Konten Media Partner

Tanggapi Masalah Banjir, Begini Penjelasan Dosen PWK Itera

13 Januari 2020 15:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menghadapi musim penghujan, beberapa wilayah di Lampung masih rawan banjir, Senin (13/1) | Foto : Sidik Aryono/ Lampung Geh
zoom-in-whitePerbesar
Menghadapi musim penghujan, beberapa wilayah di Lampung masih rawan banjir, Senin (13/1) | Foto : Sidik Aryono/ Lampung Geh
ADVERTISEMENT
Lampung Geh, Lampung Selatan - Menanggapi masalah banjir yang menimpa beberapa wilayah di Indonesia termasuk Lampung beberapa waktu ini, Dosen PWK Itera sebut banyaknya alih fungsi lahan, Senin (13/1).
ADVERTISEMENT
Hadapi musim penghujan, beberapa wilayah di Lampung sempat terendam banjir beberapa waktu yang lalu. Terutama di wilayah kota Bandar Lampung, perumahan Bumi Arinda Permai terendam banjir setelah hujan deras mengguyur semalaman. Fran Sinatra selaku Dosen Perencanaan Wilayah Kota (PWK) Institut Teknologi Sumatera (Itera) menyebutkan bahwa hal ini tidak hanya dipengaruhi oleh faktor alam saja, yaitu perubahan iklim yang cukup ekstrim, tetapi juga oleh perilaku manusia itu sendiri, terutama dalam menyediakan sumur resapan (biopori) di sekitar permukiman.
Fran Sinatra Dosen Perencanaan Wilayah Kota Itera, Senin (13/1) | Foto : Sidik Aryono/Lampung Geh
"Kalau melihat perkembangan wilayah kota besar di Indonesia sekarang kurang bisa beradaptasi dengan bencana, terutama banjir yang masih menjadi permasalahan di kota-kota besar di Indonesia, termasuk Bandar Lampung. Sebenarnya itu bukan masalah gorong-gorong saja, tetapi yang menjadi penyebab banjir dan genangan air ini juga perubahan atau alih fungsi lahan. Yang dulunya area hijau, seperti kebun dan persawahan sekarang difungsikan sebagai area permukiman. Padahal, dulunya area hijau ini memiliki daya serap yang cukup besar ketika musim penghujan datang, dan ketika dibangun permukiman maka daya serapnya berkurang," jelas Fran saat ditemui Lampung Geh, Senin (13/1).
ADVERTISEMENT
Fran menambahkan bahwa pembuatan selokan atau gorong-gorong pada awalnya direncanakan bukan untuk menampung atau mengalirkan air dengan kapasitas besar, jadi wajar saja jika selokan yang ada kapasitasnya tidak maksimal dalam mengalirkan air pada saat musim penghujan.
Banyaknya alih fungsi lahan di wilayah perkotaan menimbulkan berkurangnya resapan air yang menyebabkan banyaknya genangan air pada musim penghujan, Senin (13/1) | Foto : Sidik Aryono/ Lampung Geh
"Maka setiap rumah dianjurkan memiliki daerah resapan, sehingga air hujan yang jatuh itu tidak langsung ke selokan. Air yang jatuh ke halaman kita, ke kavling kita sebisa mungkin jangan pindah ke rumah orang. Caranya ya kita buat biopori atau sumur resapan, jadi itu bisa mengurangi debit air permukaan yang mengalir ke selokan. Dan dengan kata lain, setiap rumah hendaknya memiliki sumur resapan, jadi halaman kita jangan semua dipaving atau disemen," lanjut Fran.
Fran menuturkan bahwasannya untuk wilayah kota, idealnya memiliki 30 persen Ruang Terbuka Hijau (RTH) dari keseluruhan wilayah kota. 20 persen adalah RTH publik yang bisa disediakan oleh pemerintah seperti taman kota, sedangkan yang 10 persen adalah RTH private yang disediakan oleh swasta, instansi atau individu perorangan.
ADVERTISEMENT
"Di setiap rumah atau kavling, harusnya tidak semua dibangun pondasi, jadi memang harus ada Koefisien Dasar Hijau (KDH) yang berfungsi menyerap air hujan, jadi tidak semua air hujan langsung dialirkan ke selokan. Namun lagi-lagi belum semua masyarakat memahami hal ini, mereka menganggap bahwa pemegang hak atas tanah bisa membangun apa saja terserah pemiliknya, melainkan harus ada KDH tersebut," tandas Fran.
Untuk wilayah kota di Lampung sendiri, terutama di Bandar Lampung, jika melihat Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) idealnya dibagi berdasarkan zonasi dengan karakteristik masing-masing kawasan.
"Misalnya di Bandar Lampung punya rencana detail akan membagi beberapa wilayah kota, beberapa kecamatan dibagi berdasarkan karakteristik fungsinya. Misalnya di Sukarame hunian dengan kepadatan rendah akan berbeda dengan yang dekat wilayah kota misalnya yang kepadatannya tinggi, maka KDHnya pun alan berbeda. Nah aturan tentang seberapa besar KDHnya itu tergantung pada fungsi dan karakteristik. Bisa jadi yang dipinggir kota lebih besar KDHnya karena penduduknya padat, atau sebaliknya," jelas Dosen lulusan ITB tersebut.
ADVERTISEMENT
Peran dalam penyediaan KDH sebagai resapan air menurut Fran juga tidak terlepas dari peran swasta, dimana peran swasta dalam melalukan pembangunan juga cukup masif.
Embung diinisiasi sebagai salah satu cara memitigasi bencana banjir melalui sumur resapan di tengah perkotaan, Senin (13/1) | Foto : Sidik Aryono/ Lampung Geh
"Swasta juga banyak membangun hotel, ruko, perumahan, bahwasanya mereka juga harus menyadari dan bertanggungjawab dalam alih fungsi lahan, terutama dalam penyediaan sumur resapan di kavling yang mereka bangun. Jadi sebisa mungkin mengurangi jumlah air yang dialirkan ke gorong-gorong, dan ini mungkin bisa diterapkan sebagai sarat dalam memperoleh Izin Mendirkan Bangunan," kata Fran.
Selanjutnya peran swasta juga dapat melaui CSR dalam membuat RTH atau merevitalisasi RTH. Jadi nantinya pemerintah dan swasta dapat berkolaborasi dalam menyediakan RTH. Kemudian dari sisi masyarakat, dapat berkontribusi minimalnya harus menyediakan pekarangan yang dapat menyerap air.
ADVERTISEMENT
"Yang terjadi sekarang kan semua pekarangan kebanyakan dibangun semua, disemen. Jadi akhirnya 100 persen air yang jatuh ke kavling langsung masuk ke selokan, yang kalau kapasitas selokan sudah tidak menampung lagi akan meluap," lanjutnya.
Kemudian saat ditanya soal daya tahan wilayah Lampung jika dilihat dari tata kotanya, Fran mengatakan bahwa dalam hal ini peran pemerintah, swasta dan masyarakat harus selaras dalam mengontrol adanya RTH, guna memitigasi bencana yang akan datang yang ditimbulkan oleh perubahan iklim yang cukup ekstrim. Terlebih lagi melihat tren pembangunan saat ini sangat masif, termasuk Lampung dengan mudahnya akses seperti jalan tol yang meningkatkan investasi.
"Paling buruknya yang sekarang sering terjadi, kalau musim kemarau pasti kekeringan, karena air pada musim hujan langsung dialirkan ke selokan yang bermuara ke laut, sehingga tidak ada cadangan air. Lalu pada musim penghujan, daerah resapannya semakin sedikit, air yang melimpah ini tidak dapat ditampung lagi oleh selokan atau gorong-gorong yang akhirnya akan terjadi banjir," beber Fran.
ADVERTISEMENT
Menutup pembahasan mengenai pentingnya perencanaan wilayah kota dalam menghadapi bencana banjir, Fran mengatakan bahwa daerah atau sumur resapan air yang ada harus terkoneksi dengan RTH atau embung-embung yang dimiliki oleh tiap-tiap wilayah. (*)