Qanun LKS di Aceh dan Pentingnya Berlaku Adil Sejak dalam Pikiran

Lazuardi Imam Pratama
Keluarga Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK, Banda Aceh.
Konten dari Pengguna
10 Mei 2021 20:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lazuardi Imam Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Masjid Raya Baiturrahman Aceh. Foto: Abdul Hadi/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Masjid Raya Baiturrahman Aceh. Foto: Abdul Hadi/acehkini
ADVERTISEMENT
"Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan"
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah dialog di tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, tepatnya pada seri Bumi Manusia, tokoh Jean Marais pernah berpesan kepada Minke bahwa seorang terpelajar haruslah mampu berlaku adil sejak dalam pikiran.
Adagium ini agaknya cukup tepat untuk menjadi iktibar bagi sekelompok masyarakat Aceh yang sedang dihebohkan dengan perdebatan seputar pro dan kontra kehadiran Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Aceh.
Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah ini merupakan butir-butir regulasi yang dibidani langsung oleh eksekutif dan legislatif dengan melibatkan para tokoh serta ulama Aceh. Tujuan utamanya adalah untuk mendorong legitimasi operasional lembaga keuangan di Aceh agar dalam pelaksanaannya senantiasa dilandasi prinsip syariah demi terwujudnya perekonomian Aceh yang Islami.
ADVERTISEMENT
Dalam setiap upaya perubahan sebuah sistem, sering kali akan mengundang perdebatan pro dan kontra, tak terkecuali dengan disahkannya qanun ini. Meski sudah disahkan sejak tahun 2018 yang lalu, diskursus seputar Qanun LKS masih menjadi topik pembicaraan hangat di tengah masyarakat.
Pihak yang pro Qanun LKS berpendapat bahwa selain sebagai realisasi upaya dalam memerangi riba, Provinsi Aceh sebagai daerah yang menjunjung tinggi Syariat Islam sudah selayaknya menerapkan sistem perekonomian yang juga berlandaskan prinsip syariah.
Sementara mereka yang kontra menganggap bahwa pelayanan dan kapabilitas lembaga keuangan syariah masih belum mampu menandingi lembaga keuangan konvensional yang harus angkat kaki dari Aceh setelah berlakunya Qanun LKS. Selain itu, sebagian lagi juga menganggap bahwa produk yang ditawarkan oleh lembaga keuangan syariah masih terbatas.
ADVERTISEMENT
Penulis sendiri tidak tertarik untuk terseret ke dalam polarisasi pro atau kontra Qanun LKS. Penulis lebih tertarik mengulik secara ringkas bagaimana kelompok yang pro ataupun kontra bereaksi terhadap narasi antitesis yang diyakininya.
Berdasarkan hasil evolusi yang berusia ratusan ribu tahun, manusia modern yang merupakan bagian dari spesies homo sapiens memang cenderung gampang bereaksi terhadap perbedaan kasatmata. Secara naluriah, kita memang lebih senang dengan kesamaan dan cenderung reaktif terhadap perbedaan.
Faktor biologis tersebut sedikit atau banyak telah ikut menyeret masyarakat kita ke dalam iklim diskusi yang destruktif, khususnya yang berkaitan dengan Qanun LKS.
Narasi-narasi bernada peyoratif merupakan hal yang lumrah ditemukan dalam berbagai diskursus seputar Qanun LKS. Di beberapa kasus, kelompok pro Qanun LKS menganggap kelompok kontra sebagai golongan yang tidak suka dengan penegakan syariat Islam di Aceh, dilabelkan sebagai kelompok liberal dan bahkan diantaranya dicap sebagai kelompok anti Islam.
ADVERTISEMENT
Sementara kelompok kontra Qanun LKS juga tidak ketinggalan senewen. Beberapa kali mereka yang kontra mengejek kelompok pro Qanun LKS sebagai kaum fanatik, berpikiran sempit dan dianggap sebagai salah satu penghambat kemajuan di Aceh.
Perdebatan seputar Qanun LKS sendiri tidak hanya terbatas di kalangan Masyarakat Aceh semata, di beberapa kesempatan penulis sempat menyaksikan sendiri sebuah perdebatan dimana keduanya; baik pihak yang pro maupun kontra bukanlah orang Aceh.
Penulis sendiri ingin mengutarakan beberapa pokok pikiran seputar kehadiran Qanun LKS di Aceh. Bagi mereka yang mendukung penerapan Qanun LKS, penulis ingin mengingatkan, sebagai bagian dari peradaban terdidik, sudah seharusnya kita mampu membedakan antara Qanun LKS sebagai produk manusia dengan kewajiban menjalankan ekonomi yang berlandaskan syariah sebagai perintah Allah SWT.
ADVERTISEMENT
Qanun LKS merupakan produk ciptaan akal budi manusia. Dalam proses rancangannya sering kali melibatkan hawa nafsu dan terdapat banyak kekurangan, sehingga menjadikan qanun ini terbuka untuk dikritisi butir-butirnya. Sementara pada titik yang berbeda, kewajiban menjalankan ekonomi yang berlandaskan syariah adalah perintah yang langsung turun dari Allah SWT. Sifatnya rigid dan tidak neko-neko.
Manusia hanya mampu menafsirkan perintah tersebut melalui standar moral compass yang bias dan pengetahuan yang serba terbatas. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika penulis menyatakan bahwa Qanun LKS bukanlah produk yang maksum sehingga dapat disimpulkan bahwa mengkritisi qanun ini bukanlah sebuah dosa.
Sementara bagi pihak yang kontra, penulis juga ingin mengingatkan bahwa tidak ada awal yang sempurna dalam memulai suatu sistem yang baru. Untuk menjadi sebuah regulasi yang matang, Qanun LKS butuh waktu untuk dibuktikan kesaktiannya. Terlalu gegabah rasanya untuk menghakimi saudara sendiri di tengah usia Qanun LKS yang masih seumur jagung, apalagi jika konteks yang didiskusikan sudah bersinggungan dengan dimensi kepercayaan.
ADVERTISEMENT
Seiring berjalannya waktu, kelompok pro maupun kontra punya kesempatan yang sama untuk menguji keabsahan setiap butir yang terkandung di dalam Qanun LKS. Perbaikan menuju kebaikan tidak akan mampu kita petik jika tidak disemai melalui kehadiran ruang dialektika yang konstruktif.
Terlepas dari pandangan pro atau kontra, Qanun LKS merupakan suatu produk hukum otentik yang terinspirasi dari khazanah keistimewaan Provinsi Aceh. Membangun agitasi antara kelompok pro dan kontra tidak akan memberikan dampak positif terhadap perkembangan qanun ini.
Sudah seyogyanya - layaknya Minke - Masyarakat Aceh mulai belajar untuk berlaku adil sejak dalam pikiran. Hal ini bisa dimulai dengan cara tidak terburu-buru mengkotak-kotakkan perbedaan gagasan sebagai suatu hal yang tendensius sehingga dapat mempertajam polarisasi.
ADVERTISEMENT
Penulis meyakini bahwa salah satu cara efektif dalam membangun peradaban adalah dengan merawat keberagaman dialektika, bukan dengan menyeragamkan pikiran apalagi dengan menunggalkan logika. Kemajuan peradaban membutuhkan kewarasan dalam bernalar, dan kebebasan menyampaikan gagasan adalah fondasi utamanya.