news-card-video
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Mudik dan Ketimpangan Wilayah: Cermin Sentralisasi Ekonomi?

Lazuardi Imani Hakam
Dosen Ekonomi UPI dan Peneliti Indonesia's Sustainable Economy and FInancial Advancement (ISEFA)
25 Maret 2025 12:10 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lazuardi Imani Hakam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mudik dan urbanisasi (sumber: OpenAi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mudik dan urbanisasi (sumber: OpenAi)
ADVERTISEMENT
Setiap tahun, jutaan masyarakat Indonesia melakukan perjalanan panjang dari kota-kota besar menuju kampung halaman dalam tradisi mudik. Lebih dari sekadar mobilitas musiman, mudik telah menjadi fenomena sosial yang sarat makna budaya, emosional, sekaligus ekonomi. Dalam beberapa pekan menjelang Lebaran, jalan-jalan utama dipadati kendaraan, stasiun dan terminal sesak oleh penumpang, dan bandara beroperasi nyaris tanpa henti.
ADVERTISEMENT
Sentralisasi Ekonomi dan Polarisasi Wilayah
Ketimpangan pembangunan antardaerah di Indonesia bersifat historis dan sistemik. Hingga kini, sebagian besar aktivitas ekonomi nasional masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, khususnya Jakarta dan sekitarnya. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa pada 2023, Produk Domestik Regional Bruto DKI Jakarta mencapai Rp 3.442,98 triliun, setara dengan 16,77 persen dari total Produk Domestik Bruto nasional. Jika digabungkan dengan wilayah lain di kawasan Jabodetabek, kontribusi terhadap ekonomi nasional diperkirakan melampaui sepertiga total nasional.
Dominasi wilayah tertentu sebagai pusat akumulasi modal, tenaga kerja, dan infrastruktur telah menciptakan ketimpangan spasial yang mencolok. Kota-kota besar menjadi magnet urbanisasi, sementara daerah-daerah lain, khususnya di luar Jawa, tertinggal dalam hal industrialisasi, daya saing, dan konektivitas. Arus urbanisasi ini yang kemudian "diputar balik" sementara melalui fenomena mudik tahunan.
ADVERTISEMENT
Mudik: Redistribusi Penduduk yang Sementara
Mudik dapat dibaca sebagai redistribusi penduduk yang bersifat musiman. Dalam beberapa pekan menjelang dan sesudah Lebaran, desa-desa mengalami lonjakan konsumsi dan aktivitas ekonomi yang cukup signifikan. Usaha kecil dan menengah, sektor informal, dan penyedia jasa transportasi lokal merasakan dampaknya secara langsung.
Namun, efek ekonomi ini bersifat jangka pendek. Setelah Lebaran usai, arus balik ke kota kembali terjadi. Hal ini mencerminkan bahwa aktivitas ekonomi di daerah belum cukup kuat untuk mempertahankan tenaga kerja produktif dalam jangka panjang. Ketergantungan pada remitansi dan konsumsi musiman masih mendominasi, alih-alih produktivitas lokal yang berkelanjutan.
Ketimpangan Struktural dan Tantangan Desentralisasi
Desentralisasi fiskal yang berjalan sejak era reformasi belum sepenuhnya menjawab tantangan ketimpangan wilayah. Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus memang telah menjadi bagian penting dalam pembiayaan daerah, tetapi belum optimal dalam mendorong transformasi struktural ekonomi lokal.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar PDRB di daerah masih bergantung pada sektor primer seperti pertanian dan perdagangan kecil. Infrastruktur penunjang produktivitas seperti jalan, pasar, pendidikan vokasi, dan teknologi digital belum merata. Ketimpangan ini tidak hanya memperlambat pertumbuhan daerah, tetapi juga memperkuat arus migrasi ke kota besar.
Kebijakan yang Mendorong Pemerataan Peluang
Fenomena mudik seharusnya dibaca ulang oleh para pengambil kebijakan. Ia adalah penanda spasial yang kuat bahwa pertumbuhan ekonomi belum merata. Pemerataan tidak hanya dapat dilakukan melalui transfer fiskal, melainkan harus menyentuh aspek produktivitas dan inovasi berbasis potensi lokal.
Beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan antara lain memperkuat konektivitas antarwilayah, mendorong industrialisasi berbasis sumber daya lokal, memberi insentif bagi investasi di luar kota besar, serta mempercepat digitalisasi ekonomi desa dan UMKM. Pendekatan pembangunan harus bergeser dari sentralistik ke arah distribusi peluang yang lebih adil dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Membaca Ulang Makna Mudik
Mudik bukan sekadar tradisi tahunan, melainkan refleksi dari struktur ekonomi yang masih terpusat. Selama kota-kota besar tetap menjadi satu-satunya pusat pertumbuhan, dan daerah hanya berperan sebagai penyedia tenaga kerja, maka mudik akan terus menjadi pengingat bahwa desentralisasi belum menjelma sebagai pemerataan.
Pemerintah dan perencana wilayah perlu melihat mudik sebagai indikator sistemik. Dengan membaca ulang mudik secara lebih dalam, kita dapat memahami bahwa tugas bangsa ini bukan hanya soal konektivitas, tetapi juga keadilan spasial. Mewujudkan pemerataan bukanlah tugas teknokratis belaka, melainkan komitmen politik dan sosial untuk menciptakan Indonesia yang inklusif secara wilayah.