news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Aral Melintang Hak Warga Menggugat

Laras Susanti  Dosen Hukum
Dosen di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
1 Juni 2018 22:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Laras Susanti Dosen Hukum tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mahasiswa Hukum. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mahasiswa Hukum. (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Konsepsi hak asasi manusia yang bersifat universal mendorong lahirnya mekanisme perjuangan hak menerobos sekat-sekat diferensiasi sistem hukum. Sebagai contoh, Class Action (gugatan perwakilan kelompok) yang lahir di negara-negara penganut common law system, kini juga hadir di berbagai negara lain terlepas dari sistem hukum yang digunakan.
ADVERTISEMENT
Layaknya gugatan pada umumnya, gugatan perwakilan kelompok menjadi sarana bagi pihak yang merasa dirugikan untuk mendapatkan ganti rugi. Bedanya, mekanisme gugatan ini diajukan oleh beberapa orang perwakilan mewakili kepentingan lebih banyak orang. Lebih jauh dari sekadar upaya mengefisiensi proses beracara, gugatan perwakilan kelompok menjadi salah salah satu mekanisme perjuangan hak warga negara.
Di berbagai negara, gugatan perwakilan kelompok berkembang sejalan dengan perjuangan hak atas kelestarian lingkungan. Pemerintah dan pelaku usaha acap kali digugat di muka sidang dalam kasus pencemaran lingkungan.
Hak warga untuk mengajukan gugatan perwakilan kelompok setidaknya dapat merujuk pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan.
Sementara dalam hal hukum acara, HIR dan RBg-hukum acara perdata yang berlaku tidak mengatur mekanisme tersebut. Beruntungnya, hal tersebut dapat teratasi dengan lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
Kompleksitas prosedur, kurangnya rasa percaya pada institusi peradilan, tekanan akibat relasi kuasa, setidaknya menjadi contoh hambatan yang paling serius.
ADVERTISEMENT
Bukan lagi rahasia, pemerintah seringkali bersekutu pelaku usaha. Celakanya, alih-alih mendapatkan ganti rugi yang diharapkan, di beberapa kasus justru warga mendapatkan tekanan dari pemerintah bahkan disangkakan atas perbuatan pidana.
Inilah yang mendorong lahirnya gugatan organisasi. Biasanya organisasi non-pemerintah atas nama kepentingan masyarakat mengajukan gugatan tujuannya mendesak upaya koreksi atas perbuatan yang dilakukan negara atau pelaku usaha atas kerugian yang terjadi bukan ganti kerugiaan kepada penggugat.
Sejauh ini, hak organisasi untuk mengajukan gugatan lebih dikenal untuk isu perlindungan atas lingkungan dan konsumen. Padahal, masih banyak aspek kehidupan lain dimana mekanisme terobosan dibutuhkan.
Gugatan Warga Negara
Gugatan warga negara atau yang dikenal di India sebagai public interest lawsuit atau di Amerika Serikat sebagai citizen lawsuit, dianggap dapat menjadi mekanisme terobosan yang dibutuhkan.
ADVERTISEMENT
Di Amerika Serikat, gugatan warga negara di level federal setidaknya diatur dalam The Resource Conservation and Recovery Act (“RCRA”), 42 U.S.C. §6972; the Clean Air Act (“CAA”), 42 U.S.C. §7604; and the Clean Water Act (“CWA”), 33 U.S.C. §1365.
J.H. Adler (2011) menganalisis bahwa keberadaan peraturan-peraturan di atas secara umum bukti bahwa kongres menyadari pentingnya peran masyarakat untuk perlindungan lingkungan.
Gugatan warga negara dialamatkan kepada pemerintah dan/atau pelaku usaha. Adler juga menambahkan bahwa gugatan ini dibawa oleh warga yang punya kecukupan pengetahuan akan isu lokal di daerahnya.
Menggunakan analisis Adler di atas, dalam mengajukan gugatan warga negara, seorang penggugat tidaklah harus ia yang merasakan dan menanggung langsung kerugian. Penggugat menjadi representasi warga yang lebih luas. Mirip dengan gugatan organisasi, yang dituju adalah upaya koreksi yang harus dilakukan oleh negara dan/atau pelaku usaha.
ADVERTISEMENT
Meskipun sudah jamak digunakan di negara lain, di Indonesia belum ada aturan yang menjelaskan mekanisme ini. Namun, patut diapresiasi sejumlah pengadilan menerima masuknya gugatan dengan karakteristik gugatan warga negara.
Contohnya dalam kasus penanganan buruh migran di Nunukan, Kalimantan Timur, ujian nasional, swatanisasi air di Jakarta, dan operasi yustisi atau operasi kependudukan di Jakarta.
Secara implisit, hak untuk mengajukan gugatan warga negara dibuka dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Sementara itu, Mahkamah Agung juga sudah menunjukan perhatian pada mekanisme ini. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung dalam hasil kajian atas gugatan warga negara (2009) menyebutkan bahwa mekanisme ini menjadi implementasi akses individu/orang untuk memperjuangkan kepentingan seluruh warga.
ADVERTISEMENT
Hasil kajian Mahkamah Agung tersebut sejalan dengan pendapat A.S. Cutler (1953) gugatan warga negara menjadi mekanisme memberdayakan pencari keadilan dan solusi bagi warga terdampak yang enggan menggugat, melalui mekanisme ini dapat dihasilkan perubahan kebijakan yang bermanfaat bagi kepentingan umum.
Tantangan ke depan
Keberadaan mekanisme gugatan perwakilan kelompok, gugatan organisasi dan gugatan hak warga negara tak lagi diragukan menjadi sarana memperjuangkan hak. Sayangnya, undang-undang yang mengatur mengenai hak substantif mengajukan jenis- jenis gugatan tersebut masih terbatas.
Hal lain adalah perihal kompetensi lingkungan peradilan yang mengadili. Dalam konteks kompetensi mengadili, gugatan perwakilan kelompok, gugatan organisasi dapat diajukan ke pengadilan negeri atau pengadilan tata usaha negara. Bedanya, obyek gugatan yang diajukan ke pengadilan tata usaha negara adalah surat keputusan pejabat tata usaha negara.
ADVERTISEMENT
Namun, jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Publik, perbuatan pemerintah menjadi obyek kewenangan dari peradilan tata usaha negara. Sayangnya perubahan tersebut belum diikuti dengan Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Hal ini tentu menimbulkan kebingungan lingkungan peradilan mana yang kompeten mengadili gugatan warga negara melawan pemerintah. Tak hanya itu, jamak terjadi, majelis hakim tidak menguasai prosedur berperkara untuk ketiga mekanisme tersebut. Belum lagi mengenai substansi perkara yang terus berkembang. Tak jarang pula, kemenangan perlawanan di pengadilan sulit dieksekusi karena bebalnya negara.
Tentu hambatan di atas harus diatasi. Hak warga menjadi pertaruhannya. Sembari menunggu perubahan undang-undang terkait, Mahkamah Agung didesak membentuk peraturan untuk mewadahi praktek gugatan organisasi dan warga negara yang sudah ada saat ini.
ADVERTISEMENT
Mahkamah Agung juga harus meningkatkan kemampuan hakim dan mengawal eksekusi putusan semaksimal mungkin. Keberadaan ketiga mekanisme tersebut tidak hanya memperkaya sistem hukum negeri ini, tapi pula menjadi sarana mencari keadilan—cita besar yang dijamin oleh konstitusi kita.