Konten dari Pengguna

Winter is Coming... Solidaritas Sebagai Juru Selamat di Tengah Badai Resesi

Lazuardi Imam Pratama
Keluarga Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK, Banda Aceh.
10 November 2022 21:59 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lazuardi Imam Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sansa Stark di Game of Thrones Season 7. Foto: HBO
zoom-in-whitePerbesar
Sansa Stark di Game of Thrones Season 7. Foto: HBO
ADVERTISEMENT
“When the snows fall and the white winds blow, the lone wolf dies but the pack survives.”
ADVERTISEMENT
"Ketika salju turun dan angin putih bertiup, serigala yang sendirian akan mati, tetapi sebuah kawanan akan selamat."
Begitulah ungkapan Sansa Stark, seorang tokoh fiksi yang populer di serial televisi berjudul Game of Thrones (GoT). GoT merupakan serial televisi besutan David Benioff dan D.B Weiss yang diadaptasi dari seri novel A Song of Ice and Fire karya George Martin. Film ini menceritakan tentang konflik antar kerajaan di Benua Westeros pada abad pertengahan.
Saya tertarik menjadikan serial GoT sebagai analogi pada artikel ini tidak hanya karena alur ceritanya yang sangat relate dengan realitas geopolitik global namun juga karena kutipan populer “Winter is Coming” yang sempat jadi bahan pidato Presiden Jokowi pada saat pembukaan Annual Meeting Plenary Session di Bali pada tahun 2018 yang lalu.
ADVERTISEMENT
Secara filosofis, maksud dari “Winter is Coming” bukan semata untuk mengantisipasi kedatangan musim dingin, namun juga sebagai peringatan akan potensi krisis akibat perang dan ancaman Pasukan Kematian (White Walker) yang digambarkan sebagai musuh yang sangat tangguh.
Sejak dua bulan belakangan ini, publik dibuat gusar dengan istilah resesi yang santer disuarakan oleh berbagai pihak, khususnya para ekonom. Indonesia – yang masyarakatnya belum begitu pulih akibat pandemi COVID-19 – kembali dihadapkan pada sebuah tantangan besar yang juga berdampak universal, yaitu hantaman gelombang resesi ekonomi yang diprediksi akan kita hadapi di tahun 2023 mendatang.
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia bahkan memproyeksikan beberapa tahun ke depan perekonomian dunia berada dalam masa kegelapan. Menurutnya, istilah kegelapan digunakan untuk menggambarkan kebingungan para pakar dalam memprediksi bagaimana krisis akan berakhir.
ADVERTISEMENT
Secara sederhana, resesi ekonomi dapat diartikan sebagai kondisi di mana perekonomian suatu negara sedang memburuk. Adapun indikator pemburukan tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) negatif, jumlah pengangguran meningkat, serta pertumbuhan ekonomi sektor riil merosot selama dua kuartal berturut-turut. Kondisi ini dapat mempengaruhi nilai pertukaran uang, pasar modal, hingga perekonomian nasional secara makro.
Pembahasan seputar perekonomian Indonesia sendiri merupakan diskursus multidimensional yang panjang dan meliputi banyak aspek di dalamnya. Salah satu topik pembahasan yang paling menarik adalah untuk mempelajari bagaimana upaya bangsa ini bisa bangkit dari krisis ekonomi terdahulu berkat terbentuknya solidaritas organik di tengah masyarakat.
Dejavu Krisis 1998 dan 2008
Sejak menjelang akhir abad 19, sejumlah krisis ekonomi telah dialami masyarakat global. Masing-masing krisis memiliki penyebab dan akibat yang berbeda-beda. Beberapa krisis yang cukup mengguncang stabilitas perekonomian dunia diantaranya The Great Depression di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1930-an, Krisis Jerman (1929-1939) usai Perang Dunia I, Gelembung Harga Aset Jepang (1980-an). Krisis Nilai Tukar Peso Meksiko (1990-an), Krisis Moneter (1997-1998), Krisis Keuangan Rusia dan Brazil (akhir 1990-an), Subprime Mortgage Crisis di Amerika Serikat (2008-2009), Krisis Hutang Eropa (2009-2015), hingga yang terbaru adalah Krisis akibat Pandemi COVID-19 (2020-sekarang).
ADVERTISEMENT
Dari sederet krisis tersebut, Krisis Moneter 1997-1998, Subprime Mortgage Crisis pada 2007- 2009, dan Pandemi COVID-19 di tahun 2020 telah memberi dampak besar terhadap perekonomian Indonesia.
Krisis Moneter pada 1997-1998 bermula dari krisis mata uang di beberapa negara berkembang Asia, salah satunya adalah Thailand. Krisis tersebut dengan cepat menjalar ke tanah air dan segera menggoyang perekonomian nasional di mana pada saat itu masih memiliki fondasi rapuh akibat sistem perbankan yang belum stabil, carut marut politik dalam negeri dan tingginya hutang berbentuk dollar AS.
Tidak tanggung-tanggung, krisis moneter menyeret nilai tukar rupiah dari yang awalnya bernilai Rp 2.500 per dollar AS menjadi Rp 16.900 per dolar AS. Selain itu, krisis juga melambungkan titik inflasi Indonesia hingga mencapai 77%, sementara ekonomi terkontraksi lebih dari 13,7%. Padahal sesaat sebelum krisis, menurut Laporan Tim Kajian Pola Krisis Ekonomi Kementerian Keuangan, perekonomian Indonesia sedang tumbuh tinggi hingga 7% dengan investasi sebagai motor utamanya.
ADVERTISEMENT
Lain lagi cerita pada krisis keuangan di tahun 2008-2009. Situasi krisis dipicu oleh macetnya kredit sektor properti di AS (Subprime Mortgage). Krisis tersebut kemudian memiliki andil dalam menumbangkan sejumlah perusahaan raksasa, salah satunya adalah Lehman Brothers.
Bukti bahwa krisis ini mempengaruhi perekonomian Indonesia dapat dilihat dengan melambatnya laju pertumbuhan ekonomi menjadi 4,5% pada 2009 dari tahun sebelumnya di angka 6,1%. Inflasi yang relatif rendah di angka 2,78% dan kontraksi ekonomi yang relatif tidak begitu dalam terbantu akibat struktur perekonomian nasional yang disokong oleh tingginya permintaan domestik.
Pertolongan Pertama dari Kelompok Masyarakat Bawah
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk berpenghasilan rendah hingga sedang, roda perekonomian Indonesia sangat lekat dengan siklus ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan adalah praktik ekonomi yang senantiasa bersinggungan langsung dengan para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
ADVERTISEMENT
Setelah melewati dua kali krisis ekonomi, tepatnya pada tahun 1998 dan tahun 2008, geliat ekonomi masyarakat kelas dua justru mampu menjadi penyokong sekaligus mendorong percepatan pemulihan ekonomi selama krisis.
Di masa pandemi COVID-19, meski sempat melewati fase seleksi alam ketat akibat dari melonjaknya kasus infeksi COVID-19 dan kebijakan pembatasan mobilisasi, namun praktik ekonomi kerakyatan justru menjadi guardian dalam memastikan ekonomi di level akar rumput tetap berdenyut. Konsistensi geliat ekonomi kerakyatan telah banyak membantu UMKM naik kelas meski di situasi sulit. Selain itu, tuntutan dari masyarakat juga mendorong lahirnya UMKM baru yang bermunculan akibat didasari oleh tekanan terhadap keadaan.
Dengan penghasilan yang tidak begitu besar, kelompok masyarakat bawah cenderung hanya membeli produk-produk mandatory seperti sembako dan kebutuhan harian lainnya. Barang yang dibeli biasanya memanfaatkan sumber daya lokal; mulai dari tenaga kerja, permodalan, hingga bahan baku. Hal ini memungkinkan bagi para pelaku usaha untuk menekan biaya produksi, sehingga produk yang dihasilkan dapat dijual dengan harga yang relatif murah namun tetap dapat memenuhi kebutuhan harian masyarakat.
ADVERTISEMENT
Selain itu, di masa krisis pemerintah juga membangun sentimen kebanggaan untuk menggunakan produk dalam negeri. Kedua faktor inilah yang membuat masyarakat kelas bawah relatif loyal terhadap produk lokal. Dengan demikian, masyarakat mampu mengawal perekonomian agar tetap berdenyut sehingga secara umum tidak begitu terpengaruh dengan krisis.
Yang tidak kalah menarik adalah fakta di mana geliat ekonomi masyarakat bawah tidak dipengaruhi oleh sentimen pasar modal. Itu artinya daya beli kelompok tersebut tidak bergantung pada membaik atau memburuknya tren di pasar modal.
Masyarakat kelompok bawah juga tidak mudah terpengaruh oleh persepsi kelangkaan suatu barang, sehingga intensitas untuk melakukan panic buying cenderung rendah. Hal ini membuat komoditas yang dibutuhkan jarang mengalami kelangkaan akibat dari tidak stabilnya perbandingan antara permintaan dan penawaran, sehingga menjadi barrier tersendiri terhadap laju krisis.
ADVERTISEMENT
Analisa perilaku ekonomi dari masyarakat bawah yang selama ini terpinggirkan seolah menjadi opsi nafas buatan di tengah himpitan proyeksi resesi yang kian membuat sesak. Dengan adanya konsistensi daya beli dari masyarakat kelompok bawah, denyut perekonomian akan terus terjaga.
Namun yang namanya nafas buatan tetap hanyalah sebuah pertolongan sementara. Dalam masa kritis, pemerintah dan seluruh stakeholder harus berpikir keras dalam jangka waktu terbatas untuk merumuskan jalan keluar demi menyelamatkan perekonomian nasional dari bayang-bayang resesi di tahun 2023 mendatang.
Menagih Peran Orang Kaya
Setiap negara memiliki segmentasi kelas masyarakat yang berbeda. Segmentasi tersebut biasanya terdiri dari kelompok masyarakat bawah, menengah, dan kelompok atas alias kelompok orang kaya. Jika masyarakat kelompok bawah bisa menjadi motor melalui denyut perekonomian kerakyatan, masyarakat kelompok menengah ke atas juga bisa berkontribusi melalui peningkatan daya beli belanja rumah tangga mereka yang tidak sedikit dan mengurangi pembelian produk asing.
ADVERTISEMENT
Mayoritas orang kaya di Indonesia yang memiliki latar belakang pengusaha juga bisa berperan aktif dengan cara membuka dan menjaga lapangan kerja sehingga angka pengangguran tidak meningkat. Upaya ini bisa didukung melalui kebijakan relaksasi pajak dari pemerintah agar bisnis tetap terus tumbuh.
Selain itu, aksi-aksi filantropis dari kalangan atas juga tidak kalah penting. Kegiatan berbentuk filantropis dapat mendorong agar daya beli tidak hanya dimiliki oleh kelompok menengah ke atas namun juga kalangan bawah. Terlebih jika kedermawanan tersebut ditujukan untuk mengembangkan sektor produktif di kalangan masyarakat, hal ini akan berimbas positif terhadap peningkatan kesejahteraan dan bertambahnya lapangan kerja.
Solidaritas sebagai Exit Strategy Menghadapi Resesi
Dalam serial GoT, di masa sulit semua wilayah akan bahu membahu; menyiapkan pasukan; menciptakan alat perang yang dapat memusnahkan White Walker, hingga saling berbagi persediaan pangan di saat musim dingin. Setiap kerajaan akan mengenyampingkan kepentingan politik dan sektoral demi menyelamatkan nilai-nilai kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Mengingat karakteristik dari sistem ekonomi adalah bersifat majemuk dan saling berkaitan, maka apabila masing-masing elemen hanya memikirkan individu maupun kelompoknya sendiri tanpa mempertimbangkan imbasnya terhadap yang lain, hasilnya adalah kontraksi krisis yang semakin dalam.
Berbicara soal solidaritas berarti berbicara soal hubungan. Solidaritas tidak akan tercipta tanpa adanya gerakan secara komunal. Solidaritas antar kelas masyarakat sangat dibutuhkan untuk menjadi juru selamat di tengah badai resesi.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Frans Magnis Suseno (1997) “bencana memang memaksa orang mengatupkan mulut karena pilu dan ketakutan. Namun hadirnya orang-orang dari beragam penjuru membantu mereka bangkit dari keterpurukan. Sejatinya solidaritas adalah energi bagi mereka yang sedang kesulitan.”
Krisis memang kerap mengancam keberlangsungan peradaban, namun lahirnya solidaritas adalah bukti bahwa masih terdapat percikan dari api harapan. Krisis juga menjadi pengingat bahwa melakukan kebaikan sekecil apapun untuk mereka yang membutuhkan akan menjadi sangat relevan.
ADVERTISEMENT
Solidaritas sejatinya merupakan juru selamat pada saat umat manusia dihadapkan dengan dengan aneka tantangan zaman. Solidaritas adalah modal bangsa untuk bangkit dari keterpurukan.
Krisis akibat resesi hari ini adalah gambaran dunia yang dingin di mana salju akan segera datang. Untuk bertahan di masa sulit, kita tidak memiliki alternatif lain kecuali: solidus; solidaire; solidarité; solidarity; solidaritas!