Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten Media Partner
Warga Sabah Balau Terlantar, Bingung Cara Bertahan hidup Setelah Penggusuran
21 Februari 2025 11:46 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Lampung Geh, Bandar Lampung– Puluhan warga Sabah Balau, Kecamatan Tanjung Bintang, Lampung Selatan, masih harus bertahan dalam kondisi sulit pasca penggusuran yang dilakukan beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Beberapa dari mereka kini mengungsi di berbagai tempat, termasuk di Sekretariat Komunitas Solidaritas Perempuan Sebay Lampung. Banyak di antara mereka yang kehilangan tempat tinggal, sumber penghidupan hingga akses terhadap air bersih dan pendidikan bagi anak-anak mereka.
Asmawati (60), salah satu warga yang terdampak menceritakan proses penggusuran berlangsung dengan kekerasan.
"Awalnya dorong-dorongan, lalu saya jatuh dan keinjak-injak. Kepala saya juga ikut terinjak dan sampai sekarang masih sakit,” ujarnya.
Dia juga menyebut, anak salah satu warga setempat juga mengalami pemukulan hingga berdarah, sementara istrinya turut terinjak di bagian dada.
Penggusuran ini terjadi setelah warga menerima surat edaran dari Satpol PP pada 6 Februari 2025, yang disusul dengan surat tali asih. Namun, warga menolak karena merasa kompensasi yang diberikan tidak sebanding dengan properti yang mereka miliki.
ADVERTISEMENT
“Kami ibarat pagar bambu melawan pagar baja, jadi tidak mungkin kami menang,” tambah Asmawati.
Selain kehilangan tempat tinggal, warga juga mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Banyak anak-anak yang tidak bisa bersekolah karena pakaian dan perlengkapan sekolah mereka hilang atau tertinggal saat penggusuran.
"Anak-anak lebih dari 20 orang, ada yang masih sekolah dan kuliah, beberapa terpaksa putus sekolah karena pakaian dan sepatu mereka hilang,” ungkapnya.
Nasib serupa dialami oleh Pujanah (45), yang sebelumnya juga mengalami penggusuran di Pasar Gria pada 2018.
“Saya sudah dua kali digusur. Awalnya beli tanah di Sabah Balau, tapi karena belum punya uang buat bangun rumah, saya ngontrak dulu. Tidak lama, saya digusur dan barang-barang saya ketimpa semua,” katanya.
ADVERTISEMENT
Pujanah berharap pemerintah lebih melindungi rakyat kecil dan memberikan bantuan tempat tinggal bagi mereka yang terdampak.
Ketua Balai Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Sebay Lampung, Reni Yuliana Mutia menilai, penggusuran ini merupakan bentuk kegagalan pemerintah dalam melindungi warganya.
Ia menegaskan, penggusuran seharusnya menjadi langkah terakhir dalam menyelesaikan konflik lahan.
“Banyak warga kehilangan sumber penghidupan akibat kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat. Ganti rugi yang diberikan juga sangat tidak manusiawi. Uang Rp2.500.000 itu tidak cukup untuk membangun rumah baru, apalagi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka setelahnya,” tegasnya.
Selain itu, Reni juga mengkritisi tindakan aparat yang dinilai represif terhadap warga. Solidaritas Perempuan Sebay Lampung mencatat adanya empat laporan kekerasan, termasuk pemukulan terhadap seorang laki-laki, dua perempuan yang terinjak, serta seorang perempuan hamil yang mengalami pendarahan.
ADVERTISEMENT
“Seharusnya aparat mengayomi masyarakat, bukan menakut-nakuti mereka,” katanya.
Dampak penggusuran ini juga semakin memperburuk kondisi warga, terutama perempuan dan anak-anak. Mereka kehilangan akses terhadap air bersih dan listrik.
“Banyak perempuan yang kehilangan tempat tinggal, kehilangan air bersih, dan anak-anak kehilangan akses pendidikan. Pemerintah harus segera mencari solusi, jangan hanya menunggu proses hukum yang bisa memakan waktu lama,” tambah Reni.
Saat ini, ada dua keluarga warga yang terdampak masih tinggal di Sekretariat Solidaritas Perempuan Sebay Lampung. Namun, tempat ini hanya bisa menampung perempuan dan anak-anak, sementara para laki-laki terpaksa mencari tempat lain untuk berlindung.
Komunitas tersebut juga menuntut pemerintah untuk segera memberikan solusi konkret bagi warga yang kehilangan tempat tinggal. Mereka mendesak agar aparat yang bertindak represif diusut, ganti rugi bangunan diberikan secara layak, serta pemerintah menyediakan pemukiman gratis atau bersubsidi bagi masyarakat miskin.
ADVERTISEMENT
"Kami menuntut agar pemerintah memikirkan nasib warga, apakah harus ada rumah susun atau solusi lainnya, agar masyarakat tidak terus hidup dalam ketidakpastian,” pungkas Reni. (Rud/Ansa)