Niche-Oriented sebagai Benteng Personalitas Pendidikan di Era Pandemi

Latifatul Zahiroh
Mahasiswi S1 Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
19 Desember 2021 7:26 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Latifatul Zahiroh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Pexels.com/Agung Pandit Wiguna
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Pexels.com/Agung Pandit Wiguna
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa waktu belakangan, masyarakat global secara impulsif memiliki level familiaritas yang kian meningkat terhadap pandemi Covid-19, tak terkecuali masyarakat Indonesia sebagai salah satu negara yang bergulat dalam jerat virus tersebut. Melansir dari data World Health Organization (WHO) pada Desember 2021, jumlah populasi dunia yang terpapar Covid-19 telah mencapai lebih dari 265 juta jiwa. Angka ini mengalami fluktuasi sejak pertama kali kasus ditemukan pada 2019 silam. Namun demikian, keberadaannya masif menghadirkan persoalan dan berbagai varian baru hingga saat ini, dari Delta, Mu, hingga belakangan Omicron menanjak populer. Akibatnya, terjadi banyak perubahan signifikan dalam aspek-aspek krusial, baik bagi bidang sektoral maupun personal.
ADVERTISEMENT
Eksistensi era ketidakpastian karena pandemi bergerak sinergis dengan maraknya kemunculan fenomena sosial baru. Ibarat dua mata uang yang kontradiktif, fase ini membawa aneka unsur konstruktif dan destruktif. Glasdam dan Stjernswärd (2020) memaparkan bahwa pandemi menyebabkan multiplier effects yang tak sepele terhadap masyarakat, meliputi fisik, emosi, kognisi, dan perilaku. Masyarakat mau tak mau harus berkubang dalam kompleksitas sistem yang serba bergeser dari kebiasaan dan kebijakan lama. Transformasi yang ada telah berimplikasi memunculkan tantangan berupa tuntutan perubahan pada level holistik. Peter Drucker, seorang ekolog sosial—mengemukakan bahwa langkah esensial dalam menyikapi tren perubahan adalah dengan pengetahuan dan new protectionism, serta pentingnya andil organisasi untuk lebih peka dan siap menghadapi transisi (Mack et al., 2015). Lebih lanjut, penulis memandang pernyataan ini bukan sekadar wacana yang patut digarisbawahi, tetapi focal point yang harus diimplementasikan.
Foto: Pexels.com/Katerina Holmes
Berbicara mengenai kepekaan dan kematangan organisasi, tak lain ialah urgensi yang diperlukan untuk menangani era penuh ambiguitas sebagai konsekuensi pandemi. Lebih spesifik, salah satu organisasi yang membutuhkan proteksi yaitu pendidikan. Pendidikan sebagai organisasi pemegang kunci “pengetahuan”—yang berperan fungsional di tengah masyarakat—perlu diberikan atensi khusus, sebab pandemi telah berdampak pada lahirnya educational disruption (Onyema et al., 2020). Sebagaimana diketahui, pendidikan turut “terkontaminasi” efek domino pandemi. Pola kehidupan baru semisal e-learning, physical distancing, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan model remote activity lainnya—membutuhkan ruang penerimaan dan periode adaptasi yang berbeda pada tiap individu maupun pada tiap kelompok masyarakat. Jika dibiarkan, hal ini dapat menghadirkan pola deklinasi yang menyebabkan kurang atau bahkan gagalnya optimalisasi knowledge transfer. Padahal, pengetahuan sendiri adalah partikel vital yang akan mencetak banyak peluang di tengah era yang penuh ketidakpastian.
Foto: Pexels.com/Tara Winstead
Pada cakupan lebih luas, konsepsi tatanan di era pandemi menciptakan isu humanis, di mana masyarakat dihadapkan pada kondisi rentan, dalam suasana drastis, serta dalam waktu yang relatif cepat. Onyema et al. (2020) menjelaskan bahwa limitasi ruang gerak di masa pandemi membuat kebebasan manusia menjadi terbatas, termasuk dalam mengasosiasikan diri. Lebih khusus, pembatasan yang terjadi dapat meningkatkan kerentanan kelompok usia muda sebagai generasi yang mengalami periode usia kritis. Kelompok usia muda, dikemukakan oleh Favara et al. (2021), cenderung memiliki beban stres yang meningkat akibat pengaruh Covid-19. Oleh karena itu, dibutuhkan aksi nyata alih-alih bergeming mengikuti arus bermuatan tekanan, tantangan, serta level adaptabilitas yang tak sama.
ADVERTISEMENT
Mengelaborasi impak majemuk pandemi, penulis menilik perlunya problem-solving dari perspektif menyeluruh, terutama dalam menitikberatkan concern pada generasi muda dan pendidikan sebagai lahan empuk yang rawan terkena disrupsi. Sudut pandang ini menekankan urgensi metaanalisis yang mencakup elemen komprehensif, baik dalam tataran formal-institusional maupun ranah informal-individual. Adapun aktor yang dibutuhkan sebagai agen—yang dapat memaksimalkan kesempatan bertumbuh di era pandemi ini—meliputi jajaran inklusif, yakni internal diri perseorangan, eksternal masyarakat sebagai unit kolektif, serta pemerintah sebagai policy maker yang memegang agenda setting sah terhadap bentuk-bentuk kebaruan sistem pendidikan. Meskipun demikian, perubahan paling signifikan itu terletak pada diri sendiri sebagai aktor yang memiliki willpower penuh atas pola pikir dan pola tindak ke depan.
Foto: Pexels.com/Pixabay
Individu sebagai unit terkecil dalam organisasi masyarakat, tak lain adalah aktor utama dalam mengarahkan tendensi perilaku dan keputusan. Pasalnya, kesempatan terbesar dapat dijangkau jika masing-masing diri mempunyai kontrol terkait “mengapa” dan “bagaimana” mestinya merespons kondisi yang tengah dihadapi. Kendali diri notabene merupakan kemampuan untuk mengelola dorongan hati menuju prioritas yang ingin dicapai (Milyavskaya & Inzlicht, 2017). Hal ini relevan dengan fakta bahwa kolaborasi seluruh aktor tak akan menghasilkan output selaras sepenuhnya, sehingga bertumpu pada kognisi diri adalah basis utama yang mesti dimiliki di era penuh tantangan.
ADVERTISEMENT
Apabila meneropong sisi “menantang” pandemi, sering ditemui pandangan bahwa situasi ini seolah momok yang rawan menggagalkan banyak cita-cita. Di lain sisi, meluasnya ruang privat di era ini secara implisit ternyata menyediakan peluang akan hadirnya kesempatan penguatan kognitif untuk berdinamika dalam proses pengembangan diri. Terlebih di era digital seperti sekarang, menyempitnya tangible space dapat direplikasi lewat keterhubungan virtual. Artinya, kesempatan di kala pandemi tak pernah hilang sepenuhnya, bahkan hadir lebih beragam seiring dengan solusi-solusi yang ditawarkan dalam skema kebiasaan baru.
Psikolog terkemuka dunia, Angela Duckworth (2017), mendeskripsikan dalam studinya—terkait fundamental yang membawa orang-orang berhasil meraih posisi puncak sesuai bidang mereka. Fase itu ialah self-oriented interest, yang diikuti oleh self-disciplined practice serta larger purpose and meaning. Komponen inilah yang mengarah kepada kerangka optimalisasi kognisi diri—untuk memperoleh makna terkait arah mana yang ingin dituju di tengah berbagai himpitan antara tantangan dan peluang. Secara konklusif, ritme ini akan bergerak pada kiblat sentral berupa “niche”.
Foto: Pexels.com/Pixabay
Orientasi diri berdasarkan niche adalah kunci utama dalam menghadapi krisis berbagai isu yang rentan menerpa di masa pandemi. Seringnya stigmatisasi negatif—dari internal maupun eksternal—kerap menggerus benteng pertahanan diri untuk mengambil kesempatan berproses. Rekonseptualisasi pola hidup di masa pandemi dapat dihadapi dengan rekonstruksi yang bertitik temu pada fokus diri terhadap niche. Pengelolaan niche sendiri adalah pendekatan yang dapat menjadi guide behavior bagi tiap aktor dalam situasi kompleks seperti pandemi. Bentuk fasilitas niche—jika dikaitkan dengan era digital—dapat berupa proses internal, semisal learning, networking, visioning, dan mengatur relasi (Schot dan Geels, 2008). Oleh karena itu, berorientasi pada niche adalah milestone yang perlu tertanam pada diri untuk bertahan dan mempertahankan kesempatan.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, untuk meningkatkan keterampilan tertentu, dapat mengikuti kursus, terlibat dalam focus group discussion, atau berpartisipasi dalam webinar. Di samping itu, independent learning juga dapat dijadikan inisiatif, seperti membaca buku, mendengarkan audiobook, riset jurnal, mengikuti media sosial bernuansa edukatif dengan konten yang sesuai niche masing-masing, dan sebagainya. Adapun bagi yang ingin menjejaki dunia profesional, dapat mengikuti program magang bermetode Work from Home (WFH)—yang menawarkan bermacam posisi. Di sinilah individu dapat memilah kecenderungan orientasi niche yang dimiliki. Tak hanya itu, kesempatan aktualisasi diri juga dapat dipertajam melalui wadah-wadah kompetisi yang dapat diikuti sesuai potensi diri, seperti lomba menulis, desain, business planning, public speaking, olimpiade saintifik, content-creating, dan tak sedikit deretan peluang yang tetap tersedia di antara banyaknya serba-serbi negatif pandemi. Dari sini pula, dapat dicermati posisi teknologi di era pandemi mampu menjadi instrumen yang menjembatani individu sehingga tetap memiliki relasi penuh dengan pendidikan.
Foto: Pexels.com/Nothing Ahead
Meski demikian, jika meninjau dari sudut formal-institusional, sudah menjadi rahasia umum bahwa institusi pendidikan dalam negeri masih menyajikan variasi subjek keilmuan secara rigid, bahkan bermacam disiplin sering tumpang tindih terhadap internal niche dan orientasi yang ingin dituju individu. Realitasnya, tolok ukur kesuksesan dalam masyarakat kita masih mengacu pada keberhasilan menguasai kurikulum yang bersifat kaku dan rule-based. Bahkan stereotip yang kerap mengunggulkan suatu bidang dengan bidang yang lain masih kontinu menggejala. Hal ini acap mengindikasikan adanya penyempitan definisi terhadap makna pengembangan diri dan kecerdasan. Sudah tidak asing lagi bahwa labelling “pintar” disematkan bila seseorang mendapat “nilai tinggi” secara akademis, yang mana predikat tersebut masih mengacu pada formalisasi sistem.
ADVERTISEMENT
Tak dipungkiri pula, banyak yang kemudian tidak cukup mempunyai ruang untuk menemukan niche karena “tertuntut” memenuhi standar yang berlaku. Hal ini pun dapat memicu terjadinya krisis identitas dengan banyaknya prioritas yang terkikis dan hilangnya kemauan memercayai diri sendiri. Bila statis mengikuti sistem, akan menelurkan top-down policy yang menggerus interest publik menuju kepentingan politis, serta menghasilkan stagnasi diri. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya fleksibilitas dan klasifikasi yang menampung minat dan bakat. Sistem ini akan mengarahkan generasi muda yang terdiri dari individu-individu dengan “jalannya” masing-masing—untuk mendapatkan kesempatan setara dalam berkembang. Sistem ini pula yang akan menghasilkan “privatisasi diri” untuk kemudian berkamuflase menjadi wadah sosial yang matang, berbuah personalitas pendidikan. Personalitas pendidikan yang dimaksud adalah tersedianya ruang pengkhususan menurut niche untuk mengiringi individu berkembang sesuai dorongan hati dan olah rekognisi karakter mereka.
ADVERTISEMENT
Secara analogis, pantulan bola akan makin tinggi jika hantaman ke permukaan lantai makin keras. Demikian halnya dengan framework metaanalisis pendidikan transisional, diperlukan kajian dari berbagai sisi dan peran kompak seluruh aktor secara berkelanjutan, termasuk individu—untuk memiliki willingness dan manajemen diri yang kuat. Personalitas pendidikan sendiri merupakan bentuk moderasi bagi generasi muda dalam menemukan orientasi niche mereka. Pada konsep ini, tiap individu berhak memiliki porsi keadilan dalam mendapatkan kesempatan berprogres sesuai kecenderungan masing-masing, baik secara informal maupun dalam sekop institusional. Dengan kata lain,
Serta, tiap individu layak memiliki makna sukses tersendiri, berhak bangun dan melangkah menuju “mimpi” hasil asa, alih-alih berdasarkan persepsi “mereka-mereka”.
Referensi
Duckworth, A. (2017). Grit. London: Penguin Random House.
ADVERTISEMENT
Favara, M., Freund, R., Porter, C., Sánchez, A., & Scott, D. (2021). Young lives, interrupted: short-term effects of the COVID-19 pandemic on adolescents in low-and middle-income countries. Covid Economics, 67, 172-98.
Glasdam, S., & Stjernswärd, S. (2020). Information about the COVID-19 pandemic–A thematic analysis of different ways of perceiving true and untrue information. Social Sciences & Humanities Open, 2(1), 100090.
Mack, O., Khare, A., Krämer, A., & Burgartz, T. (Eds.). (2015). Managing in a VUCA World. Springer.
Milyavskaya, M., & Inzlicht, M. (2017). What’s so great about self-control? Examining the importance of effortful self-control and temptation in predicting real-life depletion and goal attainment. Social Psychological and Personality Science, 8(6), 603-611.
ADVERTISEMENT
Onyema, E. M., Eucheria, N. C., Obafemi, F. A., Sen, S., Atonye, F. G., Sharma, A., & Alsayed, A. O. (2020). Impact of Coronavirus pandemic on education. Journal of Education and Practice, 11(13), 108-121.
Schot, J., & Geels, F. W. (2008). Strategic niche management and sustainable innovation journeys: theory, findings, research agenda, and policy. Technology analysis & strategic management, 20(5), 537-554.
World Health Organization. (2021). WHO Coronavirus (COVID019) Dashboard. Diakses dari https://covid19.who.int/