Konten dari Pengguna

Unpopular Opinion: Pancasila Belum Final!

Lazuardi Imam Pratama
Keluarga Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK, Banda Aceh.
26 Juni 2020 12:53 WIB
·
waktu baca 3 menit
clock
Diperbarui 1 Juni 2024 14:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lazuardi Imam Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Garuda Pancasila Foto: Antara/Muhammad Iqbal
ADVERTISEMENT
Pancasila yang selama ini dianut sebagai ideologi dalam kehidupan berbangsa bernegara kembali menjadi bahan perbincangan hangat. Kehebohan ini merupakan reaksi masyarakat atas wacana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah untuk memulai pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).
Berdasarkan Catatan Rapat Badan Legislasi Pengambilan Keputusan Atas Penyusunan Rancangan Undang-Undang Tentang Haluan Ideologi Pancasila pada tanggal 22 April 2020, penyusunan RUU HIP merupakan upaya untuk menetapkan landasan hukum yang mengatur tentang ideologi Pancasila sebagai pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Gelombang protes mengalir deras dari berbagai kelompok masyarakat. Baik parlemen maupun istana mendapat jatah kritik yang relatif sama pedasnya. Bahkan isu kebangkitan ideologi komunis pun kembali berdengung.
Banyak pihak yang menduga atau setidaknya sekadar memanfaatkan situasi untuk kembali menggoreng narasi bahwa upaya penyusunan RUU HIP merupakan gejala kebangkitan komunisme.
ADVERTISEMENT
Perdebatan tentang pembahasan RUU HIP semakin menarik ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sama-sama kompak menolak wacana yang dianggap berpotensi menggeser nilai-nilai Pancasila.
Menurut mereka yang menolak, setidaknya ada tiga poin besar yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip dasar Pancasila yang selama ini dianggap begitu sakti. Tiga poin tadi terkait dengan konsep trisila, ekasila, dan frasa ‘Ketuhanan yang berkebudayaan,’ pelarangan paham komunis/Marxisme-Lenimisme, dan yang terakhir terkait pembolehan BPIP diisi oleh anggota TNI-Polri aktif.
Namun saya tidak ingin membahas lebih jauh tentang layak atau tidaknya pembahasan RUU HIP di masa serba sulit seperti sekarang. Saya justru lebih tertarik dengan pernyataan-pernyataan sejumlah tokoh yang menyatakan bahwa Pancasila sudah final dan tidak dapat diganggu gugat keabsahannya.
ADVERTISEMENT
Mereka yang mengutarakan pernyataan tadi bukanlah tokoh sembarangan, sebut saja seperti Menkopolhukam Mahfud MD, Wakil Ketua MPR RI Evert Ernest Mangindaan, bahkan Presiden Joko Widodo juga turut menggaungkan narasi yang terkesan dogmatis tersebut.
Saya menilai arti kata final yang digunakan memiliki makna yang bias dan sangat berpotensi menjadi multitafsir. Ungkapan Pancasila sudah final bisa saja berarti tidak dapat digantikan sebagai falsafah ideologi yang dianut oleh negara, ataupun final dengan arti tertutup untuk didiskusikan dan tidak dapat lagi diuji nilai-nilainya.
Jika para pembesar tadi bermaksud menyebut Pancasila sudah final sebagai sebuah falsafah ideologi negara yang tidak dapat digantikan, ungkapan tersebut mungkin ada benarnya. Namun jika sudah final diterjemahkan dengan makna bahwa gagasan Pancasila telah terkunci sehingga tidak lagi dapat didiskusikan dan diuji nilai-nilainya, maka keyakinan tersebut adalah sebuah kekeliruan.
ADVERTISEMENT
Pengertian Pancasila sudah final tidak bisa ditanamkan secara taken for granted seperti zaman orde baru dahulu, tanpa pernah diarahkan untuk mencari tahu mengapa dan bagaimana gagasan seperti itu bisa muncul.
Catatan sejarah membuktikan bahwa para founding fathers mendirikan bangsa ini dengan serangkaian perdebatan konstruktif yang dinamis. Pada masa menjelang hingga awal kemerdekaan, pertarungan intelektual yang diuji secara argumentatif merupakan suatu tren yang begitu digandrungi oleh para tokoh pendiri bangsa.
Dalam perjuangan pergerakan nasional, sejumlah debat kerap kali hadir mewarnai perjalanan bangsa. Para pembesar era kemerdekaan saling bersikukuh mempertahankan argumen dan gagasannya. Hasil perdebatan tersebut biasanya menjadi penentu masa depan bangsa Indonesia.
Kita juga tidak boleh lupa dengan kisah pasang surut hubungan dwi tunggal Soekarno dan Hatta. Keduanya dikenal memiliki latar belakang pendidikan dan lingkungan yang berbeda. Bung Karno dikenal sebagai insinyur yang memiliki bakat menjadi orator ulung dan cenderung pandai berimprovisasi, sementara Bung Hatta adalah seorang ekonom yang dianggap dingin, relatif kaku, dan sangat mengedepankan nilai-nilai intelektualitas.
ADVERTISEMENT
Beberapa perbedaan tersebut sering terseret hingga ke ranah perdebatan yang bersifat prinsipal, termasuk dalam hal penyusunan strategi pergerakan nasional. Namun keberagaman dialektika di antara keduanya ternyata terbukti telah menjadi salah satu fondasi yang menopang kehidupan bangsa hingga saat ini.
Begitu pula pada saat mereka merumuskan Pancasila. Pancasila merupakan hasil rumusan tim Panitia Sembilan yang terinspirasi dari pidato Bung Karno pada sidang Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mulai dari 29 Mei hingga 1 Juni 1945.
Tim Panitia Sembilan terdiri dari tokoh-tokoh kelas berat seperti; Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. Alexander Andries Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar Moezakir, H. Agus Salim, Mr. Achmad Soebardjo, Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim, dan Mr. Mohammad Yamin. Kita tentu bisa membayangkan bagaimana alotnya diskursus perumusan Pancasila pada saat itu sehingga melahirkan lima butir nilai-nilai yang dianggap sakti hinga sekarang.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan beberapa penggalan sejarah tersebut, setidaknya kita juga dapat menyimpulkan bahwa perdebatan seputar perubahan dasar negara bukanlah suatu hal yang mustahil dan sangat tidak tepat jika dikonotasikan sebagai sebuah dosa besar.
Harus diakui pula bahwa para founding fathers terdahulu jauh lebih sehat dalam berkompetisi dan dewasa dalam setiap pertarungan gagasan. Segala hal yang dapat dijadikan bahan perdebatan konstruktif akan dihargai dan dipatuhi selama ditempuh melalui cara yang sesuai dengan konstitusi.
Pancasila sudah final bukan berarti sudah jumud, melainkan harus tetap digali dan dikembangkan kemampuannya untuk menjawab berbagai tantangan zaman. Gagasan tentang Pancasila bukan merupakan wahyu yang turun dari langit, Pancasila dilahirkan melalui proses dialektika yang panjang dan dinamis.
ADVERTISEMENT
Terburu-buru menyatakan Pancasila sudah final dengan maksud menutup pintu perdebatan akan menjadikan ruang intelektual publik menjadi kering kerontang, miskin inovasi, memiliki nalar yang layu, dan jauh dari keteraturan dalam berlogika, retorika, serta dialektika.
Saya sendiri meyakini bahwa kesaktian Pancasila terdapat pada kemampuannya untuk menggoda siapa pun agar tertarik menguji nilai yang terkandung pada setiap butirnya, tentunya melalui ruang dialektika yang tak terbatas.
Terbukanya ruang dialektika terhadap nilai-nilai Pancasila juga akan semakin memperjelas secara eksplisit bahwa Pancasila adalah milik seluruh Rakyat Indonesia, bukan hanya komoditas politik bagi oligarki ataupun warisan pendiri bangsa untuk kelompok mayoritas semata.
Karya yang dikritik adalah persembahan untuk keabadian. Ia akan terus mengalir dari mulut si tukang kritik, tetap berlalu lalang di pikiran orang netral, dan hidup selamanya di hati para pemuja.
ADVERTISEMENT
Diskursus tentang Pancasila harus tetap hidup, sebab ketika Pancasila berhenti diperdebatkan, maka disitulah Pancasila akan kehilangan kesaktiannya.