Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
29 Ramadhan 1446 HSabtu, 29 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Perawat Jalang: Waspada Stigmatisasi Profesi Perawat akibat Konten Sporadis
19 Desember 2022 9:57 WIB
Tulisan dari Latifah Fajri Nur Azizah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Waspada! Stigmatisasi profesi perawat dengan kaitan seksualitas dapat terjadi akibat konten sporadis dengan atribut profesi
ADVERTISEMENT
Sebagai generasi yang tumbuh bersama teknologi, internet menjadi teman akrab dalam aktivitas sehari-hari, termasuk bagi perawat. Berdasarkan data Survei Susenas (2021), sebanyak 90,54% keluarga di Indonesia tercatat memiliki minimal satu telepon seluler dan menguasai penggunaannya. Pada tahun tersebut, sebanyak 62,10% dari jumlah penduduk Indonesia tercatat telah mengakses internet (Badan Pusat Statistik, 2022).
ADVERTISEMENT
Seperti yang sama-sama kita ketahui, internet dapat menghubungkan penggunanya terhadap pajanan informasi ataupun hiburan yang luas dan tidak terbatas, baik melalui penelusuran maupun konten yang disuguhkan atas dasar algoritma media. Dalam banyak literatur, disebutkan bahwa internet yang di dalamnya termasuk menghubungkan ke media sosial, memiliki peran yang sangat besar terhadap pembentukan persepsi seseorang. Namun, alih-alih memikirkan kepentingan publik, saat ini mayoritas media dinilai mengunggah konten setidaknya atas dasar kepentingan ekonomi atau kekuasaan (Taufik & Muzairi, 2016).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Tim We Are Social (2020), platform media terbesar dalam jaringan internet saat ini adalah instagram, dengan jumlah lebih dari satu miliar pengguna pada setiap bulannya. Adiyanto & Ashari (2021), menyebutkan bahwa konten parodi seksual atau yang berkaitan dengan pornografi lainnya, banyak diminati oleh peselancar media sosial, khususnya di instagram. Semakin banyak diminati, jumlah likes dan followers tentu linier akan bertambah. Hal tersebut dapat meningkatkan status kuasa dan sumber pendapatan bagi pengelola media.
ADVERTISEMENT
Dalam Nugroho & Samsuri (2013), disebutkan bahwa konteks pornografi di media diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu mengeksploitasi yang di dalamnya terdapat unsur kejahatan, atau mengekspos keindahan atas dasar sensualitas. Meski tidak terdapat unsur kejahatan sebagaimana konten eksploitasi, hal-hal yang memproduksi sensualitas dalam lingkup profesi, tidak selaras dengan etik dan moral yang berlaku. Berman (2016), mendefinisikan istilah etik dalam kata yang umum dan memiliki beberapa makna, yaitu etik dapat diartikan sebagai:
Dalam Potter & Perry (2017), etik keperawatan menempatkan perawat memiliki peran sebagai advokat, pemecah dilema etik dengan menjalin relasi yang baik, dan memprioritaskan pasien dengan masing-masing karakter uniknya.
ADVERTISEMENT
Moralitas (moral) dipahami mirip dengan etik. Mayoritas orang menggunakan istilah etik dan moral secara bergantian. Namun, dalam makna sebenarnya, moralitas biasanya merujuk pada standar pribadi dan kepribadian tentang apa yang benar dan salah dalam tingkah laku, karakter, serta sikap. Seringkali petunjuk pertama mengenai moral sifatnya berasal dari keaktifan suara hati atau kesadaran akan perasaan, misalnya rasa bersalah, harapan, atau rasa malu. Indikator lain terkait moral adalah kecenderungan untuk menanggapi situasi dengan kata-kata seperti: seharusnya, benar, salah, baik, dan buruk. Untuk itu masalah moral menyangkut erat dengan norma sosial (Berman, 2016).
Rangkaian berita terkait perawat yang viral akibat konten sporadis
Pada Juli 2022, viral perawat asal luar Indonesia yang mengunggah konten sebagai tanggapan atas komentar negatif pada konten yang diunggah pada laman media sosialnya. Dituliskan dalam video unggahannya:
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, setiap unggahannya yang mengenakan pakaian perawat, dibanjiri komentar bahwa ia semestinya mengenakan pakaian kerja yang lebih longgar.
ujar yang lainnya.
Unggahan perawat tersebut menuai komentar yang terpecah menjadi dua kubu, yaitu yang menyatakan cara berpakaiannya tidak mencerminkan profesionalisme, dan yang lainnya memberi pembelaan bahwa tubuhnya memang demikian, sehingga tidak ada yang salah dengan bagaimana ia berpenampilan. Namun, terlepas dari dua pernyataan tersebut, sebelumnya kasus serupa juga terjadi pada perawat asal Rusia yang diskors karena mengenakan pakaian transparan semasa bertugas saat awal pandemi covid lalu. Beliau tidak menyadari bahwa pakaian dalam yang dikenakan tersebut menembus pandang Alat Pelindung Diri (APD) yang digunakan. Selain itu, perawat asal Thailand pada 2017 lalu, unggahan foto di media sosialnya juga menjadi viral lantaran pakaian seragam perawat yang digunakan terlalu ketat sehingga menampilkan jelas lekukan tubuhnya. Perawat asal Thailand tersebut dianggap tidak menghargai profesinya sehingga dipaksa meminta maaf kepada publik oleh instansi tempatnya bekerja.
ADVERTISEMENT
Beberapa contoh tersebut, patut dijadikan pembelajaran bagi calon profesionalisme keperawatan untuk menjaga etika profesi termasuk dengan bagaimana berpenampilan. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia sendiri, menerapkan aturan 6-NO yang merupakan akronim dari: no kaos, no legging, no ketat, no jeans, no sandal, dan no transparan. Tujuannya adalah untuk membiasakan, menyiapkan, dan menjaga profesionalisme sejak menjadi calon perawat. Mata kuliah Profesionalisme dalam Keperawatan (PDK) juga diberikan secara terstruktur pada tahun kedua, yakni semester tiga.
Selayaknya manusia normal yang membutuhkan interaksi, perawat maupun profesi lainnya memiliki hak yang sama dalam meluncurkan interaksi di ruang nyata maupun maya. Namun, Berman (2016), menyebutkan bahwa di samping memiliki pemahaman terhadap modal penyembuhan yang holistik dan terapi komplementer, perawat perlu memiliki pemahaman terkait dasar legalitas dan etik. Terlebih konten media sosial bergerak secara sporadis dan rekam jejaknya tidak mudah untuk dihilangkan.
ADVERTISEMENT
tentunya berisiko mengakibatkan perawat mendapat stigmatisasi negatif yang disematkan atas nama profesi.
Sebagai tenaga kesehatan terbanyak di Indonesia menurut data Pusdatin 2021, pelanggaran etik dan moral dari satu oknum jangan sampai mencoreng nama baik perawat lainnya yang telah belajar dan bekerja dengan keras untuk menyongsong kesehatan penduduk negeri.
Kesimpulan dan saran penulis
Media sosial dan urusan berpenampilan memang merupakan hak pribadi. Namun, dalam iklim media yang bergerak dengan sporadis, calon perawat dan/atau perawat profesional semestinya turut menjunjung etik dan moral di manapun berada termasuk saat di ruang maya. Dari kasus-kasus yang telah tercatat dalam rekam jejak media, semestinya dapat dijadikan pembelajaran bagi calon perawat dan/atau perawat profesional. Stigmatisasi terkait hal-hal seksualitas juga tidak semestinya dinobatkan kepada suatu profesi tertentu saat kasus serupa terjadi. Saran lainnya terkait tokoh dalam kasus yang rekam jejaknya tidak terhapus, tidak semestinya dilabeli dengan penghakiman tertentu, karena Stuart (2013), menyebutkan bahwa
ADVERTISEMENT
Sebagai profesionalisme yang memiliki kewajiban mengembangkan diri, dengan memahami konsep etik, moral, dan sikap profesional diharapkan mampu menunjukkan citra positif guna mereduksi stigmatisasi negatif di masyarakat. Sehingga apabila kepercayaan masyarakat terhadap perawat meningkat, kualitas mutu pelayanan keperawatan tentu bersinergi turut mengalami kemajuan.
Daftar Pustaka
ADVERTISEMENT