Konten Media Partner

Masjid Kuno di Lereng Gunung Marapi

8 Juni 2018 17:46 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Masjid Kuno di Lereng Gunung Marapi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Langkan.id, Agam - Hembusan angin menerpa wajah setiap pengunjung yang berhadapan dengan sebuah masjid kuno berbahan kayu, pada sebuah lembah di lereng Gunung Marapi Sumatera Barat.
ADVERTISEMENT
Masjid Bingkudu, sebuah masjid kuno yang dibangun pada awal abad ke-19 ini, membawa ingatan setiap pengunjungnya pada sebuah suasana kehidupan zaman dahulu yang kental dengan nilai-nilai tradisionalnya.
Pada periode awal pembangunannya, setiap kayu pada masjid ini dihubungkan dengan pasak tanpa menggunakan paku.
Dinding, tiang, serta mimbarnya diukir dengan pola ragam hias khas Minangkabau. Mulai dari kaluak paku, saluak laka, carano kanso, lumuik anyuik dan masih banyak motif ukiran lain sehingga membuat takjub setiap mata yang memandangnya.
Masjid ini memiliki tiang yang berjumlah sebanyak 53 buah, semuanya terdiri 1 buah tiang macu atau tunggak tuo yang berada di tengah-tengah bangunan serta 52 buah tiang penyangga yang terdapat di sekelilingnya.
Keunikan masjid ini menarik perhatian beberapa peneliti, untuk mendalami masjid kuno yang terletak di Jorong Bingkudu Nagari Canduang, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam tersebut.
ADVERTISEMENT
Sejarawan Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang, Sudarman dalam bukunya yang berjudul Arsitektur Masjid dari Masa ke Masa menyebutkan, masjid ini didirikan pada tahun 1823 masehi yang diprakarsai Lareh Canduang yang bergelar Inyiak Basa atau Haji Salam.
Sebagai masjid tertua dan terbesar, pembangunan masjid ini juga melibatkan beberapa nagari yang ada di daerah tersebut, yaitu Canduang, Koto Laweh, Lasi Mudo, Pasaneh, Bukik, Batabuah, dan Lasi Tuo.
Ia menjelaskan keberadaan ornamen maupun ragam hias yang ada di masjid ini merupakan bentuk implementasi dari adagium adat basandi syarak dan syarak basandi kitabullah, yang biasa dianut masyarakat Minangkabau.
Selain itu, bentuk ragam hias yang umumnya mengadopsi bentuk tumbuhan tersebut, memperlihatkan hubungan seorang manusia dengan alam, sehingga melahirkan pepatah alam takambang jadi guru.
ADVERTISEMENT
Peneliti lainnya Syahrul Rahmat dari Komunitas Rangkiang Budaya Sumbar, mengungkapkan bangunan Masjid Bingkudu dipengaruhi bentuk bangunan tradisional Minangkabau lainnya, yaitu rumah gadang.
Ia menyebutkan secara garis besar Masjid Bingkudu memilki pola arsitektur yang menyerupai rumah gadang, hal tersebut terlihat dari beberapa bagian, mulai dari lantai, dinding, ragam hias hingga atap.
Masjid Bingkudu, kata dia, dibangun dengan mengadopsi bentuk bangunan tradisonal pada umumnya, yaitu lantai yang berupa panggung sehingga memberikan jarak atau ruang dari tanah ke lantai yang terbuat dari papan kayu.
Selain itu dinding masjid juga miring keluar, dalam artian tidak tegak lurus sebagaimana dinding pada umumnya. Hal tersebut jelas mengadopsi bentuk dinding bangunan rumah gadang yang semakin ke atas semakin miring ke bagian luar.
ADVERTISEMENT
Selain itu ragam hias dengan berbagai motif floral tersebut juga merupakan ragam hias yang biasa diukir pada dinding rumah gadang.
Begitu kentalnya pengaruh budaya lokal terhadap Masjid Bingkudu, menjadikannya masjid yang menyimpan khazanah keislaman yang ada di nusantara.
Keberadaannya sebagai saksi sejarah perjalanan agama Islam di daerah tersebut, menjadi tanggung jawab bersama untuk terus dijaga dan dilestarikan. (Ahmad S Piliang)