Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Krisis Komunikasi Bea Cukai di Media Sosial: Studi Pemulihan Kepercayaan Publik
29 Desember 2024 14:07 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Latifah Maratus Sholihah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pendahuluan
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, khususnya melalui media sosial, telah mengubah pola interaksi antar individu, komunitas, dan organisasi. Media sosial kini menjadi sarana penyebaran informasi dan komunikasi massa yang dominan, baik yang bersifat positif maupun negatif. Media sosial memungkinkan informasi menyebar dengan cepat dan luas, menjangkau berbagai lapisan masyarakat tanpa batasan geografis. Berdasarkan laporan yang dirilis oleh We Are Social pada Januari 2024, dilaporkan bahwa di Indonesia terdapat 139 juta identitas pengguna media sosial. Angka ini setara dengan 49,9% dari total populasi nasional.
ADVERTISEMENT
Hal ini mempengaruhi banyak aspek kehidupan, termasuk sektor publik dan korporasi dalam hal komunikasi dan manajemen krisis. Organisasi kini dihadapkan pada tantangan baru dalam mengelola reputasinya, terutama ketika menghadapi krisis yang dipicu oleh isu-isu yang viral di media sosial. Dengan penyebaran informasi yang cepat, strategi komunikasi yang efektif adalah kunci dalam meredakan ketegangan dan menjaga kepercayaan publik. Munculnya media sosial memiliki implikasi yang luas baik bagi krisis maupun manajemen reputasi. Krisis di era media sosial dan digital membawa ancaman dengan frekuensi yang lebih besar dibandingkan dengan media lainnya (Argenti, 2010; Aula, 2010; Coombs, 2012; Coombs dan Holladay, 2012).
Krisis komunikasi perusahaan di media sosial mengacu pada situasi ketika organisasi menghadapi masalah yang dapat merusak reputasi dan kredibilitas mereka di mata publik, yang sering kali dipicu oleh penyebaran informasi yang tidak akurat atau kontroversial di platform media sosial. Salah satu contoh konkret dari krisis ini dialami oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) pada bulan April 2024. Krisis ini dipicu oleh tiga isu viral terkait barang kiriman dari luar negeri yang menimbulkan keluhan masyarakat. Isu yang tersebar melalui akun TikTok @radhikaalthaf, Twitter @ijalzaid_, dan TikTok @medyrenaldy_ tersebut terkait dengan keluhan masyarakat mengenai ketidakpuasan atas bea masuk dan pelayanan DJBC. Krisis ini mengancam reputasi DJBC dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi tersebut.
ADVERTISEMENT
DJBC sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam mengelola bea masuk dan pajak, serta menjaga kelancaran arus perdagangan internasional dan keamanan barang, harus mampu mengelola komunikasi krisis dengan baik agar tidak berdampak negatif terhadap citra dan kepercayaan publik. Krisis yang melibatkan isu-isu yang viral di media sosial membutuhkan respon yang cepat dan tepat, dengan strategi komunikasi yang transparan dan kredibel. Oleh karena itu, penting untuk menganalisis bagaimana manajemen krisis DJBC dalam menghadapi isu-isu tersebut, serta upaya mereka dalam mengembalikan kepercayaan publik yang sempat terganggu.
Manajemen krisis di media sosial tidak hanya tentang penyampaian informasi yang akurat dan cepat, tetapi juga mempertimbangkan persepsi publik yang telah terbentuk melalui media sosial. Dalam hal ini, komunikasi yang tidak hanya responsif, tetapi juga edukatif dan berbasis data, menjadi sangat penting untuk membangun kembali citra positif institusi. Di dalam artikel yang berjudul Developing a Crisis Communication Plan, yang ditulis oleh Sally J Ray (1999) dalam bukunya yang berjudul Strategic Communication in Crisis Management Lesson from the Airline Industry, menjelaskan secara sistematis bagaimana cara membuat dan mempersiapkan rencana komunikasi krisis. Identifikasi tujuan, isu strategis, tema dan pesan, saluran komunikasi, dan hubungan media saling berkaitan.
ADVERTISEMENT
Landasan Teoritis
Media Sosial dan Perannya dalam Komunikasi Krisis Perusahaan
Media sosial, yang mencakup platform seperti TikTok, Twitter, Instagram, Facebook, dan lainnya, telah menjadi saluran yang sangat efektif dalam menyebarkan informasi, baik yang bersifat positif maupun negatif. Media sosial memberdayakan para pemangku kepentingan untuk secara terbuka menyampaikan keluhan mereka terhadap organisasi, yang dapat menyebabkan krisis meningkat lebih cepat dengan jangkauan audiens yang lebih luas (Mei et al., 2010; Pang et al., 2013).
Dalam konteks manajemen krisis, media sosial memiliki dua sisi. Di satu sisi, media sosial dapat menjadi alat yang sangat efektif untuk merespons dan mengelola krisis secara langsung, memberikan klarifikasi dan penanggulangan terhadap isu-isu yang berkembang. Di sisi lain, media sosial juga dapat memperburuk krisis jika tidak dikelola dengan baik, karena informasi yang tersebar di platform ini sering kali tidak terkendali dan dapat dengan cepat menyebar ke khalayak yang lebih luas.
ADVERTISEMENT
Manajemen Krisis Korporat
Manajemen krisis adalah sebuah proses yang dirancang untuk mengidentifikasi, menganalisa, dan menanggapi krisis yang dapat membahayakan reputasi, operasi, dan keberlanjutan organisasi. Menurut Coombs (2010), manajemen krisis melibatkan tiga tahap utama, yaitu pra-krisis, krisis, dan pasca-krisis. Tahap pra-krisis berfokus pada pencegahan, perencanaan, dan kesiapsiagaan terhadap potensi krisis. Pada tahap krisis, organisasi harus merespons dengan cepat dan tepat untuk mengurangi dampak krisis. Sedangkan pada tahap pasca krisis, organisasi melakukan evaluasi dan pembelajaran untuk memperbaiki proses dan mencegah terjadinya krisis serupa di masa yang akan datang.
Penanganan yang dilakukan DJBC terhadap krisis terkait barang kiriman pada bulan April 2024 dapat dianalisis melalui tahapan-tahapan manajemen krisis. Setiap tahapan memiliki peran penting dalam membentuk strategi komunikasi yang tepat untuk merespons keluhan dan isu yang berkembang di media sosial.
ADVERTISEMENT
Komunikasi Krisis di Media Sosial
Komunikasi krisis di media sosial berbeda dengan komunikasi krisis tradisional. Di media sosial, organisasi harus merespons dengan cepat, terbuka, dan langsung terhadap isu yang berkembang. Dalam buku yang berjudul Manajemen Komunikasi, yang ditulis oleh Herman Sjahruddin, S. E, dkk., 2023, Komunikasi krisis melibatkan penyampaian informasi yang akurat, responsif, dan strategis kepada para pemangku kepentingan yang terkena dampak, termasuk karyawan, pelanggan, publik, dan media.
Dalam menghadapi krisis komunikasi, DJBC harus memastikan bahwa informasi yang disampaikan melalui media sosial seperti Twitter dan TikTok jelas, akurat, dan dapat dimengerti oleh publik. Sebagai contoh, viralnya penggunaan akun TikTok @radhikaalthaf, Twitter @ijalzaid_, dan TikTok @medyrenaldy_ untuk menyampaikan keluhan menjadi tantangan tersendiri bagi DJBC untuk memastikan respon yang diberikan dapat mengatasi kesalahpahaman dan kekecewaan publik.
ADVERTISEMENT
Pembahasan
Tahapan Manajemen Krisis DJBC
Berdasarkan studi kasus Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), manajemen krisis yang dilakukan dapat dianalisis melalui tiga tahapan utama yang dikemukakan oleh Coombs (2010), yaitu pre-crisis, crisis, dan post-crisis. Tahapan-tahapan tersebut menggambarkan bagaimana DJBC menangani isu viral terkait barang kiriman untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. Berikut ini adalah penjelasan rinci dari masing-masing tahapan:
1. Pre-Crisis: Persiapan dan Pencegahan
Pada tahap pre-crisis, DJBC telah memiliki standar operasional prosedur (SOP) penanganan barang kiriman, termasuk pemeriksaan dan penetapan bea masuk. Namun, kejadian pada bulan April 2024 menunjukkan adanya kesenjangan antara pemahaman publik dan implementasi SOP. Edukasi masyarakat terhadap peraturan kepabeanan dinilai masih minim, seperti yang diungkapkan oleh Roy Valiant, pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia. Minimnya sosialisasi menyebabkan masyarakat kurang memahami tata cara impor barang yang pada akhirnya memicu terjadinya krisis. Langkah preventif yang dapat dilakukan adalah dengan memperbanyak kampanye edukasi, baik melalui media sosial maupun pelatihan kepada mitra logistik dan importir.
ADVERTISEMENT
2. Crisis: Penanganan dan Respon
Pada tahap ini, DJBC merespon ketiga isu viral tersebut secara langsung dengan langkah-langkah komunikasi krisis yang meliputi: - -
ADVERTISEMENT
3. Post-Crisis: Evaluasi dan Pelajaran
Tahap ini mencakup evaluasi terhadap langkah-langkah yang telah diambil selama krisis dan penerapan pelajaran yang dipetik untuk mencegah kejadian serupa di masa depan. DJBC perlu meningkatkan sistem pemantauan isu media sosial untuk mendeteksi potensi krisis lebih awal. Selain itu, survei kepuasan masyarakat dapat digunakan untuk mengevaluasi efektivitas penanganan krisis. DJBC juga perlu meningkatkan kolaborasi dengan pihak eksternal seperti jasa pengiriman dan kementerian terkait untuk memastikan prosedur berjalan dengan baik.
Analisis Strategi Komunikasi Krisis DJBC
Pendekatan Komunikasi di Media Sosial
Media sosial seperti TikTok dan Twitter menjadi platform utama dalam penyebaran isu dan respon DJBC. Namun, efektivitas komunikasi di media sosial bergantung pada kecepatan, transparansi, dan nada komunikasi yang digunakan. DJBC perlu memperhatikan beberapa aspek berikut ini:
ADVERTISEMENT
1. Kecepatan Respon: Respon yang cepat sangat penting di era media sosial. DJBC perlu membentuk tim khusus untuk memantau dan merespons isu-isu yang muncul secara real-time.
2. Nada Komunikasi: Nada komunikasi yang terlalu formal atau defensif sering kali tidak efektif dalam menenangkan emosi publik. DJBC dapat menggunakan pendekatan yang lebih berempati untuk menunjukkan kepedulian terhadap keluhan masyarakat.
3. Penggunaan Konten Edukasi: DJBC dapat membuat video pendek atau infografis yang menjelaskan prosedur impor barang dengan cara yang sederhana dan menarik. Hal ini dapat mengurangi kesalahpahaman masyarakat.
Pengaruh Stigma Negatif terhadap Kepercayaan Publik
Stigma negatif terhadap Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) telah terbentuk jauh sebelum krisis ini terjadi. Hal ini sejalan dengan pandangan Erving Goffman dalam teorinya mengenai stigma, yang menyatakan bahwa stigma terbentuk dari label-label negatif yang dilekatkan pada individu atau kelompok, sehingga menyebabkan mereka dipersepsikan negatif oleh masyarakat. Krisis April 2024 yang meliputi berbagai dugaan ketidakterbukaan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan DJBC semakin memperparah sentimen negatif yang ada.
ADVERTISEMENT
Reputasi sebuah organisasi sangat mempengaruhi kepercayaan publik. Ketika reputasi terganggu oleh stigma negatif, maka diperlukan langkah-langkah strategis untuk mengembalikan kepercayaan publik. Dalam konteks DJBC, salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan transparansi dalam operasionalnya. Transparansi tidak hanya sekedar keterbukaan data atau informasi, tetapi juga mencakup kemampuan organisasi untuk menjelaskan keputusan dan tindakannya secara logis dan dapat diterima oleh publik. Hal ini didukung oleh pandangan Cutlip, Center, dan Broom (2006:320) dalam teori komunikasi organisasi yang menekankan pentingnya keterbukaan dalam menciptakan hubungan saling percaya antara organisasi dengan publik.
Selain keterbukaan, melibatkan tokoh masyarakat dapat menjadi langkah strategis untuk membangun kembali kepercayaan. Tokoh masyarakat memiliki peran penting sebagai mediator dalam menghubungkan organisasi dengan komunitasnya. Menurut Grunig dan Hunt, pendekatan komunikasi dua arah yang simetris dapat meningkatkan efektivitas komunikasi antara organisasi dan publik. Melalui dialog terbuka dengan tokoh masyarakat, DJBC dapat memahami kebutuhan dan harapan masyarakat sehingga dapat merancang strategi komunikasi yang lebih relevan.
ADVERTISEMENT
Krisis sebagai Peluang untuk Perbaikan
Terlepas dari dampak negatif yang ditimbulkan dari krisis ini, DJBC dapat memanfaatkannya sebagai momentum untuk melakukan perbaikan. Menurut teori manajemen krisis yang dikemukakan oleh Coombs, krisis dapat menjadi peluang untuk memperkuat organisasi jika ditangani dengan baik. DJBC dapat memanfaatkan momen ini untuk memperbaiki prosedur internal, meningkatkan komunikasi dengan publik, dan memperbaiki citra organisasi secara keseluruhan. Krisis sering kali menunjukkan kelemahan dalam sistem organisasi, sehingga evaluasi ini penting untuk mencegah terulangnya kesalahan yang sama.
Selain itu, DJBC dapat menjadikan pengalaman ini sebagai pembelajaran penting dalam mengelola krisis di masa depan dan juga dapat dimanfaatkan untuk mempererat hubungan dengan berbagai pemangku kepentingan. Dengan manajemen krisis yang baik, DJBC tidak hanya dapat mengubah persepsi negatif publik, tetapi juga meningkatkan kepercayaan publik terhadap organisasi.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Komunikasi krisis di era media sosial menjadi tantangan besar bagi organisasi, termasuk Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Dalam kasus krisis pengiriman barang pada bulan April 2024, DJBC menghadapi tekanan publik yang sangat besar karena penyebaran isu-isu negatif di platform seperti TikTok dan Twitter. Situasi ini menyoroti pentingnya strategi komunikasi yang cepat, transparan, dan edukatif untuk meredakan ketegangan dan memulihkan kepercayaan publik.
Pendekatan DJBC dalam menangani krisis ini meliputi tiga tahap manajemen krisis, yaitu pre-crisis, crisis, dan post-crisis. Pada tahap pre-crisis, kurangnya edukasi masyarakat terhadap peraturan kepabeanan menjadi celah yang memicuterjadinya krisis. Pada tahap crisis, DJBC melakukan berbagai langkah responsif, antara lain klarifikasi melalui juru bicara, pendekatan langsung melalui media sosial, dan penyediaan bukti visual sebagai bentuk transparansi. Meskipun demikian, masih ada ruang untuk perbaikan, terutama dalam hal nada komunikasi yang lebih berempati dan strategi respons yang lebih terorganisir. Pada tahap post-crisis, evaluasi menyeluruh terhadap langkah-langkah yang telah dilakukan sebelumnya menjadi prioritas untuk memperbaiki sistem dan mencegahkejadian serupa di masa depan.
ADVERTISEMENT
Stigma negatif yang telah lama melekat pada DJBC semakin memperberat tantangan dalam mengembalikan kepercayaan publik. Oleh karena itu, DJBC harus meningkatkan transparansi operasional, melibatkan tokoh masyarakat, dan mempererat hubungan dengan publik melalui komunikasi dua arah yang simetris. Langkah ini sejalan dengan teori komunikasi organisasi yang menekankan pentingnya keterbukaan dan dialog untuk membangun kepercayaan.
Meskipun krisis ini berdampak negatif terhadap reputasi DJBC, namun krisis ini juga dapat dijadikan momentum untuk berbenah diri. Dengan pendekatan yang tepat, DJBC tidak hanya dapat memulihkan citranya di mata publik, namun juga memperkuat fondasi organisasi untuk menghadapi tantangan serupa di masa depan. Pengalaman ini menjadi pelajaran berharga akan pentingnya manajemen krisis yang efektif di era digital.
ADVERTISEMENT