Konten dari Pengguna

Kebebasan Pers Terancam, Oposisi Melemah, Generasi Muda Justru Bersikap Apatis?

Laudy Aliyya
Laudy Aliyya, mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi, di Universitas Pancasila.
29 April 2025 13:01 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Laudy Aliyya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Milik Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Milik Pribadi
ADVERTISEMENT
Kehadiran pers telah menjadi salah satu pilar utama demokrasi. Pers berfungsi sebagai alat pengendali untuk pemerintah dan memiliki hak dalam mengkritik berbagai kebijakan yang dibuat oleh negara. Dengan kata lain, pers dapat diartikan sebagai corong rakyat untuk menyampaikan suara-suara mereka, yang sering kali tak terdengar di ruang-ruang kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam kurun waktu yang singkat setelah pengesahan RUU TNI pada 20 Maret 2025 lalu, situasi mengkhawatirkan terjadi. Seorang jurnalis menerima kiriman berupa kepala babi setelah mengkritik pemerintah terkait pengesahan RUU tersebut. Tidak hanya itu, saat mahasiswa menggelar aksi di depan Gedung DPR, beberapa jurnalis yang sedang meliput justru menjadi korban penganiayaan oleh sejumlah oknum aparat. Situasi ini mengundang tanya: apakah ada motif di balik semua ini? Pesan apa yang ingin disampaikan?
Situasi kebebasan pers yang kian tertekan semakin diperparah dengan melemahnya oposisi politik. Partai-partai politik yang sebelumnya vokal kontra terhadap pemerintah kini banyak yang bergabung dengan pemerintah. Bahkan, sebagian media yang seharusnya menjadi saluran komunikasi rakyat pun tampak memilih jalur serupa. Kritik terhadap kebijakan pemerintah semakin menipis, seolah enggan untuk mengoreksi atau sekadar mengingatkan. Padahal, dalam negara demokrasi, pers memiliki fungsi vital sebagai sarana aspirasi sekaligus alat kontrol atas kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, di tengah kondisi yang mengkhawatirkan ini, generasi muda yang diajangkan sebagai generasi emas dan penerus bangsa, justru menunjukkan kecenderungan apatis. Banyak anak muda berpandangan bahwa politik hanyalah arena konflik tanpa solusi yang nyata, dan tidak memiliki dampak langsung terhadap kehidupan mereka. Minimnya ruang untuk menyampaikan aspirasi dan pendapat membuat generasi muda semakin jauh dan kurang peduli terhadap dinamika politik di Indonesia.
Terlebih lagi, ketika media tidak lagi menjadi ruang aman untuk berdiskusi dan mengkritik, generasi muda kehilangan tempat untuk membangun kesadaran kritis. Ketertarikan mereka terhadap isu-isu politik kian terkikis, tergantikan oleh konten-konten hiburan ringan yang menawarkan pelarian sesaat dari kerasnya realitas kehidupan.
Memang, tidak semua generasi muda bersikap apatis. Masih ada segelintir yang sadar dan ingin menjaga ruang diskusi kritis tetap hidup. Namun, jumlah mereka jauh lebih kecil dibandingkan gelombang besar ketidakpedulian yang terus tumbuh. Padahal, demokrasi tidak akan membaik tanpa peran aktif dan kesadaran kritis dari generasi penerus bangsa.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, menjaga kebebasan pers dan menciptakan ruang aman untuk berdiskusi dan mengkritik secara terbuka menjadi hal yang sangat penting. Tanpa ruang kritik, generasi muda bagaikan pohon di musim kemarau — layu dalam diam, kehilangan harapan untuk bertumbuh.