Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Pandemi COVID-19 di Aceh: Upaya Menangkal Kutukan Cassandra
2 Juli 2020 9:57 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Lazuardi Imam Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di dalam kisah mitologi Yunani, Cassandra adalah nama seorang putri dari kota legendaris Troya. Cassandra terkenal dengan penampilannya yang menarik dan wajahnya yang begitu cantik. Ia dianugerahi kemampuan dapat memprediksi kejadian di masa depan, sekaligus ditimpa kutukan bahwa tidak ada seorang pun yang akan percaya dengan ramalannya.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa versi cerita yang meriwayatkan tentang anugerah dan kutukan yang dimiliki oleh Cassandra. Yang paling populer berkaitan dengan kisah jatuh cinta Dewa Apollo padanya. Sehingga atas dasar cinta, Dewa Apollo menganugerahi Cassandra dengan kemampuan untuk meramal. Namun ternyata pemberian tersebut tidak mampu membuat Cassandra membalas cinta sang dewa. Dilandasi perasaan kecewa, Dewa Apollo akhirnya mengutuk Cassandra dengan kutukan dimana tidak ada seorang pun yang akan mempercayai ramalannya.
Kisah tentang anugerah dan kutukan yang dimiliki oleh Cassandra akan sangat tepat dalam menggambarkan situasi yang sedang menimpa mereka yang berjuang melawan pandemi COVID-19 di Aceh.
Banyak masyarakat Aceh yang sudah tidak percaya dengan berbagai bentuk informasi yang berkaitan dengan pandemi COVID-19. Padahal dalam kurun waktu dua minggu terakhir, jumlah kasus positif COVID-19 di Aceh terus mengalami peningkatan secara eksponensial.
ADVERTISEMENT
Baik pemerintah, akademisi, para tenaga medis dan siapa pun yang menyebarkan informasi tentang perkembangan COVID-19 di Aceh akan berhadapan dengan skeptisisme masyarakat yang menganggap bahwa pandemi COVID-19 hanyalah sebuah rekayasa yang bertujuan untuk menguntungkan segelintir pihak.
Alih-alih menjadikan informasi sebagai sebuah alarm, sebagian masyarakat justru merespon dengan komentar sinis dan cemooh yang terkesan tidak menunjukkan empati terhadap mereka yang terpapar.
Skeptisisme ini sebenarnya bukanlah suatu perilaku yang tidak mendasar. Masyarakat memiliki penilaian bahwa COVID-19 hanyalah akal-akalan karena disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya maraknya pemberitaan tentang beberapa rumah sakit yang menjadikan COVID-19 sebagai ladang bisnis, beredarnya isu-isu teori konspirasi yang turut disuarakan oleh beberapa public figure, kurangnya pemahaman masyarakat tentang karakter virus SARS-CoV-2 yang menjadi penyebab COVID-19, hingga tidak konsistennya sejumlah kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah yang menyebabkan masyarakat menjadi kebingungan sehingga memilih untuk tidak peduli.
ADVERTISEMENT
Latar belakang sosial dan budaya masyarakat Aceh yang sangat erat kaitannya dengan penerapan syariat Islam sedikit atau banyak juga turut mempengaruhi kondisi ini. Sebagian masyarakat Aceh menolak pelarangan atau pembatasan pelaksanaan ibadah dan kegiatan keagamaan yang melibatkan orang banyak meski dengan alasan untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19.
Akhirnya tidak sedikit pula masyarakat yang berasumsi bahwa pandemi COVID-19 merupakan salah satu strategi dari pihak-pihak yang tidak menyukai perkembangan Islam yang begitu pesat di Aceh.
Realita tersebut menjadikan para akademisi dan tenaga medis yang memiliki privilage berupa ilmu pengetahuan di bidang virologi maupun bidang kesehatan menjadi kesulitan menyampaikan informasi yang benar dan berguna bagi masyarakat.
Begitu pula dengan pemerintah, sebagai pihak yang memiliki wewenang untuk menentukan kebijakan demi menyelamatkan masyarakatnya dari ancaman wabah virus corona, mau tidak mau dihadapkan pada permasalahan tambahan yang berdampak kepada ketidakpatuhan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah beserta para akademisi dan tenaga medis memiliki instrumen pendukung yang memungkinkan mereka untuk menganalisa bagaimana kondisi Aceh dalam beberapa waktu ke depan, tentunya dengan dilandasi oleh sains dan penilaian bagaimana perilaku masyarakat hari ini. Namun seperti halnya kisah Cassandra, mereka yang memiliki kemampuan memprediksi masa depan juga ‘dikutuk’ untuk tidak dipercayai oleh sebagian masyarakat yang sebenarnya ingin mereka selamatkan.
Deja Vu Perang Troya
Saya jadi teringat pada kisah Perang Troya yang juga melibatkan Cassandra. Pasukan Yunani yang sedang kewalahan mengalahkan kerajaan Troya mengatur siasat dengan berpura-pura menghadiahkan kerajaan Troya sebuah patung kuda raksasa yang terbuat dari kayu berongga.
Tanpa sepengetahuan kerajaan Troya, patung kuda tersebut diisi oleh sejumlah pasukan terbaik yang dimiliki oleh Yunani. Kerajaan Troya menganggap patung kuda tersebut sebagai persembahan dan pengakuan kekalahan dari pihak Yunani.
ADVERTISEMENT
Pada saat itu pula, Cassandra memperingatkan para panglima perang dan pemimpin Troya bahwa patung tersebut hanyalah siasat yang dapat mencelakakan mereka. Namun karena dikutuk untuk tidak dipercaya Cassandra justru dikurung dan patung kuda raksasa tersebut tetap digiring ke dalam Kota Troya yang dikelilingi tembok kokoh.
Pada malam hari, saat kerajaan Troya lengah dengan perayaan kemenangan dan serangkaian pesta, sejumlah pasukan terbaik Yunani yang berada di dalam patung kuda tersebut keluar dan menghabisi kerajaan Troya dari dalam.
Saya khawatir perilaku denial dari masyarakat Aceh dipadukan dengan gagapnya pemerintah dalam menentukan sejumlah kebijakan akan membawa kita kepada kisah kehancuran seperti kerajaan Troya.
Pandemi COVID-19 terbukti telah menjadi momok bagi peradaban manusia. Negara atau wilayah yang dibentengi oleh teknologi dan fasilitas kesehatan yang paling maju pun terbukti kewalahan dalam menghadapi serangan wabah ini.
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID-19 tidak hanya mengancam aspek kesehatan semata, namun juga turut meluluhlantakkan berbagai sendi-sendi kehidupan umat manusia. Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam setiap krisis akan ada manusia bernurani tumpul yang dengan tamak akan memanfaatkan situasi demi keuntungan pribadi.
Namun hal tersebut tidak semerta-merta menjadikan COVID-19 sebagai sebuah wabah fiktif seperti yang selama ini dicurigai oleh sebagian masyarakat.
Di era demokrasi seperti sekarang, saya memahami bahwa perbedaan dalam menilai suatu persoalan adalah sunnatullah yang harus dirawat dan dihargai. Saya tidak memaksa setiap orang untuk memiliki pemikiran seragam tentang COVID-19.
Namun jangan sampai skeptisisme yang dimiliki malah menumpulkan rasa empati terhadap mereka yang saat ini sedang berjuang di garda terdepan maupun yang sedang terpapar.
ADVERTISEMENT
Di tengah kesemrawutan informasi, masyarakat dituntut untuk lebih bijak dalam menyaring berita yang berseliweran di berbagai media. Pemerintah juga harus mampu merumuskan berbagai kebijakan yang jelas dan terukur demi menghindari kebingungan yang dapat menggiring masyarakat menjadi tidak acuh terhadap segala ketidakpastian situasi yang dihadapi.
Pemerintah, akademisi dan para tenaga medis tentu tidak ingin menjadi seperti Cassandra; ditakdirkan untuk dapat meramal masa depan, namun dikutuk untuk tidak pernah dipercaya. Begitu pula kita yang tidak ingin Aceh menjadi seperti kerajaan Troya, yang luluhlantak akibat terlalu jumawa dan rasa tidak saling percaya diantara rakyatnya.