PHK Massal APHI Melanggar Konstitusi

Konten dari Pengguna
14 Mei 2017 15:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari LBH Pekanbaru tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rencana Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 2.000 yang akan di lakukan oleh Perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan di Riau yakni Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) usai lebaran nanti merupakan bentuk kesewenang-wenangan Perusahaan dan melanggar Konstitusi.
ADVERTISEMENT
Perusahaan berkilah bahwa hal Ini dilakukan lantaran luasan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Riau semakin berkurang disebabkan Peraturan Menteri Lingkungan dan Kehutanan No. P.17/2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri LHK No. 12/2015 tentang pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Indonesia sebagai negara yang meratifikasi Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 87 Tahun 1948, menjadikan Indonesia menjadi Negara yang memiliki tanggung jawab dalam memenuhi (to fulfill), menghormati (to respect), serta melindungi (to protect) hak kebebasan berserikat buruh. Selain itu Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, beserta peraturan pelaksanaannya, saat ini merupakan aturan hukum yang menaungi peraturan mengenai hubungan antara pekerja dan pemberi kerja. Secara definitif, UU Ketenagakerjaan telah mengatur kondisi-kondisi terkait pemutusan hubungan kerja dalam suatu bab tersendiri, Bab XII tentang Pemutusan Hubungan Kerja.
ADVERTISEMENT
Apa yang akan dilakukan oleh Pengusaha APHI merupakan efisiensi yakni pengurangan jumlah buruh di dalam proses produksi pada suatu perusahaan. Dalam hal ini efisiensi dilakukan karena berkurangnya proses produksi karena berkurangnya lahan yang dapat dikelola oleh Pengusaha APHI. Mengenai PHK disebabkan karena efisiensi diatur di dalam Pasal 164 ayat (3) yang berbunyi: “Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap pekerja/ buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi...”
Namun pasal tersebut telah dianulir oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 19/PUU-IX/2011 yang menyatakan pasal tersebut merupakan perbuatan melawan hukum. Lebih lanjut dalam putusan MK tersebut, Majelis Hakim membatalkan Pasal 164 ayat (3) Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur terkait pemutusan hubungan kerja. “Pasal ini dibatalkan karena pada hakikatnya tenaga kerja harus dipandang sebagai salah satu aset perusahaan, maka efisiensi saja tanpa penutupan perusahaan dalam pengertian sebagaimana telah dipertimbangkan tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan PHK.” Ungkap Aditia B. Santoso, Direktur LBH Pekanbaru YLBHI.
ADVERTISEMENT
Menurut UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa pengusaha tidak dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa mendapat penetapan sebelumnya dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tanpa adanya penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial batal demi hukum. “UU Ketenagakerjaan telah mengatur Pengusaha, pekerja/ buruh, serikat pekerja/ serikat buruh dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja, sehingga Perusahaan terlebih dahulu melaksanakan anjuran seperti yang ada di dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja mengenai efisiensi” ungkap Adit.
Surat Edaran yang dimaksud adalah Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tertanggal 28 Oktober 2004 yang isinya: “....Namun apabila dalam suatu perusahaan mengalami kesulitan yang dapat membawa pengaruh terhadap ketenagakerjaan, maka pemutusan hubungan kerja haruslah merupakan upaya terakhir setelah diakukan upaya sebagai berikut: a) mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas misalnya tingkat manager dan direktur, b) mengurangi shift, c) membatasi/ menghapuskan kerja lembur, d) mengurangi jam kerja, e) mengurangi hari kerja, f) meliburkan atau merumahkan pekerja/ buruh secara bergilir untuk sementara waktu, g) tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya dan h) memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.” “Maka APHI tidak dapat menjadikan Peraturan Menteri Lingkungan dan Kehutanan No. P.17/2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri LHK No. 12/2015 tentang pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) sebagai alasan melakukan PHK Massal. Bahkan perusahaan terkesan menjadikan buruh/ pekerja sebagai daya tawar ke Pemerintah agar segera mencabut Peraturan Menteri LHK tersebut” tutup Adit.
ADVERTISEMENT
Narahubung:
Aditia B. Santoso (081277741836)