Menelaah Kebiasaan 'Onani' Politik oleh Politisi Narsis

Lazuardi Imam Pratama
Keluarga Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK, Banda Aceh.
Konten dari Pengguna
22 Mei 2020 10:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lazuardi Imam Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi sabun Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sabun Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Hari Selasa, tanggal 19 Mei 2020 di penghujung bulan Ramadhan ini saya melihat sebuah cuitan yang cukup menggelikan di platform media sosial twitter. Cuitan tersebut berasal dari ‘orang dalam’ lingkaran kekuasaan pemerintah daerah di tempat saya berdomisili. Sebenarnya cuitan bernada puji-pujian basi yang demikian sudah sering melintas di timeline.
ADVERTISEMENT
Polanya adalah sama, dimana beberapa orang yang memiliki akses langsung kepada pemerintah kerap mengglorifikasi berbagai kebijakan yang diambil oleh seorang pimpinan daerah yang menurut saya tindakan tersebut sudah tergolong ke dalam kategori lebay.
Sebenarnya saya punya opsi untuk membisukan atau memblokir akun-akun twitter tersebut, tapi saya rasa tidak perlu bertingkah kekanak-kanakan sampai harus melakukannya. Lagipula jika saya membisukan akun mereka, hal yang sama tetap saja akan mereka kerjakan.
Saya hanya mencoba menuruti petuah idola saya, Soe Hok Gie. Gie menyatakan bahwa “Mendiamkan sebuah kesalahan adalah kejahatan.” Jika saya membisukan akun-akun tadi, berarti saya berbuat jahat karena telah mendiamkan sebuah kesalahan.
Khusus untuk memblokir, pimpinan daerah kami yang sering diglorifikasi tadi lebih mahir dari pada saya sendiri. Jadi biar saja beliau yang sudah ahli untuk terus memblokir akun-akun yang dianggap tidak sejalan. Memblokir akun rakyat itu berat, saya tidak akan kuat, biar bapak itu saja.
ADVERTISEMENT
Saya menyebut fenomena mengglorifikasi dan melebih-lebihkan seperti tadi sebagai sebuah onani politik. Saya turut mengutarakan istilah onani politik dalam kutipan yang mengomentari cuitan menggelikan tersebut. Istilah onani memang cukup vulgar di kalangan masyarakat dengan nilai-nilai ketimuran seperti kita. Kalau boleh jujur saya juga sudah berputar-putar mencari inspirasi untuk istilah yang tepat, tapi tetap tidak ketemu yang sepadan.
Lagipula saya meyakini jika menyebut kata onani bukanlah sebuah dosa, yang berdosa itu adalah mereka yang melakukannya. Apalagi jika dilakukan di hari Selasa siang di penghujung bulan Ramadhan.
Istilah ini saya pilih karena metode yang dilakukan hampir sama; hanya sebuah weasel word alias pepesan kosong yang diglorifikasi secara lebay. Padahal outputnya serba minim. Minim progres, minim inspirasi, minim hasil, minim dampak terhadap orang banyak dan yang paling fatal adalah menimbulkan kepuasan semu yang dapat membuat candu, persis seperti onani.
ADVERTISEMENT
Onani politik erat kaitannya dengan politisi narsis. Sulit rasanya untuk tidak mencurigai bahwa gerakan glorifikasi yang marak dijumpai di twitter seperti ini merupakan sebuah gerakan yang terstruktur.
Tujuannya tak lain adalah untuk menonjolkan keberhasilan prematur dari seorang politisi, memberikan citra kepada khalayak luas bahwa sosok yang dipuji sudah bekerja maksimal untuk rakyat, hanya memikirkan rakyat, dan selalu mengedepankan kepentingan rakyat. Padahal membayangkannya saja sudah membuat rakyat geli karena terkesan jauh panggang dari api.
Dunia kesehatan sudah memberikan penjelasan kenapa onani atau masturbasi dapat membuat candu. Melakukan kegiatan onani dapat memicu hipotalamus yang merupakan bagian dari otak untuk melepaskan sejumlah senyawa kimia, seperti dopamin dan oksitosin yang dapat menimbulkan kebahagiaan, kenikmatan, dan kenyamanan. Namun hanya bersifat sementara. Setelah perasaan tersebut hilang, tubuh akan berusaha kembali untuk memenuhi kebutuhan akan kebahagiaan dan kenikmatan yang sama, sehingga praktik onani kembali dilakukan. Begitulah agaknya kenapa onani bisa membuat candu.
ADVERTISEMENT
Meski belum terbukti secara ilmiah, saya menilai bahwa perilaku mengglorifikasi politisi di media sosial yang saya sebut sebagai praktik onani politik juga menghasilkan kebahagiaan dan kenikmatan serupa, juga dengan kekurangan serupa pula; yaitu hanya bersifat sementara. Sehingga kegiatan tersebut berpotensi menjadi candu dan akan dilakukan secara berulang-ulang hingga politisi tadi mencapai titik klimaks sebagai sebuah orgasme palsu.
Kebiasaan onani politik seperti ini menunjukkan betapa minimnya gagasan dan pencapaian yang diraih oleh sosok yang diglorifikasi, sehingga para pengikutnya harus menempuh cara yang melibatkan imajinasi dan halusinasi untuk mencapai sebuah kepuasan palsu.
Saya meyakini bahwa onani tidak akan dilakukan oleh orang yang sudah mendapatkan kepuasan atas sebuah hubungan. Begitu pula seorang politisi yang tidak akan melakukan onani politik jika sudah memiliki pencapaian prestisius dalam melayani rakyatnya.
ADVERTISEMENT
Yang tak kalah mengecewakan adalah ketika publik mencoba mengkritik onani politik yang sedang mereka kerjakan secara berjemaah. Bukannya memperbaiki diri dan menjadikan kritik sebagai sebuah pengingat, mereka justru lebih memilih melanjutkan kegiatan imajinasi dan halusinasi mereka dengan semakin menyaringkan puji-pujian basi sambil terus menyepelekan nada sumbang yang berasal dari luar kelompoknya. Sesekali mereka juga turut menyerang sisi personal si tukang kritik. Begitulah kira-kira kualitas penguasa dan para pengikutnya yang ada di daerah kami.
Kebiasaan onani politik menurut saya sangat berbahaya jika sudah menjadi candu bagi penguasa. Selayaknya seorang remaja yang sudah kecanduan melakukan masturbasi, mereka akan kehilangan kemampuan untuk melahirkan gagasan dan gebrakan yang konstruktif. Begitu pula dengan penguasa, alih-alih memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, mereka akan lebih memilih memuaskan birahi kekuasaannya dengan terus beronani ria.
ADVERTISEMENT
Saya sarankan kepada para politisi narsis yang masih gemar melakukan onani politik agar segera berhenti. Jangan sampai kegemaran beronani menurunkan gairah anda untuk menjadi pelayan yang baik. Akhirnya malah merusak harmonisasi hubungan anda dengan rakyat yang tidak merasa puas atas pelayanan anda.
Jika rakyat sudah merasa tidak puas, maka wajar saja semua upaya yang dilakukan untuk merebut kembali hati rakyat akan mendapat respons negatif. Termasuk cuitan sang pimpinan daerah yang mencoba menyebut rakyatnya dengan sebutan “Rakyatku,” bukannya mendapat simpati, sang pimpinan daerah malah jadi objek bully. Semua karena rakyat sudah jijik melihat serangkaian onani politik dan orgasme palsu dari penguasa.