Konten dari Pengguna

Refleksi Kebangsaan: Apakah Pancasila Layak Disebut sebagai Ideologi Negara?

Lazuardi Imam Pratama
Keluarga Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK, Banda Aceh.
6 Oktober 2024 11:55 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lazuardi Imam Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada peringatan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober 2024, gagasan tentang Pancasila kembali menjadi topik hangat yang diperbincangkan oleh masyarakat. Di momen ini, muncul refleksi mendalam tentang peran Pancasila dalam kehidupan berbangsa, terutama terkait statusnya sebagai ideologi negara. Apakah Pancasila masih relevan di era modern yang serba dinamis ini, atau apakah sebutan sebagai ideologi negara justru menjadi paradox yang membatasinya?
ADVERTISEMENT
Pancasila, sebagai dasar negara Republik Indonesia, telah lama menjadi penopang nilai-nilai kebangsaan dan landasan ideologis dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, seiring perkembangan zaman dan perubahan sudut pandang, ada kobar perdebatan yang terus menghangat di kalangan intelektual dan tokoh bangsa tentang status Pancasila sebagai ideologi negara.
Sebagian berpendapat bahwa Pancasila, meski penting sebagai fondasi kebangsaan, sebenarnya tidak dapat disebut sebagai ideologi dalam pengertian klasik. Mereka berargumen bahwa Pancasila lebih tepat dipandang sebagai nilai-nilai dasar yang fleksibel dan dinamis, bukan sebagai ideologi statis seperti yang dipahami dalam tradisi politik Barat.
Pertanyaan tentang apakah Pancasila adalah ideologi negara atau bukan membawa kita pada diskursus yang lebih luas tentang makna ideologi itu sendiri. Apa yang dimaksud dengan ideologi? Mengapa konsep ini penting? Dan di mana posisi Pancasila dalam konteks ini?
ADVERTISEMENT

Ideologi: Sebuah Definisi dan Kontroversi

Secara sederhana, ideologi adalah seperangkat ide atau gagasan yang sistematis, yang memberikan panduan tentang bagaimana seseorang atau sekelompok orang memahami dunia dan bertindak di dalamnya. Dalam konteks negara, ideologi seringkali dipakai untuk mengarahkan kebijakan, alat kontrol dan panduan perilaku politik suatu bangsa.
Di berbagai negara, kita melihat bagaimana ideologi berperan besar dalam menentukan arah pembangunan dan kehidupan masyarakat. Misalnya, di Uni Soviet, ideologi komunisme memengaruhi semua aspek kehidupan, dari politik hingga ekonomi. Di Amerika Serikat, kapitalisme dan demokrasi liberal menjadi ideologi yang dominan.
Namun, sekat tipis yang menjadi batas antara ideologi sebagai panduan berperilaku dan ideologi sebagai dogma kaku perlu diperhatikan. Di banyak kasus, ideologi sering kali menjadi doktrin yang dianggap tidak dapat diganggu gugat, dan kondisi inilah yang dapat memicu ketegangan hingga berpotensi menjadi konflik horizontal maupun vertikal. Ketika suatu ideologi diangkat sebagai dasar negara, terkadang muncul anggapan bahwa ideologi tersebut harus diterima dengan taken for granted, tanpa kehadiran ruang kritis untuk diuji nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Di sinilah letak permasalahan jika Pancasila dianggap sebagai ideologi negara yang sudah final dan tidak dapat diganggu gugat. Jika Pancasila diperlakukan sebagai sebuah ideologi yang kaku, maka ia berisiko kehilangan kesaktian dan fleksibilitasnya untuk beradaptasi dengan perubahan zaman serta menjawab berbagai kebutuhan masyarakat. Padahal, semangat dasar Pancasila justru terletak pada nilai-nilai universal yang bisa terus berkembang seiring berjalannya waktu.

Pancasila: Sebuah Nilai Universal, Bukan Dogma

Sejak disusun oleh para pendiri bangsa, Pancasila memang dirancang untuk menjadi pedoman dalam membangun negara yang berdaulat dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial, merupakan prinsip-prinsip yang tidak hanya relevan bagi Indonesia, tetapi juga memiliki daya universal. Nilai-nilai ini dapat diterapkan di berbagai konteks, baik dalam kehidupan individu maupun komunal.
ADVERTISEMENT
Namun, penting untuk dipahami bahwa Pancasila bukanlah seperangkat ideologi dalam arti sempit. Ideologi, seperti yang kita lihat dalam sejarah, sering kali bersifat membatasi dan dogmatis. Ideologi politik seperti komunisme, fasisme, atau liberalisme memiliki batasan yang jelas tentang apa yang dianggap benar atau salah, yang sering kali menutup ruang untuk diskusi lebih lanjut.
Pancasila, di sisi lain, tidak bekerja dengan cara yang sama. Ia lebih merupakan panduan normatif yang memberikan landasan moral dan etika dalam membangun kehidupan bersama, tanpa terbelenggu pada doktrin yang kaku.
Pancasila tidak mengajarkan dogma-dogma yang tak tergoyahkan. Justru, Pancasila memberikan ruang untuk interpretasi dan penyesuaian sesuai dengan konteks zamannya. Contohnya, nilai "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia" dalam konteks modern dapat diartikan berbeda dari saat pertama kali dirumuskan. Saat ini, konsep keadilan sosial mungkin melibatkan diskusi tentang ketimpangan ekonomi global, hak-hak buruh, kesetaraan gender atau isu-isu lingkungan yang tidak terbayangkan oleh para pendiri bangsa pada masa dirumuskannya saat itu.
ADVERTISEMENT

Pancasila dalam Konteks Global

Jika kita melihat ideologi dalam konteks global, Pancasila memiliki posisi yang unik. Di satu sisi, Pancasila tidak masuk dalam kategori ideologi politik dominan seperti liberalisme, sosialisme, atau fasisme. Namun, di sisi lain, Pancasila mengandung nilai-nilai yang selaras dengan prinsip-prinsip kemanusiaan universal yang dianut oleh banyak negara di dunia.
Dalam era globalisasi, di mana batas-batas negara semakin kabur dan isu-isu global seperti perubahan iklim, migrasi, dan kesenjangan sosial semakin menuntut perhatian, nilai-nilai Pancasila justru semakin relevan. Pancasila, dengan semangat gotong royong dan persatuannya, menawarkan alternatif yang harmonis di tengah polarisasi ideologi yang sering kali memecah belah bangsa-bangsa di dunia.
Dalam konteks ini, Pancasila tidak boleh dianggap sebagai ideologi negara dalam pengertian sempit, melainkan sebagai sebuah panduan moral yang fleksibel, yang bisa membantu Indonesia untuk berperan di panggung global dengan cara yang bijaksana dan adaptif.
ADVERTISEMENT

Tantangan Kontemporer: Pancasila dan Radikalisme

Di tengah semakin maraknya radikalisme dan ekstremisme, Pancasila sering kali dijadikan tameng untuk melawan pengaruh ideologi asing yang dianggap berbahaya. Namun, di balik narasi ini, ada kekhawatiran bahwa Pancasila akan digunakan bukan sebagai panduan nilai-nilai, tetapi sebagai alat untuk membungkam kritik dan perbedaan pendapat.
Ketika Pancasila diperlakukan sebagai ideologi negara yang kaku, risiko bahwa ia dapat digunakan sebagai instrumen untuk menghimpit kebebasan berpendapat dan menghilangkan ruang diskusi terbuka akan menjadi nyata.
Radikalisme bukanlah tantangan yang bisa diatasi hanya dengan penguatan ideologi semata. Perlu ada pemahaman yang mendalam tentang akar masalah sosial, ekonomi, dan politik yang melatarbelakangi munculnya radikalisme. Di sinilah Pancasila seharusnya berperan sebagai jembatan, yang mengajak masyarakat untuk kembali kepada nilai-nilai kebersamaan dan kemanusiaan, tanpa harus menjadi alat kekuasaan yang mengekang.
ADVERTISEMENT

Pancasila sebagai Pedoman Nilai, Bukan Ideologi Negara

Dari perdebatan ini, dapat kita simpulkan bahwa Pancasila lebih tepat dipahami sebagai seperangkat nilai-nilai dasar yang membimbing kita dalam kehidupan bernegara, bukan sebagai ideologi negara yang kaku. Fleksibilitas dan universalitas Pancasila adalah kekuatannya.
Dengan menjadikan Pancasila sebagai pedoman moral yang terbuka terhadap perubahan zaman, kita dapat menjaga relevansi dan kekuatan Pancasila untuk menghadapi tantangan-tantangan di masa depan.
Pancasila juga memberi ruang bagi kita untuk berdiskusi secara terbuka tentang masa depan bangsa, tanpa harus terjebak pada dogma-dogma abstrak yang semu padahal bersifat mengebiri.
Dalam dunia yang terus berubah, kita membutuhkan pedoman yang dinamis, dan Pancasila memiliki potensi besar untuk menjadi pedoman tersebut, asalkan kita tidak memaksakannya menjadi sesuatu yang statis dan tak tergoyahkan.
ADVERTISEMENT
Kutipan dari Bung Karno ini mengingatkan kita bahwa Pancasila seharusnya menjadi mercusuar yang terus menyala, yang memberikan informasi tentang arah tanpa harus membelenggu. Pada 26 Juni 2020 lalu, saya sempat menulis artikel berjudul “Unpopular Opinion: Pancasila Belum Final!”
4 tahun berselang, argumen saya masih sama; Pancasila hanya akan tetap layak disebut sakti jika diskursus tentang keabsahan nilai-nilainya dibiarkan terus hidup dan mengalir tanpa ada pembatasan oleh tangan-tangan kekuasaan. Pancasila, sebagai kumpulan nilai-nilai luhur, harus tetap terbuka dan relevan. Pancasila bukan ideologi negara yang kaku, melainkan sebagai warisan kebangsaan yang terus bergelora di tengah perkembangan dinamika zaman.