Problematika Batas Usia Dewasa di Indonesia

Laras Susanti  Dosen Hukum
Dosen di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
25 September 2018 14:54 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Laras Susanti Dosen Hukum tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Remaja (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Remaja (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Kata dewasa tentu tidak asing di telinga khalayak. Dalam kehidupan sehari-hari, kata dewasa digunakan untuk membagi kelompok usia. Misalnya, dalam hal tarif transportasi, dewasa diharuskan membayar tarif penuh. Berbeda dengan tarif untuk anak-anak maupun remaja.
ADVERTISEMENT
Secara luas, kata dewasa juga digunakan untuk menggambarkan kondisi seseorang dengan pemikiran yang sudah matang. Penggunaan oleh masyarakat tersebut sejalan dengan pengertian dewasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dewasa diartikan sebagai: 1) sampai umur; akil balig (bukan kanak-kanak atau remaja lagi; 2) telah mencapai kematangan kelamin; 3) matang (tentang pikiran, pandangan, dan sebagainya).
Menggunakan definisi KBBI tersebut, selain berkaitan dengan kematangan pikiran, dewasa juga diartikan sebagai fase pertumbuhan manusia setelah remaja dan mencapai kematangan kelamin.
Artinya, sebagai fase pertumbuhan, umumnya menjadi dewasa tidak dapat dihindari. Dalam konteks kematangan pikiran, pertumbuhan fisik, dan pencapaian kematangan kelamin tidak serta merta membuat seseorang matang matang pikiran.
ADVERTISEMENT
Kompleksitas berlanjut dalam hal menentukan batas usia dewasa secara hukum. Batas usia dewasa digunakan untuk menentukan kecakapan seorang untuk melakukan perbuatan hukum. Tentu dalam kehidupan sehari-hari, kita pernah mengalami peristiwa yang membuat kita harus mengerti batas usia dewasa secara hukum.
Contohnya, apakah seorang seniman yang berusia 17 tahun dapat menandatangani kontrak rekaman? Apakah seorang pelajar SMP yang berusia 13 tahun dapat diproses secara hukum karena memukul teman sekolahnya sampai luka berat?
Beragam Peraturan
Antrean e-KTP di TMII (Foto: Joseph Pradipta/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Antrean e-KTP di TMII (Foto: Joseph Pradipta/kumparan)
Realitasnya, batas usia dewasa diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Berikut adalah ulasan beberapa contoh peraturan perundang-undangan yang menyebutkan batas usia dewasa maupun yang memberikan batasan usia untuk menentukan kecakapan hukum dalam suatu perbuatan hukum tertentu.
ADVERTISEMENT
Pertama, Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur bahwa yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun, dan tidak kawin sebelumnya. Kedua, dalam Pasal 98 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyatakan batas umur anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang ank tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
Ketiga, Surat Keputusan Dirjen Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) No. Dpt.7/539/7-77, tertanggal 13-7-1977 membagi pengertian dewasa menjadi: 1) dewasa politik, misalnya adalah batas umur 17 tahun untuk dapat ikut Pemilu; 2) dewasa seksual, misalnya adalah batas umur 18 tahun untuk dapat melangsungkan pernikahan menurut Undang-Undang Perkawinan yang baru; 3) dewasa hukum dimaksudkan adalah batas umur tertentu menurut hukum yang dapat dianggap cakap bertindak dalam hukum.
ADVERTISEMENT
Keempat, Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 07 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, dan Hasil Rapat Kamar Perdata Mahkamah Agung RI tanggal 14-16 Maret Tahun 2011 disepakati bahwa batas usia dewasa adalah 18 tahun.
Kelima, yang terbaru berkaitan dengan bidang pertanahan adalah Surat Edaran Menteri Agraria dan tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4/SE/I/2015 tentang Batasan Usia Dewasa dalam Rangka Pelayanan Pertanahan menetapkan bahwa usia dewasa yang dapat melakukan perbuatan hukum dalam rangka pelayanan pertanahan adalah paling kurang 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.
Urutan selanjutnya adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kecakapan melakukan suatu perbuatan hukum. Keenam, Pasal 145 ayat (1) Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (HIR) mengatur untuk dapat menjadi saksi, seseorang harus sudah berusia 15 tahun.
ADVERTISEMENT
Ketujuh, Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Kedelapan, Pasal 39 dan 40 Undang-Undang tentang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang mengatur bahwa syarat menjadi pengadap juga saksi adalah 18 tahun.
Selain yang bersifat keperdataan, batas usia dewasa juga diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam bidang hukum administrasi dan pidana. Kesembilan, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden mendefinisikan Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin. Kesepuluh, Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyatakan Warga Negara Indonesia dapat menjadi anggota Partai Politik apabila telah berumur 17 tahun atau sudah/ pernah kawin.
ADVERTISEMENT
Kesebelas, Pasal 63 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, menyatakan Penduduk Warga Negara Indonesia adalah Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap yang telah berumur 17 tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki e-KTP.
Melanjutkan catatan di atas, kedua belas adalah peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Pasal 1 angka 3, angka 4 dan angka 5 diatur: anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana; anak yang menjadi korban tindak pidana adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana; anak yang menjadi saksi tindak pidana adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.
ADVERTISEMENT
Harmonisasi Peraturan
Ilustrasi e-KTP. (Foto: Fitra Andrianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi e-KTP. (Foto: Fitra Andrianto/kumparan)
Yang diulas di atas adalah dua belas contoh peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai batas usia dewasa maupun kecapakan melakukan perbuatan hukum. Sejumlah peraturan menggunakan batas usia 18 tahun, lainnya menggunakan 17 tahun maupun 21 tahun. Lantas manakah yang digunakan? Bahkan jika kita mengamati putusan-putusan hakim terdapat ketidakseragaman penerapan batas usia dewas meski untuk perkara-perkara serupa.
Dalam sistem hukum jika terjadi gesekan di antara norma hukum maka asas hukum digunakan untuk memecah kebuntuan. Dalam konteks konflik antar-peraturan perundang-undangan, asas-asas yang relevan untuk digunakan adalah lex superior derogat legi inferior (aturan yang lebih tinggi mengalahkan aturan yang lebih rendah); lex specialis derogat legi generalis (aturan yang lebih spesifik mengalahkan aturan yang lebih umum); lex posterior derogat legi priori (aturan yang lebih baru mengalahkan aturan yang lama).
ADVERTISEMENT
Berkaitan dengan batas usia dewasa, ketentuan dalam KUHPerdata dipandang sebagai ketentuan umum, sehingga untuk bidang keperdataan yang khusus digunakan undang-undang yang lebih spesifik. Asas lex specialis derogat legi generalis diberlakukan dalam konteks itu, syaratnya peraturan yang bersinggungan haruslah sederajat.
Misalnya, UU Jabatan Notaris menyimpangi ketentuan batas usia dewasa dalam KUHPerdata. Demikian halnya dalam ketentuan lain di bidang yang lebih spesifik. Kedua asas lainnya tentu dapat digunakan dalam kondisi yang sesuai.
Meskipun keberadaan asas hukum dapat memecahkan kebuntuaan, tetap dibutuhkan harmonisasi. Penggunaan asas hukum amat bergantung pada penegak hukum maupun pemangku kebijakan. Hal lain adalah mempertimbangkan batas usia yang sudah ada apakah sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Misalnya, meninjau ulang batas minimal untuk menikah dan anak dalam sistem peradilan pidana.
ADVERTISEMENT
Tujuannya selain untuk memberi kepastian hukum batas usia dewasa juga memastikan perlindungan anak. Pembedaan perlakuan berbeda bagi anak dan dewasa di hadapan hukum telah menjadi perhatian khalayak sejak lama.