Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ini Pandemi COVID-19 atau Pandemi Obesitas, sih?
18 Desember 2022 21:38 WIB
Tulisan dari Latifatul Khoiriyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sebuah fenomena peningkatan berat badan remaja selama Pandemi Covid-19
ADVERTISEMENT
Sejak mewabahnya Covid-19, gaya hidup manusia berubah secara signifikan. Perubahan ini didominasi dengan perubahan yang mengarah pada dampak negatif bagi kesehatan, khususnya pada aspek Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT sendiri merupakan salah satu alat ukur untuk menilai status gizi seseorang. IMT berperan penting dalam mengetahui kondisi kesehatan tubuh sehingga nantinya risiko terhadap suatu penyakit juga dapat diprediksi. Di Indonesia, Kementerian Kesehatan telah membagi kategori IMT untuk anak usia 5 – 18 tahun menjadi gizi buruk (severely thinness) gizi kurang (thinness), gizi baik (normal), gizi lebih (overweight), dan obesitas.
ADVERTISEMENT
Anak dan remaja dengan status gizi tidak ideal inilah yang berisiko untuk mengalami masalah kesehatan serius di masa mendatang. Realitanya, kini permasalahan gizi yang ditemukan baik di negara berkembang maupun negara maju menunjukkan bahwa remaja cenderung mengalami peningkatan terhadap status gizi lebih setiap tahunnya. Padahal, status gizi lebih bahkan obesitas pada remaja akan sangat membahayakan karena dapat menambah risiko mereka terhadap penyakit tidak menular, seperti hipertensi, diabetes tipe II, dan penyakit kardiovaskuler lainnya.
Hantaman Pandemi Covid-19 pada akhirnya semakin mengubah kebiasaan remaja yang pada dasarnya sudah mengalami perubahan gaya hidup seiring perkembangan zaman. Sebelum datangnya pandemi pun, perilaku remaja telah menunjukkan pola hidup yang tidak sehat seperti minim beraktivitas fisik karena lebih memilih untuk menghibur diri dengan gawai serta pola makan yang mengonsumsi makanan berkalori tinggi akibat kemudahan akses terhadap fast food. Kini, Pandemi Covid-19 kian memperburuk kebiasaan remaja dengan dibatasinya gerak-gerik setiap orang melalui kebijakan untuk diam di rumah. Lantas, tidak heran jika banyak remaja di berbagai belahan dunia yang mengalami peningkatan IMT dan perubahan status gizi menjadi gizi lebih (overweight) dan obesitas.
ADVERTISEMENT
Penelitian yang dilakukan di Turki bagian Barat terhadap remaja misalnya, menemukan nilai IMT yang lebih tinggi setelah adanya Pandemi Covid-19 dibandingkan sebelum pandemi. Hal yang serupa juga terjadi pada anak-anak dan remaja usia 2 – 18 tahun di Yordania di mana periode lockdown kala itu memengaruhi peningkatan IMT. Sementara itu, di China dan Kroasia, banyak dari siswa sekolah dasar dan menengah yang mengalami peningkatan status gizi menjadi overweight dan obesitas. Beralih ke Amerika Serikat, penelitian oleh Lange et al (2021) memberikan hasil yang mengejutkan di mana fenomena peningkatan IMT selama pandemi dapat mencapai hampir 2 kali lipat.
Tak terkecuali di Indonesia, fenomena peningkatan status gizi remaja menjadi obesitas juga cukup marak terjadi. Dilansir dari UNICEF, berdasarkan refleksi hasil Riskesdas (2018) diperkirakan bahwa 1 dari 7 remaja usia 13 – 18 tahun di Indonesia menderita berat badan berlebih atau obesitas. Sebuah survei pada tahun 2020 juga menemukan adanya penurunan konsumsi makanan bergizi selama pandemi pada anak-anak yang berasal dari keluarga berpendapatan rendah. Dengan demikian, efek dari Pandemi Covid-19 tidak hanya memperburuk perekonomian, melainkan juga pola hidup masyarakat.
ADVERTISEMENT
Peristiwa kenaikan berat badan pada banyak remaja di berbagai belahan dunia selama wabah Covid-19 inilah yang menyebabkan kekhawatiran tidak hanya bagi anak, melainkan juga orang tua. Berangkat dari Pandemi Covid-19, anak-anak dan remaja kembali dihadapkan dengan masalah baru yang cukup menghantui kondisi kesehatan mereka, yaitu Pandemi Obesitas. Berikut adalah dua faktor gaya hidup selama pandemi yang paling berpengaruh pada peningkatan IMT remaja menurut hasil studi terdahulu.
1. Aktivitas Fisik
Pada banyak kasus, peningkatan IMT ini terjadi akibat aktivitas fisik yang berkurang. Remaja yang selama pandemi diharuskan untuk beradaptasi dengan kegiatan di dalam rumah, termasuk dalam proses belajar mengajar menyebabkan intensitas mereka untuk bergerak semakin minim. Sebagaimana misalnya di Turki, remaja mengalami kecanduan terhadap internet dan kualitas tidur yang menurun yang mengakibatkan mereka mengalami penurunan aktivitas fisik. Selain itu, remaja di Kroasia juga mengurangi aktivitas fisik mereka seperti olahraga dan permainan sehingga kedua hal ini memengaruhi status gizi mereka menjadi tidak lagi ideal. Berbanding terbalik dengan screen time yang justru mengalami peningkatan, penggunaan gawai/PC/ponsel dan durasi menonton TV yang semakin bertambah juga menjadi penyebab penurunan aktivitas fisik sehingga mereka rentan terhadap obesitas.
ADVERTISEMENT
2. Pola Makan
Pola makan merupakan faktor risiko langsung yang juga berpengaruh dalam peningkatan berat badan seseorang. Peningkatan pola makan bersamaan dengan aktivitas fisik yang menurun mengakibatkan surplus energi dalam tubuh. Jumlah energi yang masuk lebih banyak dari energi yang keluar akan menyebabkan peningkatan berat badan. Fenomena peningkatan berat badan saat pandemi yang dipengaruhi oleh pola makan yang berubah terjadi berbagai negara, seperti Italia, Yunani, Yordania, dan Turki. Perubahan pola makan yang terjadi meliputi peningkatan frekuensi makan per hari, konsumsi daging merah, dan perilaku ngemil yang meningkat.
Lantas bagaimana sih cara mempertahankan berat badan yang ideal? Dilansir dari doktersehat.com berikut adalah tips menjaga berat badan yang ideal.
1. Olahraga atau aktivitas fisik teratur
ADVERTISEMENT
Olahraga atau aktivitas fisik yang teratur bertujuan untuk mencapai keseimbangan energi sehingga berat badan tetap terjaga.
2. Konsumsi makanan berprotein tinggi
Protein membuat rasa kenyang lebih tahan lama, mengurangi hormon perangsang lapar, dan menurunkan nafsu makan.
3. Kontrol asupan karbohidrat
Karbohidrat kompleks akan dicerna oleh tubuh dan masuk ke aliran darah kemudian dengan bantuan insulin diolah menjadi sumber energi tubuh. Glukosa yang tidak masuk ke dalam darah akan disimpan di otot, hati, dan sel lain atau bisa juga diubah menjadi lemak.
4. Perbanyak makan sayur dan minum yang cukup
Konsumsi sayur yang kaya serat dan cairan yang cukup akan memberikan efek kenyang sehingga frekuensi makan tidak bertambah.
5. Tidur yang cukup
ADVERTISEMENT
Kurang tidur dapat menurunkan hormon leptin yang dapat mengendalikan nafsu makan.
6. Kendalikan stress
Stress akan memicu peningkatan hormon kortisol yang berkaitan dengan lemak perut dan meningkatkan nafsu makan.
Yuk, jaga berat badan demi masa depan yang lebih sehat!
Oleh: Anindya Nuzhmi Zharifa dan Latifatul Khoiriyah