Konten dari Pengguna

Tidak Ada yang Istimewa dari Debat Calon Walikota Banda Aceh

Lazuardi Imam Pratama
Keluarga Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK, Banda Aceh.
31 Oktober 2024 11:52 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lazuardi Imam Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: AJNN/Saifullah
zoom-in-whitePerbesar
Foto: AJNN/Saifullah
ADVERTISEMENT
“Demokrasi tanpa dialog adalah kehampaan; seperti tubuh tanpa jiwa,” kata Plato, filsuf Yunani yang memahami pentingnya perdebatan berbobot dalam mencari kebenaran. Namun, apakah kita benar-benar merasakan substansi tersebut dalam debat calon walikota Banda Aceh kemarin? Sayangnya, bagi sebagian warga yang menyaksikan, harapan bahwa debat ini akan membawa pertarungan gagasan yang berbobot seakan-akan menguap sejak sesi pertama.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Banda Aceh merindukan sebuah mimbar politis yang menawarkan pandangan yang jelas, solusi yang realistis, dan yang tak kalah penting: argumen tajam berbasis data yang mampu mendukung klaim-klaim para kandidat. Namun, alih-alih mendapatkan pencerahan, masyarakat justru disuguhi dengan sebuah panggung suram tempat mengepulnya asap sinisme dan berbagai macam serangan bersifat personal yang membuat mual warga kota.
Debat yang diharapkan menjadi ring tempat bertarungnya ide, malah turun kelas menjadi ajang saling sindir dan adu sinis penuh emosi—memperlihatkan betapa jauhnya kita dari perdebatan ideal yang diimpikan oleh Plato dalam proses membangun demokrasi.

Gagasan yang Redup di Tengah Arus Populisme

Ketika calon walikota berdiri di atas podium, bukan ide-ide segar yang mereka tawarkan, melainkan janji-janji populis yang bahkan terlalu klise untuk didengar. Dengan mudahnya para calon mengangkat isu-isu yang menyentuh hati masyarakat tanpa ada elaborasi nyata atau data penunjang yang konkret. Apa gunanya membahas isu besar jika tidak dibarengi dengan kedalaman argumen yang dapat diukur dan dipertanggungjawabkan?
ADVERTISEMENT
Saat calon yang satu menuduh calon lainnya soal “kurang kerja nyata,” usaha untuk menyodorkan angka atau data statistik yang menguatkan argumen tersebut tergolong minim. Padahal, data adalah fondasi utama dalam membuat argumen yang kuat. Di era keterbukaan informasi, ketika semua data bisa diakses dengan mudah, argumen tanpa data seperti membangun rumah tanpa pondasi. Retorika kosong menggantikan substansi, dan janji-janji kosong menggusur rencana konkrit.
Alih-alih berdiskusi dengan membawa narasi mendidik, debat ini lebih terasa seperti ajang saling tunjuk yang bersifat personal dan tidak substansif. Tidak ada yang lebih mengecewakan daripada melihat debat yang semestinya menjadi medan pertempuran gagasan, malah dijadikan panggung adu sentimen. Para calon seolah lupa bahwa publik membutuhkan pemimpin yang bisa memberikan solusi, bukan sekadar individu yang gemar mengumbar gunjing dan tidak memiliki visi yang jelas.
ADVERTISEMENT
Bagi masyarakat Banda Aceh, melihat calon pemimpin terjebak dalam perang kata-kata kosong adalah sebuah mimpi buruk sekaligus menjadi tamparan bahwa harapan akan adanya pemimpin yang visioner masih jauh dari kenyataan.

Narasi Besar yang Kandas Sebelum Tersampaikan

Kita harus jujur, di saat berbagai masalah nyata mengintai kota; seperti pengangguran, kemiskinan, kurangnya kualitas pelayanan publik hingga tata kelola yang buruk, debat walikota seharusnya mampu memberikan gambaran solusi kongkret yang bisa diharapkan. Kita menanti keberanian dari para kandidat untuk membicarakan rencana jangka panjang yang mungkin tidak populer, tetapi memang dibutuhkan oleh pembangunan kota. Namun, tidak ada satu pun narasi besar yang muncul. Semua kandidat terlihat bermain aman, memilih untuk menyelipkan kata-kata indah yang memabukkan meski secara proyektif tidak akan mengubah apa-apa.
ADVERTISEMENT

Dari Plato ke Banda Aceh: Mencari Pemimpin Berjiwa Visioner

Plato, dengan segala kebijaksanaannya, pernah berkata bahwa negara atau daerah yang baik hanya bisa dipimpin oleh mereka yang memiliki pengetahuan, visi, dan kebajikan. Saat memasuki tahapan pilkada, publik Banda Aceh sebenarnya sedang mencari-cari sosok tersebut, namun yang tersedia hanyalah bayang-bayang kosong tanpa arah. Seperti tubuh tanpa jiwa, debat ini hampa akan makna yang seharusnya mampu membangun optimisme publik.
Di akhir debat, yang tersisa hanyalah kekecewaan dan pertanyaan yang menggantung di benak banyak orang: jika dalam debat saja para calon tidak mampu bercerita dengan baik soal arah kebijakan, bagaimana kita benar-benar bisa berharap pada kepemimpinan mereka di masa depan?
Masyarakat Banda Aceh tentu berharap agar debat walikota tidak menjadi sekadar tontonan penuh janji-janji kosong dan retorika sinis, melainkan benar-benar menjadi panggung bagi pemimpin visioner yang mampu membangun narasi dan membawa kita ke arah perubahan nyata. Harapan ini akan lekas terwujud jika pikiran kritis dan budaya meritokrasi tumbuh subur di kehidupan sosial kita.
ADVERTISEMENT
Warga kota masih menyimpan harapan bahwa para calon akan memperbaiki performa mereka di sesi debat mendatang. Menyajikan diskursus yang lebih substantif dan berbobot, mengusung solusi konkret yang didukung data, serta memperlihatkan arah kepemimpinan yang jelas dan mendedahkan solusi jangka panjang.
Sebab bagi masyarakat yang merindukan perubahan, harapan akan hadirnya pemimpin baru layaknya kepala obor yang terus menanti untuk disulut dan dihangatkan dengan gagasan besar yang menginspirasi. Para calon kepala daerah harus kembali diingatkan bahwa obor yang terlalu lama dibiarkan padam tak lebih dari sebuah tongkat dingin yang akan kehilangan makna.