hidup anak-anak di sekelilingnya.
Mencegah Lebih Baik daripada Mengobati
Dalam penanganan kasus incest, pemerintah daerah setempat berupaya maksimal dalam melakukan perlindungan terhadap korban dan salah satu pelaku di bawah umur, dengan melakukan rehabilitasi medis dan pendampingan yang akan dilakukan sampai tuntas. Namun tetap saja, upaya pencegahan jauh di atas itu semua.
Melansir data yang dihimpun oleh Pusat Data dan Informasi Komnas Perlindungan Anak Indonesia, sepanjang Januari hingga Juni 2018, telah tercatat 965 kasus pengaduan pelanggaran hak anak. Dengan kasus terbanyak 52 persennya adalah kejahatan seksual. Dari segi tempat, 48 persen tindak kejahatan terjadi di lingkungan rumah.
ADVERTISEMENT
Untuk 10 wilayah yang paling banyak terjadi penyebaran kasus kekerasan anak adalah Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Nusat Tenggara Timur, Jawa Tengah, Papua, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, dan juga Lampung.
Novita Tresiana, Ketua Pusat Studi Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Wanita dan Anak Universitas Lampung, mengatakan pencegahan primer melalui gerakan penanganan berbasis masyarakat menjadi solusi terbaik sebelum kasus mencuat ke permukaan.
"Karena sudah jelas mencegah lebih baik daripada mengobati. Tindakan pencegahan sejak dini dari segi anggaran, membutuhkan biaya yang lebih murah ketimbang harus mengobati sesuatu yang sudah terlanjut sakit dan berbuntut panjang," ujarnya, saat ditemui reporter Lampung Geh di kantornya, Jumat (1/3).
Ia melanjutkan, jika ditarik benang merah, persoalan baik kekerasan terhadap anak maupun perempuan akan banyak mengerucut ke persoalan ekonomi. Ini sebagian dari akibat pendapatan rendah, tingkat pendidikan yang rendah dan stres serta tekanan hidup yang kian tinggi.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan tindak kekerasan anak ini juga akan muncul pada kalangan atas dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang jauh lebih baik.
Senada dengan Novita, ditemui di tempat yang berbeda, Dewi Astri Sudirman, Koordinator Bidang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak Forum PUSPA, menyampaikan bahwa kasus incest di Pringsewu merupakan keberhasilan kader Pelatihan Kader Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) dalam mendeteksi kasus kekerasan di lingkungannya.
Kegiatan diskusi dan pelatihan Kader Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat di Kecamatan Panjang | foto: Latifah Desti Lustikasari/Lampung Geh
"Kami memang tidak secara langsung menemui korban yang di Pringsewu, namun dengan berkoordinasi dengan berbagai pihak termasuk tim pendamping yang di sana, itu sudah cukup. Karena kasus incest seperti ini tentu membutuhkan penangaman dan perlakuan khusus," ujarnya, Jumat (1/3).
Mengutip kalimat Kak Seto, Dewi menjelaskan bahwa kasus kekerasan anak ini serupa gunung es. Meski data yang tercatat semakin banyak, tetapi tetap saja di luar sana masih banyak tindak kekerasan anak lainnya yang tidak tersentuh.
ADVERTISEMENT
PATBM sendiri merupakan sebuah gerakan kelompok masyarakat yang bekerja secara terkoordinasi dengan tujuan perlindungan anak. Gerakan ini sebagai bagian dari program Kemen PPPA.
Kader PATBM yang menjadi ujung tombak pendeteksi kasus kekerasan dan melakukan upaya pencegahan sebelum terlanjur terjadi ini dibekali workshop PUHA (Pengarusutamaan Hak Anak), PUG (Pengarusutamaan Gender), paralegal, pemulihan psiko-sosial, dan reintegrasi.
Diawali dengan memetakan profil anak-anak di lingkungan RT tiap kader, mulai dari umur, jenis kelamin, hingga status kebutuhan jika terdapat anak berkebutuhan khusus, maka pencegahan bukan hal yang mustahil dilakukan.
Jumat sore (1/3) itu, Kecamatan Panjang, Bandar Lampung, sedang mendapatkan giliran jadwal sosialisasi. Diikuti sebanyak 30 kader yang berasal dari delapan kelurahan se-Kecamatan Panjang.
ADVERTISEMENT
Di Bandar Lampung sendiri, daerah Panjang Selatan dan Way Lunik menjadi fokus utama, karena di daerah ini sempat mencuat kasus human traficking dengan koban anak-anak di bawah umur. Dewi mengatakan bahwa ada 10 korban yang dideteksi, tetapi hanya dua anak yang kemudian mendapatkan pendampingan.
Hal ini berkaitan dengan stigma masyarakat akan korban kekerasan anak terlebih kekerasan seksual. Maka dari itu, PATBM ini sangat penting dijalankan di sisi melindungi anak agar tidak menjadi korban, juga melindungi, dan memberikan edukasi kepada masyarakat atas apa yang dialami oleh korban.
Jika selama ini pada setiap kasus kekerasan anak yang muncul ke media lebih didominasi oleh berita-berita kronologi kejadian dan tindak kejahatan yang dilakukan, alangkah lebih baik jika masyarakat secara luas mengetahui bahwa di luar sana masih banyak pihak-pihak yang saling bergandengan tangan, menghabiskan tenaga, dan keringat untuk melindungi anak-anak di Bumi Pertiwi.
ADVERTISEMENT
Karena uluran tangan pemerintah tanpa bergandengan dengan warga negaranya tidak akan pernah mampu menjangkau hingga sudut-sudut pemukiman warga, di mana para predator itu menyamar dan bersembunyi. (*)
---
Laporan spesial reporter Lampung Geh Latifah Desti Lustikasari
Editor: M Adita Putra