Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
May Day dan Marsinah: Representasi Konflik Sosial dalam Struktur Kelas Pekerja
9 Mei 2025 18:46 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Laura Zefanya Elizabeth tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tanggal 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh Internasional, atau yang dikenal May day, sebagai bentuk penghormatan atas sejarah panjang perjuangan kelas pekerja di berbagai dunia. Peringatan ini tidak hanya untuk mengenang atas pengorbanan kaum buruh, tetapi untuk kembali melanjutkan perjuangan kaum buruh dalam menuntut hak-hak dasar, terutama terkait upah yang layak, kesejahteraan kerja, dan perlindungan sosial. May Day menjadikannya lebih dari sekedar perayaan; ia adalah wujud konsistensi gerakan buruh dalam menuntut keadilan struktural.
ADVERTISEMENT
Hari buruh berakar dari berbagai rangkaian perjuangan kelas dalam merebut kendali atas hak-hak ekonomi dan politik di dunia industri. Pada 1 Mei 1886, sekitar 400 ribu buruh di Amerika Serikat melakukan demonstrasi untuk menuntut pengurangan jam kerja menjadi delapan jam sehari. Aksi ini memuncak pada tanggal 4 Mei 1886 di Haymarket Square, Chicago, di mana demonstrasi berubah ricuh dan menimbulkan korban jiwa di kalangan pekerja, yang kemudian dikenal sebagai Haymarket Affair.
Sebagai respon atas tragedi Haymarket dan menunjukkan adanya represi keras terhadap gerakan buruh, Kongres Sosialis Dunia di Paris pada Juli 1889 menetapkan tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional atau May Day. Penetapan ini bukan hanya bentuk solidaritas, tetapi juga sebagai simbol perlawanan kolektif terhadap ketidakadilan dalam sistem kerja industrial.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, peringatan Hari Buruh dimulai pada masa penjajahan Belanda pada 1 Mei 1918 oleh Serikat Buruh Kung Tang Hwee di Semarang. Aksi ini merupakan bentuk perlawanan terhadap eksploitasi dan ketidakadilan yang dialami oleh para pekerja. Setelah Indonesia merdeka, Hari Buruh secara resmi diakui melalui Undang-Undang Kerja Nomor 12 Tahun 1948 yang menetapkan tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh Nasiona
Namun, pada masa Orde Baru, peringatan ini sempat dilarang dan dianggap subversif karena dikaitkan dengan ideologi komunis. Setelah era reformasi, peringatan Hari Buruh kembali diizinkan. Presiden BJ Habibie juga melakukan ratifikasi Konvensi ILO Nomor 81 yang menjamin kebebasan berserikat bagi buruh. Kemudian, pada tahun 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan 1 Mei sebagai hari libur nasional di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam perjuangan buruh di Indonesia, salah satu cerita yang tidak dapat dilupakan dalam sejarah pergerakan buruh di Indonesia adalah perjuangan seorang buruh perempuan, Marsinah. Marsinah, yang dikenal sebagai martir bagi buruh Indonesia, menghidupkan kembali semangat perlawanan terhadap penindasan, terutama dalam industri yang seringkali mengeksploitasi tenaga kerja, terutama perempuan.
Marsinah, perempuan yang lahir pada 10 April 1969 di Desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur, merupakan anak kedua dari tiga bersaudara yang semuanya adalah perempuan. Ketika Marsinah berusia tiga tahun, ibunya meninggal dunia dan ayahnya menikah lagi. Sejak saat itu, Marsinah diasuh oleh neneknya, Paerah. Sejak kecil, Marsinah sudah terbiasa bekerja keras, membantu neneknya berjualan gabah dan jagung setelah pulang sekolah. Marsinah memiliki cita-cita berkuliah di fakultas hukum, namun keterbatasan biaya membuatnya harus mengubur impian tersebut dan memilih untuk merantau ke Surabaya pada 1989 dan menumpang hidup di rumah kakaknya.
ADVERTISEMENT
Di Surabaya, Marsinah bekerja di pabrik plastik SKW di Kawasan Industri Rungkut, tetapi gajinya jauh dari cukup sehingga ia mencari tambahan penghasilan dengan berjualan nasi bungkus. Kemudian, Marsinah bekerja di PT. Catur Putra Surya (CPS), pabrik arloji di Porong, Sidoarjo. Di tempat kerja barunya, Marsinah dikenal sebagai buruh yang vokal dan aktif dalam memperjuangkan hak-hak rekan-rekannya.
Marsinah terlibat dalam organisasi buruh Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) unit kerja PT. CPS dan menjadi salah satu penggerak aksi mogok kerja yang menuntut keadilan upah pada Mei 1993. Aksi tersebut merupakan bentuk protes terhadap kondisi kerja yang keras dan upah yang minim. Ia Bersama rekan-rekannya memberikan 12 tuntutan, salah satunya ialah tunjungan cuti haid.
ADVERTISEMENT
Pada siang hari tanggal 5 Mei 1993, sebanyak 13 buruh yang dituduh menghasut rekan-rekannya untuk berunjuk rasa di bawa ke Komando Distrik Militer Sidoarjo. Marsinah dikabarkan sempat mendatangi Komando Distrik Militer Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan 13 rekannya yang sebelumnya ditahan. Namun, sekitar pukul 10 malam tanggal 5 Mei 1993, Marsinah menghilang.
Keberadaan Marsinah tidak diketahui lagi hingga memasuki hari keempat, tanggal 9 Mei 1993, jenazah Marsinah ditemukan di sebuah gubuk di pinggiran hutan jati wilangan, Dusun Jegong, Desa Wilangan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Tubuh Marsinah ditemukan dalam keadaan penuh luka memar bekas pukulan benda keras. Lalu, jasad Marsinah dievakuasi ke Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk dan diautopsi. Hasil autopsi menunjukkan bahwa Marsinah sudah meninggal satu hari sebelum jenazahnya ditemukan, yaitu 8 Mei 1993.
ADVERTISEMENT
Hasil visum et repertum menunjukkan tulang panggul bagian depan yang hancur. Labia minora kiri robek dan terdapat serpihan tulang, pendarahan sebanyak 1.000 milimeter dalam rongga perut, memar kandung kencing dan memar pada usus bagian bawah. Kematian Marsinah dipastikan akibat luka tembak yang ditemukan di tubuhnya. Marsinah mengalami penyiksaan dan tanda-tanda kekerasan seksual sebelum kematiannya. Kasus ini menjadi salah satu pelanggaran HAM berat di Indonesia dan menyoroti kekerasan terhadap buruh perempuan di masa orde baru.
Dalam perspektif sosiologi, Marsinah adalah contoh nyata dari ketegangan kelas antara buruh dan pemilik modal, yang diperparah oleh intervensi represif negara. Dalam sistem kapitalis, negara dan pemilik modal memiliki dominasi dan kontrol yang kuat atas buruh, yang mengakibatkan ketidakadilan dan penindasan. Mereka mengontrol alat-alat produksi dan menetapkan aturan yang sering kali tidak berpihak pada kesejahteraan kelas pekerja. Upah rendah, kondisi kerja yang buruk, dan pembatasan hak-hak buruh merupakan bentuk penindasan dan ketidakadilan yang dialami buruh.
ADVERTISEMENT
Kasus Marsinah juga memperlihatkan sisi gender dalam ketengangan sosial. Sebagai perempuan, Marsinah juga memperjuangkan hak-hak buruh perempuan yang rentan terhadap eksploitasi dan diskriminasi di tempat kerja. Buruh perempuan sering kali terjebak dalam sistem yang menindas mereka sebagai pekerja maupun menjadi korban dari perempuan yang terpinggirkan dalam budaya patriarki. Marsinah bukan hanya berjuang untuk hak-hak buruh secara umum, tetapi juga untuk kesetaraan gender di dunia kerja.
Marsinah, melalui aksi mogoknya, menunjukkan ekspresi dari kesadaran kelas yang tinggi, yang muncul dari pemahaman atas ketimpangan struktural. Di mana ia menyadari ketidakadilan yang dialami seperti upah di bawah standar dan jam kerja yang melelahkan sebagai bagian dari masalah struktural yang juga menimpa buruh lain. Marsinah tidak bertindak sebagai individu yang menuntut hak pribadinya, melainkan sebagai bagian dari kolektif yang menuntut perubahan sosial yang lebih luas.
Kematian Marsinah menjadi simbol dari kekerasan dan penindasan terhadap gerakan buruh di Indonesia, sekaligus mencerminkan adanya kekosongan dalam sistem hukum dan perlindungan sosial pada masa Orde Baru. May Day sebagai pengingat bagi masyarakat tentang pentingnya perjuangan kelas pekerja. Peringatan ini memberikan ruang bagi buruh untuk bersolidaritas dan memperjuangkan hak-haknya dalam menghadapi ketimpangan sosial. Bagi buruh perempuan, May Day menjadi bentuk ekspresi mereka untuk menuntut pengakuan atas peran mereka dalam perekonomian, serta perlindungan terhadap hak-hak mereka di tempat kerja.
ADVERTISEMENT
Melalui perspektif sosiologi, perjuangan buruh dapat dipahami sebagai upaya yang tidak hanya berkutat pada isu upah dan kondisi kerja, tetapi juga menyangkut tuntutan atas keadilan sosial dan pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia. Marsinah, melalui kematiannya, telah menjadi simbol bagi perjuangan buruh perempuan dan pekerja yang tertindas di Indonesia, dan May Day menjadi panggilan untuk melawan ketidakadilan sosial dan membangun solidaritas antar kelas pekerja di seluruh dunia.
Referensi:
Agus Riyanto. (2024). Sejarah Hari Buruh 1 Mei, Ini Latar Belakang dan Tujuan Peringatannya. Detikjateng.
Tri Indriawati. (2022). Kisah Marsinah, aktivis buruh yang dibunuh pada masa Orde Baru. Kompas.com.
Idries, Abdul Mun'im. (2013). Indonesia X-Files. Jakarta: Noura Books.
Qurniasari, I. (2014). KONSPIRASI POLITIK DALAM KEMATIAN MARSINAH DI PORONG SIDOARJO TAHUN 1993-1995 (POLITICAL CONSPIRACY ON THE DEATH OF MARSINAH IN PORONG SIDOARJO IN 1993-1995.
ADVERTISEMENT
Tsamrotul Ayu Masruroh. (2020). Marsinah, Kartini yang Dibunuh Karena Memperjuangkan Hak Buruh. Persma.id
Wulu, D. M., & Afandy, A. N. (2019). Penindasan Buruh dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra. Lingua Franca: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 3(1), 77-89.