Fenomena ‘Takut Tambah Dewasa’ Kian Marak Dialami Gen Z, Bagaimana Mengatasinya?

Latifatul Zahiroh
Mahasiswi S1 Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
29 Desember 2021 20:56 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Latifatul Zahiroh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi orang yang ketakutan. Foto: Pexels.com/Mart Production
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi orang yang ketakutan. Foto: Pexels.com/Mart Production
ADVERTISEMENT
Tuntutan hidup yang semakin banyak seiring bertambahnya usia menyebabkan generasi muda atau Gen Z memiliki kecemasan tersendiri. Fenomena “takut tambah dewasa” ini dialami oleh kebanyakan remaja pradewasa yang menyebabkan mereka bertemu dengan momen-momen quarter life crisis.
ADVERTISEMENT
Itulah kenapa belakangan marak ditemui Gen Z yang mencurahkan perasaan di social meda (socmed), mulai dari ketakutan dalam hal akademik, pekerjaan di masa depan, finansial, bahkan kehidupan berumah tangga, serta banyak lainnya. Tak hanya Gen Z, concern seperti ini juga dialami millennial yang belum tentu lepas dari rasa takut menjadi lebih dewasa dengan serba-serbi ketidakpastian akan masa depan.
Penulis menanggapi hal ini sebagai fenomena quarter life crisis (QLC) yang memang rawan menjerat generasi usia muda. Pada konteks ini, sebuah studi yang mengelaborasi generasi muda dengan rentang usia 18-28 tahun, didapatkan beberapa aspek yang menyebabkan mereka mengalami fase quarter life crisis, di antaranya yaitu: (1) perasaan ambigu dalam mendeskripsikan dirinya, apakah sebagai “adult”, “young”, atau terjebak di antara keduanya; (2) sedang berada di masa aktif-aktifnya mengeksplorasi diri dan kehidupan; (3) mengalami kelabilan dalam menjalankan peran dan hubungan yang memungkinkan adanya perubahan gaya hidup dan tanggung jawab; (4) berupaya adaptif untuk berinvestasi terhadap masa depan; serta (5) waktu untuk berusaha fokus dan optimis dalam menyambut masa mendatang (Munsey, 2006; Arnett, 2007; Arnett and Mitra, 2018) dalam Agarwal et al. (2020).
ADVERTISEMENT
Lantas, bagaimana mengatasinya?
Gambaran orang yang sedang kecewa. Foto: Pexels.com/Andrea Piacquadio
Pertama, kelola ekspektasi agar tak mudah kecewa dengan realitas.
Pernah kecewa dan ingin menyerah? Tentunya, sebagai manusia biasa, kita pasti pernah merasakannya. Hal ini wajar karena dalam berproses, kita sering menjumpai kegagalan. Akibatnya, banyak yang ingin berhenti mencoba.
Dorongan untuk berputus asa ini bisa diatasi dengan mengelola ekspektasimu, lho. Kamu bisa melatih diri untuk berpikir lebih realistis, dengan menyadari fakta bahwa kenyataan itu tidak akan seratus persen selalu seperti yang kita harapkan. Tugas kita adalah menerima itu. Dan, itu sangat normal, kok.
Kenyataan mungkin kerap menghempaskan mimpi kita, tapi kita juga bisa memilih untuk bangkit dan berdamai dengan apa yang terjadi.
Contoh sikap yang kurang bisa menerima diri sendiri. Foto: Pexels.com/Inzmam Khan
Kedua, coba sediakan ruang penerimaan dalam diri.
ADVERTISEMENT
Terkadang, ketika kita tidak berhasil meraih sesuatu yang diimpikan atau dicita-citakan, menyalahkan diri dan kehilangan rasa percaya diri sering menghantui. Terlebih di usia muda, seseorang bisa sangat menggebu-gebu ingin mengejar sesuatu, entah itu semisal prestasi, karier, atau urusan percintaan. Maka dari itu, kamu harus mulai memahami bahwa di titik-titik tertentu, gagal bukanlah akhir dari seisi duniamu.
Peluang keberhasilan masih akan terus ada, selagi kita mau menciptakan ruang untuk menerima, merenungi, dan memperbaiki dirimu.
Kamu juga tidak perlu minder dengan kesuksesan orang lain, karena kamu memiliki keunikan dan kelebihanmu sendiri.
Gambaran aktivitas manajemen waktu dengan menulis prioritas. Foto: Pexels.com/Ivan Samkov
Ketiga, manajemen waktu dan mulai menentukan prioritas.
Supaya hidupmu tidak terombang-ambing, kamu perlu guidance. Ibarat kompas, kamu perlu tahu arah mana yang ingin kamu jejaki sebagai tujuan utama hidupmu.
ADVERTISEMENT
Adapun hal ini tak perlu buru-buru ditentukan, karena setiap orang bisa berproses untuk mencarinya. Kamu bisa pelan-pelan menulis wishlist, misal dalam 5 atau 10 tahun ke depan. Dengan begitu, kamu akan mengerti cara memetakan tindakan apa yang perlu kamu lakukan untuk merealisasikannya. Sebagai contoh, kalau kamu ingin mengasah public speaking, kamu bisa mempelajari skill tersebut dengan sering-sering melakukan self-talk, ikut focus group discussion, atau bahkan coba ikut lomba pidato, lho.
Benang merahnya, meningkatkan keterampilan akan membantumu menentukan passion apa yang ingin kamu prioritaskan.
Ilustrasi lingkungan yang membawa energi positif. Foto: Pexels.com/ Diva Plavalaguna
Keempat, buatlah motivasi terbaik versimu.
Suasana positif sangat memengaruhi seseorang dalam memelihara semangat hidup. Motivasi ini dapat dicapai dengan terbentuknya support system. Kamu dapat memperolehnya dari luar maupun sisi internal diri. Tak perlu bingung, cobalah mendekatkan diri dengan orang-orang yang memancarkan positive vibes dan menjauhkanmu dari relasi toxic. Selain itu, jangan ragu untuk mengikuti komunitas yang sesuai hobimu supaya mampu berkembang, membangun networking, serta memiliki wadah untuk bertukar ide mengenai visi misi.
ADVERTISEMENT
Dengan keberadaan lingkungan yang positif, kamu akan mendapat energi dan kekuatan, terutama dalam menjaga kesehatan mentalmu. Kamu juga akan lebih bisa menjadi diri sendiri dan mempunyai self-love untuk terus optimis.
Potret orang yang gigih berlari menjemput tujuan hidup. Foto: Pexels.com/Mary Taylor
Terakhir, teruslah belajar!
Belajar memang tak kenal waktu, tetapi tak sekadar mengikuti arus kurikulum kehidupan, kamu juga wajib mengenali dirimu, apa yang menjadi tujuan hidupmu, dan bagaimana kamu akan merancang tangga untuk naik ke sana. Kalau sudah demikian, kamu akan lebih mudah mengatur porsi belajar agar maksimal menekuni bidang yang menjadi fokusmu.
Selagi masih memiliki waktu dan tenaga, apalagi di usia muda, kamu sebenarnya sudah memegang golden ticket dalam mencari jati diri, mematangkan visi, dan meneruskan untuk bermimpi. Pada akhirnya, "belajar" akan membuka banyak jalan keluar sehingga kamu tidak jatuh dalam kesalahan yang sama dan berkubang di fase yang “itu-itu saja”.
ADVERTISEMENT
Tak dipungkiri, masa depan memang penuh teka-teki, bahkan bisa menjadi misteri mengerikan yang membebani pikiran. Apalagi di masa-masa pertumbuhan, hal ini berkamuflase menjadi momok. Padahal, menjadi dewasa semestinya tak perlu tergesa-gesa, apalagi berbalapan mendikte diri untuk mengikuti keberhasilan orang lain, karena tiap dari diri kita mempunyai starting point yang tak sama.
Oleh karena itu, yang terpenting dari menjadi dewasa adalah kemauan untuk melewati proses untuk dapat berprogres.
Ingat juga, ya, kalau pencapaian orang lain tidak otomatis jadi standar kesuksesan kita!