Sudahkah Negara Hadir untuk Anak Luar Kawin?

Laras Susanti  Dosen Hukum
Dosen di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
3 September 2018 16:25 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Laras Susanti Dosen Hukum tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Anak Indonesia (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Anak Indonesia (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Enam tahun lalu, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 46/PUU-VII/2010 membuat terobosan hukum. Terobosan yang menyebabkan anak luar kawin tidak lagi hanya memiliki pertalian hukum dengan ibu kandungnya tetapi juga ayah kandungnya.
ADVERTISEMENT
Putusan tersebut mendapat perhatian publik, dikaji di berbagai forum, menjadi topik penelitian dan penulisan, pertanyaannya sejauh mana dampak putusan tersebut bagi perlindungan hak anak?
Perihal Anak Luar Kawin
Sistem peradilan perdata Indonesia tidak bisa dilepaskan dari anasir-anasir ketentuan agama, maupun kepercayaan selain ketentuan hukum tertulis yang diperkenalkan Pemerintah Kolonial Belanda maupun yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia pasca-kemerdekaan. Di negeri ini, hukum agama dan kepercayaan mempunyai pengaturan sendiri mengenai sahnya perkawinan dan hak anak dalam perkawinan.
Beragamnya pengaturan, tidak bisa dipungkiri dapat menimbulkan gesekan-gesekan. Hukum negara yakni dalam bentuk peraturan perundang-undangan diharapkan hadir untuk dapat melengkapi ketentuan dalam hukum agama dan hukum adat yang selama ini sudah ada dan menjamin pelaksanaan hak-hak warga negara.
ADVERTISEMENT
Memanggil kembali ingatan kita, Putusan Mahkamah Konstitusi di atas adalah jawaban atas permohonan Aisyah Mochtar alias Machica Mochtar dan anak kandung Machica Mohtar yaitu Muhammad Iqbal Ramadhan. Para pemohon mengajukan permohonan pada Agustus 2010 kemudian diputus pada tanggal 13 Februari 2012. Mahkamah Konstitusi membutuhkan kurang lebih dua tahun untuk memutus permohonan tersebut.
Pokok permohonan adalah meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) terhadap Pasal 28 B ayat (1), Pasal 28 B ayat (2), dan Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).
Pasal 2 UU Perkawinan mengatur mengenai sahnya suatu perkawinan. Pasal 2 ayat (1) berbunyi perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Selanjutnya, dalam Pasal 2 ayat (2) dinyatakan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Dalam perkara a quo, pemohon menyatakan terikat perkawinan yang sah secara hukum agama Islam dengan Moerdiono. Dalam perkawinan keduanya tersebut lahir seorang anak. Namun, perkawinan tersebut tidak dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ilustrasi anak dan orang tua.  (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak dan orang tua. (Foto: Thinkstock)
Sementara, kedudukan anak luar kawin diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan yaitu anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Ketentuan dalam UU Perkawinan di atas didalilkan oleh para Pemohon bertentangan dengan UUD NRI 1945 dimaksud di atas mengatur mengenai hak setiap orang untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan yang sah, hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, dan hak setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan. Pertama, berkaitan dengan kewajiban pendaftaran perkawinan, Mahkamah Konstitusi memandang pendaftaran yang dimaksud dalam UU Perkawinan adalah sebuah kewajiban yang tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945 karena ditujukan untuk perlindungan hak. Kedua, berkaitan dengan kedudukan anak luar kawin, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa tidak adil jika seorang anak hanya memiliki pertalian hukum dengan ibunya.
Seorang anak lahir karena adanya ovum dari ibunya dan spermatozoa dari ayahnya. Terlebih, saat ini, pembuktian dipermudah dengan adanya perkembangan teknologi untuk membuktikan pertalian biologis.
Atas dasar pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus dibaca sebagai berikut “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan ayahnya.”
ADVERTISEMENT
Politik Hukum Negara
Gedung Mahkamah Konstitusi (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Mahkamah Konstitusi (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Mahkamah Konstitusi mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak. Putusan tersebut dianggap menjadi salah satu landmark perlindungan hak asasi manusia.
Terlepas dari pandangan yang berseberangan, putusan tersebut harus diakui sebagai sumber hukum yang menjadi acuan bagi siapapun di negeri ini, khususnya negara dalam menjamin hak anak luar kawin.
Realitasnya, jauh panggang dari api. Enam tahun sejak diputuskan, belum ada perubahan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan terkait yang dapat membantu pelaksanaan putusan tersebut. Berkaitan dengan kedudukan anak, definisi anak luar kawin sebagaimana dimaksud dalam UU Perkawinan dan Putusan MK tersebut, misalnya berbeda dengan ketentuan dalam agama.
Dalam hukum agama dan kepercayaan maupun doktrin, terma anak luar kawin memiliki jenis-jenis tersendiri, oleh karena itu diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai hukum acara pengakuan kedudukan anak luar kawin.
ADVERTISEMENT
Pengaturan yang memastikan akomodasi terhadap hukum agama dan kepercayaan dan menjamin hak anak. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa pengadilan agama maupun pengadilan negeri memiliki panduan ketika berhadapan dengan kasus yang berkaitan dengan anak luar kawin.
Tanpa respons dari DPR dan Presiden, alih-alih menjadi tonggak jaminan hak anak, Putusan Mahkamah Konstitusi hanya menjadi kertas tak bernyawa. Karena seperti yang dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi, terlepas dari keabsahan perkawinan orang tuanya yang disengketakan, anak berhak mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum yang adil.
Karena seperti dinyatakan Pasal 28 B ayat (2), setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Setiap anak tanpa kecuali.