Sejarah Transmigrasi dari Era Penjajahan Hingga Orde Baru di Lampung

Konten Media Partner
15 Februari 2019 18:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gedung Museum Nasional Ketransmigrasian | foto: Latifah Desti Lustikasari/lampunggeh.co.id
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Museum Nasional Ketransmigrasian | foto: Latifah Desti Lustikasari/lampunggeh.co.id
ADVERTISEMENT
Lampunggeh.co.id, Pesawaran-- Berawal dari pidato Ratu Wilhelmina pada Desember 1901 mengenai politik etis yang bertujuan perbaikan kehidupan rakyat, dilakukanlah pembangunan sistem irigasi yang baik, pendidikan dan pemindahan penduduk dari Pulau Jawa ke tanah sebrang.
ADVERTISEMENT
Kemiskinan penduduk Pulau Jawa kala itu dianggap karena sistem tanam paksa (kultur stelsel), berkurangnya lahan pertanian akibat meluasnya daerah industri dan pertambahan jumlah penduduk.
Residen Kedu bahkan berkali-kali melapor kepada Pemerintah Hindia Belanda perihal jumlah penduduknya yang kian mengkhawatirkan. Antara tahun 1895-1905 penduduk Pulau Jawa bertambah 225 jiwa per kilometer persegi.
Untuk mengatasi hal itu, Pemerintah Hindia Belanda lantas menugaskan asisten Residen Sukabumi H. G. Heyting agar mengadakan penelitian untuk memindahkan penduduk jawa ke luar pulau.
Program perpindahan penduduk khususnya di daerah Lampung berlangsung dalam dua tahap. Tahap pertama di jaman penjajahan (kolonisasi) dan tahap kedua di jaman kemerdekaan oleh pemerintah Republik Indonesia (transmigrasi).
Lampung Geh berhasil merangkum sejarah perpindahan penduduk ke luar Pulau Jawa secara kronologis berdasarkan data dan kunjungan langsung ke Museum Nasional Ketransmigrasian (14/2/2019) berikut ini.
ADVERTISEMENT
Perpindahan Penduduk di Jaman Penjajahan
Pada bulan November 1905, perpindahan penduduk untuk pertama kalinya berhasil dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda dari Pulau Jawa ke daerah Lampung Selatan. Kala itu ada 155 kepala keluarga yang mengikuti program kolonisasi.
Kolonisasi ini dilakukan dengan tujuan untuk mempekerjakan penduduk di perkebunan belanda yang bisa dibayar dengan upah murah, di sisi lain juga untuk mengasingkan penduduk yang berani menentang kebijakan dan dianggap membahayakan Pemerintah kala itu.
Relapi selaku guide yang memandu Lampung Geh pagi itu (14/2/2019) mencontohkan, "Salah satu sosok yang berani menentang kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang kemudian diasingkan kala itu adalah Pangeran Diponegoro."
Penduduk sebanyak 155 kk yang berasal dari Desa Bagelan, Keresidenan Kedu, Provinsi Jawa Tengah itu kemudian diangkut menggunakan kapal yang kemudian berlabuh di Pelabuhan Panjang.
Diorama pembukaan lahan oleh masyarakat transmigrasi | foto: Latifah Desti Lustikasari/lampunggeh.co.id
ADVERTISEMENT
Mereka lantas melakukan perjalanan kaki selama tiga hari menuju ke daerah Gedong Tataan, yang dahulu masih masuk wilayah Lampung Selatan dan menamai daerah itu sesuai dengan asal tempat mereka, Desa Bagelan.
Namun di balik itu Pemerintah Hindia Belanda sengaja melancarkan propaganda melalui buku-buku bacaan sekolah dan film khusus Kolonisasi berjudul Tanah Sabrang, agar penduduk Jawa tertarik untuk mengikuti program pemerintah.
Pada tahun 1930, berkat keberhasilan propaganda dan perencanaan program kolonisasi yang lebih matang sebanyak 30 ribu jiwa berhasil dipindahkan dari Pulau Jawa.
Bahkan pada tahun 1940, penduduk yang mengikuti program ini mencapai 50 ribu jiwa.
Berbeda dengan masa penjajah Belanda, dua tahun kemudian, ketika Panglima angkatan Belanda menyerah tanpa syarat kepada panglima bala tentara Jepang di lapangan Kalijati, Jawa Barat bermakna kekuasaan atas bumi Nusantara berpindah ke tangan Kekaisaran Jepang.
ADVERTISEMENT
Pada jaman penjajahan Jepang, tahun 1962, perpindahan penduduk dilakukan dengan tujuan untuk perekrutan anggota militer, membangun benteng pertahanan, pelabuhan, lapangan terbang hingga jalan kereta api untuk persiapan menghadapi lawan perang yang lebih kuat.
Sistem kerja paksa ini kemudian dikenal dengan istilah Romusha, lebih dari 2 juta jiwa selama Jepang menduduki Nusantara yang dipekerjakan. Mereka bekerja pada kondisi yang buruk: kekurangan makanan dan dan tanpa pemeliharaan kesehatan.
Perpindahan Penduduk Setelah Indonesia Merdeka
Ketika Indonesia merdeka, jumlah penduduk di seluruh Indonesia mencapai 75 juta jiwa, 60 juta jiwa di antaranya tinggal di Pulau Jawa. Sementara Republik yang baru saja merdeka harus mempertahankan wilayahnya dari musuh yang hendak kembali menguasai.
ADVERTISEMENT
Program perpindahan penduduk yang dilakukan setelah Indonesia merdeka dikenal dengan program transmigrasi, dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia.
Pada tanggal 12 Desember 1950, pemerintah RI untuk pertama kalinya setelah merdeka, memindahkan penduduknya sebanyak 23 kepala keluarga ke daerah Lampung. Kelak diperingati sebagai hari Bakti Transmigrasi.
Diorama penduduk dari Pulau Jawa yang sedang menempuh perjalanan bertransmigrasi | foto: Latifah Desti Lustikasari/lampunggeh.co.id
Transmigrasi kala itu bertujuan untuk memeratakan jumlah penduduk, mengurangi angka pengangguran, meningkatkan kesejahteraan warga transmigrasi, meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara dan menjaga wilayah NKRI.
Ketika bencana alam terjadi, yaitu meletusnya Gunung Merapi dan Gunung Agung tahun 1962, pemerintah Republik Indonesia kembali mengirimkan penduduk untuk bertransmigrasi.
Berbeda dengan masa penjajahan, di era orde baru pelaksanaan transmigrasi dilakukan setelah perencanaan yang lebih matang dan layak menyangkut lahan, perumahan, jalan, fasilitas sosial, sarana ibadah, pendidikan dan kesehatan telah disiapkan terlebih dahulu di lokasi pemukiman yang baru. | foto: Latifah Desti Lustikasari/lampunggeh.co.id
Program pembangunan jangka panjang tahap 1 di jaman orde baru berhasil memindahkan 1,4 juta kepala keluarga atau sebanyak 7 juta jiwa yang berasal dari Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat.
ADVERTISEMENT
Transmigrasi yang disebutkan di atas, sebagai kegiatan pemindahan dan perpindahan penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menetap guna kepentingan NKRI atau alasan lain yang dianggap perlu oleh pemerintah Indonesia, sejatinya memiliki misi dan tujuan yang amat mulia.
Antara lain untuk memanusiakan manusia, dimana dapat membebaskan masyarakat atau kelompok sosial tertentu dari belenggu kemiskinan, seiring perubahan sosial di dalam masyarakat keinginan untuk berpindah tempat demi perbaikan kualitas hidup yang lebih baik sesungguhnya selalu terjadi.
Sejarah mengenai seluk beluk program transmigrasi ini bisa kita jumpai dan amati rekam jejaknya di Museum Nasional Ketransmigrasian di Desa Bagelan, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran.
Museum ini beroperasi setiap hari kecuali hari libur nasional mulai pukul 08.00-15.00 WIB. Siapapun dapat berkunjung ke Museum Nasional Ketransmigrasian tanpa dipungut biaya.
ADVERTISEMENT
Salah seorang pengunjung Museum Ketransmigrasian sedang mengamati koleksi | foto: Latifah Desti Lustikasari/lampunggeh.co.id
Sediono Saputro, salah satu pengunjung yang berasal dari Negerikaton, Pesawaran, Lampung mengaku ini kunjungannya yang pertama kali, "Saya baru tahu kalau kita ini punya Museum Transmigrasi, sangat bagus dan menarik sekali ini untuk edukasi," ungkapnya kepada Lampung Geh.
Ia juga menyayangkan perihal keterangan yang tercantum pada benda-benda sejarah koleksi museum yang dianggap kurang lengkap. Bahkan di beberapa kotak kaca tempat diletakkan benda koleksi, tidak dijumpai keterangan apapun. (*)
Laporan reporter Lampunggeh Latifah Desti Lustikasari
Editor: Bery Decky Saputra