Energi Terbarukan di Indonesia: Urgensi Agenda Publik 'Baru'

Latifatul Zahiroh
Mahasiswi S1 Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
12 Desember 2021 21:42 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Latifatul Zahiroh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Stan/Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Stan/Pexels
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seiring berjalannya waktu, populasi dunia terus meningkat dan permintaan semakin beragam. Salah satunya adalah konsumsi energi yang kian hari seakan tak terpisah dari serba-serbi kehidupan ini. Berbicara tentang energi, murid SD pun sudah mendengar bagaimana energi berperan penting dalam memenuhi kebutuhan kita. Sederhananya, banyak yang kita butuhkan dari eksistensi energi, sesimpel untuk mengakses internet, penerang ruangan di rumah, bahan bakar kendaraan, dan banyak lainnya.
ADVERTISEMENT
Terlihat tak rumit, tetapi energi menyimpan kisah ironis karena masih dibayangi masa depan abu-abu. Urgensi yang perlu digaungkan adalah pergeseran orientasi konsumsi menuju alternatif energi terbarukan (ET). Namun di Indonesia, sumber energi masih didominasi oleh fosil. Alih-alih menuju pencapaian net emission, pemanfaatan fosil yang berkelanjutan justru memicu multiplier effect, seperti pemanasan global dan perubahan iklim (Dalgaard et al., 2001). Dengan kata lain, fosil bukanlah solusi atas permasalahan energi, tetapi common enemy terselubung layaknya bom yang akan meledak suatu saat nanti.
Jika ditelusuri lebih jauh, sebetulnya pemerintah Indonesia telah “sempat” memiliki concern atas isu energi. Tepatnya sebelum 2014, Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) dalam penyusunan Kebijakan Energi Nasional (KEN)—menargetkan pemanfaatan ET sebesar 25% pada 2025. Tetapi target tersebut menyusut menjadi 23% seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014—sebagai amanah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 (Godang, 2021). Padahal, ini baru menyoal target.
ADVERTISEMENT
Lantas, bagaimana realisasinya?
Sampai pada 2021 ini, sebagaimana diutarakan oleh Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), capaian pemanfaatan ET berkisar 10-11% (Godang, 2021). Artinya, teori yang bahkan sudah diturunkan targetnya—tetap jauh dari pemenuhan yang seharusnya. Meskipun masih ada kesempatan empat tahun lagi menjelang deadline, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa procrastinating adalah budaya nonprospektif. Secara tersirat, inkonsistensi kebijakan termasuk salah satu tantangan besar di sini. Penulis menggarisbawahi pentingnya komitmen dari pelayan-pelayan publik agar tegas dalam menjadikan isu ET sebagai common agenda. Di antaranya dapat dikonkretkan melalui regulasi yang mendukung upaya optimalisasi peralihan ke konsumsi energi berkelanjutan.
Adapun menyoroti energi fosil yang masih menjadi primadona, sepatutnya dilakukan replacement menuju opsi lebih baru untuk keberlanjutan energi baru dan terbarukan. Pasalnya, eman-eman jika bergantung pada yang “terbatas” jika tanah air ini kaya akan sumber-sumber “unlimited”-nya. Sebagaimana diketahui, Indonesia memiliki sumber daya alam (SDA) melimpah, sebut saja batu bara, minyak bumi, gas alam, biomassa, dan lainnya (Kemdikbud, 2021). Namun jenis-jenis tersebut merupakan energi tak terbarukan. Oleh karena itu, perlu upaya “penggalian” lebih dalam untuk melahirkan inovasi menuju manifestasi ET.
Foto: Tom Fisk/Pexels
Selain SDA, Indonesia juga menjanjikan dalam segi sumber daya manusia (SDM). Banyak narasi kerap memprediksi negara ini akan mengalami bonus demografi, di mana SDM usia produktif akan mendominasi di masa depan. Tentu saja, kombinasi dua unsur esensial tersebut dapat menjadi garda terdepan dalam menuju visi ET—dengan syarat terpenuhinya agenda publik yang tepat. Persisnya, diperlukan kerja sama antarlapisan masyarakat dalam agenda publik “baru”.
ADVERTISEMENT
Menilik sudut pandang lebih luas, penulis menilai langkah praktis dalam konsep agenda publik “baru” adalah dengan memasukkan seluruh kalangan agar berperan berdasarkan area masing-masing. Misalnya pada tataran terkecil, yakni sebagai individu, kita hendaknya punya sense of awareness terhadap isu energi. Hal ini dapat diwujudkan melalui pembenahan mindset sebagai warga negara agar tak terlena menjadi watchdog yang cenderung pasif dan lebih fokus mengelaborasi gerak-gerik pemerintah saja. Keberlanjutan isu energi untuk mendapat posisi strategis perlu gerakan akar rumput dan atensi publik yang berkenan menyelerasakan visi, walaupun dengan starting point yang mungkin tampak sepele, contohnya, sesederhana menghapus email junks dari newsletter yang tak dibutuhkan. Sebab, disadari atau tidak, tumpukan surat elektronik yang sering dibiarkan tertimbun ternyata juga menjadi penyumbang emisi. ClimateCare Organization (2021) melaporkan bahwa tiap satu email dapat menghasilkan 4 gram karbon dioksida (CO2).
Foto: Stephen Phillips/Unsplash
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa isu energi termasuk agenda publik. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan spesifik yang komprehensif dan dimaksudkan untuk mengawal mindset dalam agenda publik baru—ke dalam pola tindak. Adapun untuk menumbuhkan kepekaan dari level individu, diperlukan kacamata khusus dalam pembahasan ET, yaitu socio-technics. Perspektif ini menonjolkan relasi manusia dan mesin dalam pandangan luas, meliputi interaksi fisik-sosial dan konsekuensinya, dinamika pemerintahan berbasis teknologi, serta perubahan sosial (Hetzler, 2013). Masyarakat sebagai warga negara sekaligus manusia, secara implisit dituntut untuk melakukan problem-solving berupa tindakan proaktif-inovatif.
ADVERTISEMENT
Pada cakupan lebih luas, isu energi juga merupakan tanggung jawab pelaku industri. Realitasnya, sektor swasta adalah penghasil “limbah”. Pengolahan yang senewen dapat menjauhkan Indonesia dari misi optimalisasi ET. Oleh karena itu, sudah seharusnya tanggung jawab itu divisualisasikan dengan standardisasi dan transparansi pengolahan limbah lewat social corporate responsibility (CSR) atau program ramah lingkungan lainnya.
Foto: Tom Fisk/Pexels
Selanjutnya, bagaimana?
Menegaskan kembali bahwa realisasi agenda publik “baru” yang melibatkan unsur inklusif antarlevel masyarakat—tak akan berhasil jika pihak yang memiliki power dalam pemerintahan—ternyata melangkah di jalur kontradiktif. Pemerintah sebagai pelayan publik wajib hukumnya memfokuskan isu ET ke dalam long-term agenda setting. Dan tentunya, konsisten, walaupun sewaktu-waktu terjadi peralihan kepemimpinan, isu ini tetap memiliki porsinya sendiri dan tak memudar oleh intervensi berbagai kepentingan. Mengutip pernyataan seorang psikolog terkemuka dunia, Duckworth (2017), menyampaikan bahwa salah satu penggagal pencapaian goals adalah “positive fantasizing”, yaitu bermanja-manja dengan visi yang dibuat—tanpa memikirkan proses jangka panjang—sehingga stagnan dalam proses jangka pendek. Singkatnya, dibutuhkan “grit” atau kompilasi antara kerja keras dan komitmen tekun sejak awal untuk mempertanggungjawabkan tujuan yang disusun. Secara kontekstual, jelaslah bagaimana daruratnya menjaga komitmen kebijakan sejak tahap formulasi hingga implementasi agar tetap on the track.
ADVERTISEMENT
Transmisi teori kebijakan ke dalam praktik memang tak mudah, belum lagi membangun kultur inklusif yang melibatkan publik. Tetapi terlepas dari solusi mana yang paling efektif dan pihak mana yang paling mengemban misi besar menuju optimalisasi ET, benang merah utama adalah pada gerakan bersama. Akan sangat boros “energi” jika sambil bersantai-santai, satu pihak menyalahkan pihak lain dan berseru dirinyalah yang paling lantang meneriakkan advokasi. Untuk menyongsong era baru dalam agenda publik “baru”, sudah pasti bukan sekadar menunjuk pihak tertentu untuk maju, namun seluruhnya harus berpadu, bukan menyuguhkan argumen destruktif untuk diadu.
Ringkasnya, semua dapat dimulai dari kita sebagai individu, sejauh mana kita peka dan bijak menggunakan energi. Hal ini bukan hanya berkutat pada political will, tetapi bagaimana kita meneguhkan willingness dalam diri. Bila berhasil, kemungkinan besar tak akan sensitif dengan aba-aba bijak semisal: “jangan lupa matikan TV jika tak ditonton, ya!
ADVERTISEMENT