Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten Media Partner
Anak Tukang Sate Wafat di RS M Djamil Padang, Tagihan Capai Rp109 Juta Lebih
25 Februari 2020 18:40 WIB
ADVERTISEMENT
Seorang batita, Zafran Sharique Lubis (1,5), meninggal dunia akibat penyakit meningitis atau radang selaput otak dan sumsum tulang belakang setelah dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) M. Djamil Padang, Minggu (23/2).
ADVERTISEMENT
Setelah kepergian Zafran, anak dari pasangan suami istri M. Nizar Lubis dan Khairatul Hayati itu harus menanggung beban biaya perawatan di rumah sakit sebesar Rp 109 juta.
Pasangan suami istri yang berprofesi sebagai pedagang sate keliling di Kota Payakumbuh itu bisa memulangkan jenazah buah hatinya sore hari, setelah mengurus beberapa urusan administrasi di rumah sakit.
Namun, tagihan rumah sakit yang mencapai Rp 109 juta lebih itu masih menjadi beban keluarga tersebut. Diketahui sebelumnya, Zafran juga pernah dirawat di Rumah Sakit Hermina Padang, dengan beban biaya mencapai Rp 25 juta. Namun, tagihan itu sudah dilunasi yang dibantu oleh salah seorang donatur.
Seorang Relawan Padang Berhijrah, Winna Whyuni Musdalifah, yang juga turut membantu pengurusan kepulangan jenazah Zafran menyebutkan, sejak dibawa ke Padang akhir Januari lalu, uang tagihan rumah sakit menjadi beban keluarga itu. Bahkan, mereka sempat kesulitan membawa jenazah Zafran ke Payakumbuh.
ADVERTISEMENT
“Zafran sempat mengalami koma, karena mengidap penyakit meningitis. Kemudian dirawat di RSUD Payakumbuh hingga akhir Januari 2020,” ujarnya di Padang, Selasa (25/2).
Keluarga itu, kata Winna, tidak memiliki BPJS. Mereka nekat membawa anaknya berobat karena kondisi Zafran semakin melemah. Zafran juga sempat dirawat di tiga rumah sakit tanpa menggunakan BPJS.
“Awalnya hanya demam dan muntah-muntah, sampai kondisi semakin memburuk. Akhirnya dilarikan ke rumah sakit di Payakumbuh. Diagnosis dokter, ia menderita meningitis,” jelasnya.
Lalu, Zafran juga sempat dirujuk ke RS Hermina Padang dengan biaya umum. Di sana, mereka juga memiliki tunggakan Rp 25 juta. Namun, biaya itu sudah dilunasi dengan bantuan donatur.
Zafran yang masih dalam kondisi koma, kemudian dirujuk ke RSUP M Djamil Padang. Pengobatan Zafran terus dilakukan tanpa BPJS.
ADVERTISEMENT
Diceritakan Winna, pada 5 Februari 2020, kartu BPJS Zafran disebutkan akan aktif. Hari itu pihaknya sudah mencoba minta bantuan kepada seorang pejabat di Kota Padang. “Akhirnya ada yang berkomunikasi dengan RS M. Djamil dan dijanjikan akan dipindahkan ke BPJS serta biaya yang tercatat telah dikurangi. Tapi ternyata, sampai meninggal malah tagihannya mencapai Rp 109 juta,” ucap Winna.
Winna merasa aneh, karena saat itu, seorang pejabat di Kota Padang sudah mendatangi RS M. Djamil dan berbicara langsung dengan direksi. Pejabat ini sepengetahuannya sudah berbicara ke dirut rumah sakit untuk dicarikan solusinya. Dirut itu, kata Wina, sudah mendatangi pasien, bahwa biaya akan ditangguhkan.
“Ketika itu biaya masih Rp 89 juta. Lalu, kami kaget pas dibilang bagian administrasi tunggakannya mencapai Rp109 juta lebih,” jelas Winna.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Pejabat Pemberi Informasi dan Dokumentasi RSUP DR M Djamil Padang, Gustafianof mengatakan, pihak rumah sakit tidak mempersulit proses pemulangan jenazah pasien. Bahkan, jika pasien sudah masuk, tanpa mempedulikan biaya rumah sakit akan memberikan pelayanan terbaik.
Menurutnya, Zafran saat masuk bukan pasien BPJS, tetapi di tengah jalan BPJS nya aktif. Sedangkan sesuai aturan BPJS, itu episode perawatannya harus selesai terlebih dahulu. Pihak rumah sakit menurutnya, hanya mematuhi aturan BPJS.
“Mereka memberlakukan BPJS di tengah jalan. Itu kan aturan tidak boleh. Tetapi kami tetap berikan pelayanan terbaik,” ujarnya, Selasa (25/2).
ADVERTISEMENT
Sementara, adanya anggapan bahwa kepulangan jenazah dipersulit, hal itu tidak benar. Menurutnya, ada urusan yang mesti diselesaikan, seperti surat sesuai aturan negara.
Apalagi, yang bersangkutan tagihan yang besar lebih dari Rp100 juta. “Kalau mereka tidak sanggup, tentu nanti ada surat keterangan dari pejabat di daerahnya, bahwa mereka tidak sanggup, jadi itu kebijakan negara. Jadi, itu hanya prosedur saja,” jelasnya.
Dijelaskannya, tidak ada yang sulit jika semua dilakukan sesuai aturan. Negara juga memiliki sistem penghapusan utang, karena rumah sakit juga milik negara. “Kalau tidak bisa mereka, tentu nanti ada pembebasan (utang),” ucapnya.
Jika memang ada nantinya uang terkumpul dari relawan dan donator, silahkan juga dibayarkan terlebih dahulu. Hal itu menurutnya tidak memberatkan.
ADVERTISEMENT
“Kalau ada dapat uang donatur, bayarkan saja dulu, berapa dapat, setorkan saja dulu, berapa yang ada saja. Tidak harus 100 juta. Soal lunasnya, nanti dari negara,” katanya. (Adi S)