Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Kamu kan Perempuan, Masa?
27 Juli 2021 10:45 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari lathifa kamila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saat terpaksa berhenti melakukan yang kamu suka, kamu pasti merasa sedih dan tidak nyaman kan?
ADVERTISEMENT
Nah, itulah yang dirasakan oleh Athaya Mahira, mahasiswi Universitas Bina Nusantara berumur 21 tahun ketika harus berhenti melakukan hobi dan kesukaannya bermain bola. Sejak 6 tahun, Athaya senang bermain bola dengan tetangganya. Ia pun juga sering menonton pertandingan bola internasional dan melakukan berbagai trik bola.
Namun, kesenangannya terpaksa berhenti hanya karena anggapan orang-orang sekitarnya bahwa perempuan tidak boleh bermain bola. Saat dewasa, teman laki-lakinya juga tidak ada yang mau mengajak Athaya untuk bermain bola lantaran ia adalah seorang perempuan.
Karena pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan gender dengan hobinya serta perlakukan itulah, membuat Athaya merasa telah melakukan hal yang salah dan tidak normal. “Aku merasa sedih karena memang dulu sering banget main bola, yang sekarang nggak bisa main lagi hanya karena aku perempuan. Namun aku lebih ikhlas dan nyoba untuk cari hobi baru,” tukas Athaya Mahira.
ADVERTISEMENT
Athaya memang menganggap sejak zaman dahulu, perempuan selalu didesak untuk menuruti budaya konstruksi gender di masyarakat. Apabila perempuan tidak menggubris stigma yang ada, mereka akan dianggap berbeda dan ganjil. Terlahirnya seorang manusia dalam satu gender baik perempuan ataupun laki-laki bukan berarti ia tidak mampu melakukan sesuatu yang dianggap masyarakat tidak pantas hanya karena gender yang dimilikinya.
Meskipun Athaya merasa jika menghentikan diskriminasi terhadap perempuan merupakan sesuatu hal yang sulit untuk digapai karena budaya yang sudah ada sejak dahulu, mengurangi diskriminasi yang ada dapat dilakukan secara perlahan melalui edukasi dini. Ia juga berharap stigma yang ada dapat mengendur walaupun hanya sedikit namun setidaknya perempuan dapat dengan bebas melakukan hal yang ia suka.
Lain halnya dengan Nadira Ruby yang juga berumur 21 tahun dan merupakan mahasiswi Universitas Al Azhar Indonesia. Sebagai perempuan yang independen, ia merasa perlu meninggikan standarnya dalam memilih pasangan. Kebebasan dalam menentukan dan menjalani hidupnya adalah prinsip yang selalu dipegang teguh oleh Nadira.
ADVERTISEMENT
Baginya, hidup orang berbeda-beda dan seorang perempuan juga berhak menentukan pilihan dalam hidupnya masing-masing sehingga tidak memiliki kewajiban untuk memenuhi stigma yang ada di masyarakat. Dengan prinsipnya ini, tidak jarang Nadira mendapatkan kritikan dan tuntutan untuk menjadi seorang perempuan yang sesuai dengan standar yang diciptakan oleh masyarakat.
Ketidaksukaannya dalam dunia dapur juga membuat Nadira mendapatkan tuntutan bahwa seorang anak perempuan harus dapat mengerjakan pekerjaan dapur untuk persiapan saat menikah nantinya. Seringkali tanpa ia sadari, Nadira merasa tertekan karena harus mengikuti stigma yang ada. Nadira juga merasa bingung dan kesal dengan tuntutan dan diskriminasi gender yang ia rasakan dapat mengubah hidupnya tidak seperti yang ia suka dan bahkan hingga menyakiti hatinya.
ADVERTISEMENT
Dilansir dari VOA Indonesia, diskriminasi terhadap perempuan semakin memburuk karena pandemi Covid-19. Hal ini disampaikan dalam konferensi pers virtual yang dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dengan 8 Menteri Luar Negeri perempuan mengenai pencegahan diskriminasi terhadap perempuan saat pandemi Covid-19. Direktur Organisasi Kapal Perempuan Misiyah juga menyetujui adanya peningkatan diskriminasi terhadap perempuan selama Covid-19 di mana potensi beban ganda dan kekerasan menjadi rentan terjadi pada perempuan.
Berbagai sebab adanya diskriminasi gender ini tidak mungkin hanya bersumber dari satu atau dua alasan saja. Budaya yang ada sejak dahulu hingga saat ini di mana mewajarkan seorang perempuan harus bertanggung jawab dalam pekerjaan rumah, tidak mengemban pendidikan, maupun seringkali dianggap hanya sebagai “objek” pernikahan yang dapat bebas diperlakukan apapun oleh laki-laki inilah yang menjadi faktor munculnya stigma dan diskriminasi di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Stigma ini menurut Nadira bahkan dilihat masyarakat sebagai sesuatu yang positif di mana perempuan dapat hidup dengan nyaman. Ia melihat bahwa setiap pilihan perempuan beragam dan tidak dapat disamaratakan. Tidak adil rasanya bila seorang perempuan yang memutuskan untuk hidup tidak sesuai dengan stigma yang ada dianggap salah dan menolak budaya. Meskipun begitu Nadira mengaku stigma ini terlalu sulit untuk dihilangkan, yang terpenting ialah setiap perempuan untuk berfokus pada dirinya sendiri.
Nadira juga ingin membuktikan melalui tindakan bahwa seorang perempuan lebih dari apa yang mereka pikirkan. Sebagai seorang perempuan, Nadira berharap siapapun yang mengalami diskriminasi dalam bentuk apapun dapat selalu dikuatkan serta teguh atas tujuan di hidupnya. Nadira mengatakan bahwa “Selagi aku, kamu, mereka, kita semua yang selalu dianggap “kecil” atau “remeh”, dapat terus bangkit dan menunjukkan lebih, stigma tersebut lama kelamaan akan hilang karena banyak yang berusaha menghilangkannya”.
ADVERTISEMENT
Tidak jauh berbeda, seorang mahasiswi Universitas Gadjah Mada yaitu Luthfiah Farharani yang berumur 20 tahun merasa perbedaan perlakuan antara dirinya dan kedua adiknya. Ia merasa sebagai perempuan ia dituntut untuk rajin mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga oleh orang tuanya, sementara adik laki-lakinya yang berumur 18 tahun tidak pernah dituntut demikian. Luthfiah sebetulnya tidak masalah dengan tuntutan tersebut, tapi menurutnya setiap orang memiliki kewajiban untuk mengurus rumah tanpa memandang gender.
Luthfiah seringkali merasa sedih dan marah dengan perilaku diskriminatif dari orang tuanya, namun ia tidak dapat berbuat apapun. Ia juga menyaksikan diskriminasi gender terjadi ketika pemilihan ketua kuliah kerja nyata (KKN) di kampusnya. Meskipun awalnya terdapat satu anggota perempuan yang usulkan menjadi ketua, namun akhirnya seluruh calon ketua hanya laki-laki karena menghindari pemimpin perempuan. Menurut Luthfiah, meskipun anggota perempuan yang dimaksud bukanlah dirinya, namun ia merasa hal tersebut adalah bentuk diskriminasi yang tidak masuk akal.
ADVERTISEMENT
Apa yang dirasakan oleh Luthfiah sesuai dengan data yang dilansir dari Komnas Perempuan dalam CNN Indonesia menunjukkan bahwa perempuan mengalami peningkatan beban kerja dua kali lipat dibanding laki-laki dalam pekerjaan rumah tangga. Sehingga berakibat pada meningkatnya stress dan kecemasan bagi perempuan sebanyak 57% dibandingkan laki-laki sebanyak 48%.
Sama halnya dengan Athaya dan Nadira, Luthfiah memandang sebagian besar budaya Indonesia memang bersifat patriarki dan menempatkan perempuan berada di bawah laki-laki. Bahkan budaya yang ada juga mempengaruhi Undang-Undang tentang kesejahteraan perempuan seperti RUU PKS menjadi cenderung sulit disahkan. Dengan keteguhan di dalam hidupnya, Luthfiah yakin bahwa diskriminasi harus dihilangkan. Menurutnya sudah banyak kerugian yang dialami para perempuan akibat diskriminasi gender bahkan hingga mengalami kerugian besar seperti materi atau bahkan kehilangan nyawa.
ADVERTISEMENT
Luthfiah percaya, melalui narasi yang gencar untuk melawan kekerasan berbasis gender dapat dimulai dari orang sekitar atau bahkan melalui aksi yang lebih besar seperti kampanye media sosial ataupun turun ke jalan, dapat membantu menghilangkan diskriminasi gender. Dukungan sesama perempuan juga harus dilakukan dan dijaga sehingga para korban diskriminasi merasa nyaman dan berani mengutarakan pendapatnya serta berani melawan agar mampu mengubah stigma yang mendiskriminasi kaum perempuan.
Pernahkah kamu merasa didiskriminasi oleh lingkungan sekitar hanya karena kamu seorang perempuan?