Polio dan Gejala Lumpuhnya Nalar Publik

Lazuardi Imam Pratama
Keluarga Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK, Banda Aceh.
Konten dari Pengguna
27 November 2022 21:16 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lazuardi Imam Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Logika (sumber: gramedia.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Logika (sumber: gramedia.com)
ADVERTISEMENT
Tahun 2018, kawasan Asia Tenggara dikejutkan dengan kembali ditemukannya kasus polio di beberapa negara seperti Indonesia, Malaysia, Myanmar dan Filipina. Padahal Indonesia sendiri sudah dinyatakan bebas polio oleh WHO sejak tahun 2014 lalu.
ADVERTISEMENT
Menurut WHO, terdapat 3 indikator utama yang menjadi penilaian risiko penularan polio di Indonesia, yaitu imunitas populasi, surveilans, dan keterbatasan sosialisasi program penanganan polio.
Polio merupakan penyakit yang diakibatkan oleh virus yang menyerang sistem syaraf sehingga dapat menyebabkan kelumpuhan permanen. Penularan polio biasanya bertransmisi melalui tinja. Oleh sebab itu, kebersihan lingkungan menjadi salah satu perhatian penting guna menghentikan laju penyebaran polio.
Kemenkes RI merilis sebuah data dimana dalam tiga tahun terakhir 90 persen populasi di Indonesia sudah memperoleh empat dosis vaksin polio tetes (oral polio vaccine/OPV). Sementara rentang jumlah masyarakat yang sudah menerima vaksin melalui suntikan (inactivated polio vaccine/IPV) baru berkisar pada angka 80 persen.
November 2022, Pemerintah melalui Kemenkes RI mendeklarasikan Kejadian Luar Biasa (KLB) polio setelah ditemukannya 1 kasus di Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh.
ADVERTISEMENT
Penderita polio yang merupakan anak usia 7 tahun mengalami gejala kelumpuhan pada kaki kirinya. Setelah ditelusuri, ternyata sang anak belum pernah menerima vaksinasi polio sejak balita. Rentetan fakta yang tersaji seiring dengan ditemukan kembalinya wabah polio merupakan fenomena gunung es di banyak daerah tingkat dua di Provinsi Aceh.

Penolakan Vaksinasi dan Matinya Kepakaran

Sejak ditemukannya vaksin Covid-19 beberapa waktu silam, penolakan masyarakat terhadap program vaksinasi kian meningkat. Salah satu alasan masyarakat enggan mengikuti program vaksinasi adalah karena maraknya hoaks yang menyatakan bahwa vaksin dapat membahayakan kesehatan manusia, mengandung minyak ataupun kandungan lain dari babi, memiliki chip yang digunakan sebagai alat pelacak, hingga dapat menyebabkan kematian.
Kejadian ini mengingatkan saya dengan buku yang pernah saya baca pada tahun 2018 lalu berjudul The Death of Expertise (2017) karya Tom Nichols. Profesor U.S Naval War College dan Harvard Extension School tersebut dengan rapi menceritakan bagaimana revolusi digital, perkembangan media sosial, dan kemajuan internet telah mempengaruhi tingkat kepercayaan publik terhadap para pakar di suatu bidang.
ADVERTISEMENT
Bayangkan saja, di dunia serba digital seperti sekarang, untuk mengetahui banyak hal, manusia modern tidak lagi perlu menemui seorang pakar; namun bisa dengan mudah memperoleh informasi melalui beberapa kali klik saja.
Alih-alih mencari informasi objektif untuk dijadikan bahan pembanding, manusia memiliki kecendrungan hanya menerima bukti penguat dari apa yang sudah diyakini sebelumnya. Fenomena psikologis seperti ini dikenal sebagai Efek Dunning Kruger. Modernisasi dan perilaku narsistik tadi didakwa Tom Nichols sebagai pembunuh kepakaran.
Meski terkesan menawarkan kemudahan, tidak berlebihan jika kita menyebut bahwa saat ini masa depan sains berada dalam bahaya. Hampir semua orang memiliki akses untuk terjun ke dalam belantara informasi, namun sedikit dari mereka yang mau melakukan kajian secara komprehensif dan objektif, termasuk kerap menolak saran para pakar jika dianggap bertentangan dengan apa yang sudah diyakini sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Kedudukan para pakar yang bisa saja sudah menghabiskan setengah hidupnya untuk mempelajari suatu bidang, kini tidak lagi berada pada puncak piramida keahlian, namun justru dianggap sejajar dengan orang awam. Fenomena ini memicu timbulnya keyakinan kolektif yang tidak rasional di tengah masyarakat; yaitu semua orang sama pintarnya.
Gegap gempita media sosial memengaruhi pola berpikir masyarakat, ditandai dengan ketidakmampuan untuk membedakan mana yang informatif dan mana spekulatif; mana yang proporsional dan mana yang berlebihan; mana yang bohong dan mana yang fakta.
Kembali ke persoalan polio dan vaksinasi, menurut pemerintah, temuan kasus polio pada November kali ini merupakan buntut dari menurunnya capaian vaksinasi di Aceh selama 10 tahun terakhir, serta gagalnya vaksinasi dasar untuk memenuhi target di luar pulau Jawa.
ADVERTISEMENT
Isu penolakan vaksinasi sendiri merupakan buah bibir yang laris manis sejak satu tahun kebelakang. Jika berbicara soal vaksin, masyarakat terbelah menjadi dua kelompok; pro vaksin dan anti vaksin.
Di masa pandemi, para propagator teori konspirasi dan kelompok gerakan anti-masker adalah segelintir pihak yang dimaksud sebagai ‘inang’ penular irasionalitas. Kekonyolan reaksi publik ini kemudian semakin mudah menyebar ketika kampanye irasional tersebut ditunggangi oleh para public figure yang kemudian gaung gagasan populisnya menenggelamkan esai ilmiah para pakar.
Rendahnya capaian vaksinasi polio di Aceh akibat dari penolakan yang tidak saintifik merupakan gejala kelumpuhan nalar publik. Alih-alih mendengar pendapat para pakar guna mengantisipasi meluasnya penyebaran polio, masyarakat lebih tertarik untuk menggaungkan hoaks bahwa vaksin itu berbahaya bagi manusia dan hanya sekedar dijadikan komoditas bernilai ekonomis oleh segelintir pihak.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, kita hidup di tengah fenomena di mana narasi populis cenderung lebih ingin didengar oleh publik ketimbang penjelasan panjang lebar nan ilmiah dari para pakar. Ironi ini seolah menjadi wrecking ball yang dengan congkak dapat meruntuhkan otoritas keilmuan.
Contoh sikap denial netizen di kolom komentar sebuah kanal berita online

Jalan Sunyi Merawat Nalar Publik

Sebagai manusia yang memiliki keterbatasan dalam memahami ilmu pengetahuan, sudah selayaknya kita paham dengan batas-batas keahlian yang dimiliki masing-masing orang. Mengakui batas pengetahuan sendiri dan percaya terhadap keahlian orang lain tidak akan menurunkan harga diri seorang manusia. Seharusnya setiap kita paham, bahwa mengetahui suatu hal tidak sama dengan memahaminya.
Keterbatasan terhadap pengetahuan dapat diatasi dengan menjadikan diri sendiri layaknya sebuah gelas kosong, sehingga dengan rendah hati bersedia mengikuti proses belajar. Meskipun pada akhirnya, kita tetap harus mengakui bahwa tidak seorangpun dapat menguasai segala hal.
ADVERTISEMENT
Richard Thaler dalam magnum opus-nya yang berjudul Nudge (2008), menyajikan berbagai gejala irasionalitas dari problem sehari-hari yang terjadi akibat dari kebiasaan sesat logika (logical fallacies) yang memang menjadi kualitas inheren manusia.
Menurut Thaler, kesalahan fatal kita justru terletak pada asumsi bahwa semua manusia (homo sapiens) mampu menjadi makhluk yang berpikir dan bertindak rasional (homo economicus).
Padahal, tak seperti homo economicus yang mampu menganalisa sajian data dan informasi serta melakukan proses berpikir rasional dalam pengambilan keputusan, homo sapiens secara intuitif cenderung lebih sering bertindak irasional.
Otoritas yang berwenang memiliki tanggung jawab untuk mendorong terciptanya ekosistem yang logis dan rasional di Aceh, namun tetap menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi sebagai fondasi persatuan.
Kita berharap di masa depan tidak ada lagi masyarakat yang menolak vaksin karena termakan berita palsu atau takut karena tidak percaya dengan pendapat para pakar.
ADVERTISEMENT
Investasi dalam jumlah besar di bidang pendidikan sudah selayaknya dikawal dan dievaluasi pelaksanaannya. Sebab pendidikan merupakan salah satu variabel penting guna mendorong lahirnya generasi yang logis dan rasionalis.

Menyederhanakan Kepakaran

Para pakar juga memiliki dosa yang harus ditebus. Banyak pakar – terutama yang berada di lembaga akademis – relatif enggan untuk terlibat langsung dengan masyarakat kelas bawah.
Tidak sedikit kaum ‘oligarki pengetahuan’ yang lebih memilih untuk hanya berinteraksi dengan sesama kolega atau anggota komunitas keilmuan masing-masing. Banyak diantara mereka yang lebih tertarik untuk sekedar memelihara tradisi akademis daripada memperluas relasi yang inklusif guna menjembatani dunia sains dengan cangkul dan pacul milik buruh atau petani. Sehingga terkesan para kaum intelektual hanya melihat realita kesenjangan ilmu pengetahuan melalui jendela menara gading yang eksklusif.
ADVERTISEMENT
Untuk menumbuhkan pemahaman hingga ke tingkat akar rumput, para pakar harus mampu dan mau terlibat dalam diskusi ala warung kopi. Di warung kopi, setiap orang dapat berbicara. Para pakar silahkan ajukan pandangan yang tajam, ilmiah, dan terukur, namun tetap dengan gaya santai dan sederhana. Tidak perlu gunakan istilah sains yang rumit dan menjelimet sehingga sukar dipahami.
Dalam proses hilirisasi karya akademis seperti yang terdapat pada program pengabdian masyarakat, masyarakat tidak boleh lagi hanya dijadikan sebagai objek binaan atau sekedar passive recipient semata. Namun harus dilibatkan sebagai agen pembaharuan dan punya peran penting yang terukur.
Kelumpuhan nalar publik yang kian memprihatinkan hanya dapat diatasi dengan hadirnya kesadaran kolektif dari seluruh pihak, mulai dari para pakar, pemerintah, hingga seluruh lapisan masyarakat memiliki tanggung jawab bersama untuk menuntaskan persoalan ini.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, seperti diktum milik Malcolm Galdwell dalam karyanya yang berjudul The Tipping Point: How Little Things Can Make a Big Difference (2000), fenomena mikroskopik mampu menghasilkan sesuatu yang bersifat masif, hanya perlu bebepara faktor minor untuk menginisiasi perubahan fundamental. Kelumpuhan nalar publik akan runtuh layaknya domino jika gerakan menghidupkan rasionalitas diawali dari perubahan-perubahan elementer namun bersifat signifikan.