Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Konten dari Pengguna
Perjuangan Petani Atas Tanahnya: Apakah Petani Kita Sudah Sejahtera?
12 Desember 2024 16:20 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Leila Virdayanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setiap tanggal 24 September kita memperingati Hari Tani Nasional sebagai bentuk kepedulian bangsa akan sejarah perjuangan para petani dalam mempertahankan tanahnya. Hari Tani ini dicetuskan bersamaan dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960. Dengan lahirnya UUPA tersebut, kehidupan masyarakat Indonesia terutama para petani lebih terjamin. Namun, apakah pada kenyataannya petani kita sudah sejahtera?
ADVERTISEMENT
Pada kenyataannya, masih banyak para petani yang belum terjamin kehidupannya. Monopoli tanah yang terus terjadi mengakibatkan banyaknya petani-petani kecil kehilangan tanahnya untuk lahan produksi. Hal ini mengakibatkan mereka kehilangan mata pencahariannya sehari-hari. Hilangnya tanah mereka ini disebabkan dengan adanya Hak Guna Usaha yang kerap kali memaksa mereka untuk menyerahkan tanahnya. HGU yang terjadi secara tiba-tiba ini menimbulkan konflik yang kian memanas. Ditambah dengan ganti rugi yang tidak sebanding atas tanah yang sudah dirampas. Berdasarkan data dari Konsorium Pembaruan Agraria (KPA), konflik agraria di Indonesia tahun 2023 telah menyebabkan 241 konflik, yang merampas seluas 638.188 hektar tanah pertanian, wilayah adat, wilayah tangkap, dan pemukiman dari 135.608 KK. Sebanyak 110 dari konflik tersebut telah mengorbankan 608 pejuang hak atas tanah.
ADVERTISEMENT
Salah satu kasus perjuangan petani dalam mempertahankan tanahnya yaitu terjadinya konflik agraria antara petani Pundenrejo melawan PT Laju Perdana Indah atau Pabrik Gula (PG) Pakis yang sudah berlangsung selama 24 tahun. Dalam memperjuangkan haknya, para petani melakukan aksi jalan kaki sebagai bentuk protes.
Lalu kasus lain ada pada Perjuangan Serikat Petani Tebo (STT) dalam kasus sengketa lahan antara masyarakat Desa Lubuk Madrasah, Kabupaten Tebo, Jambi dengan PT. Wira Karya Sakti (WKS). Perjuangan ini berakhir tragis karena adanya penganiayaan terhadap petani Tebo hingga tewas.
Kasus yang tak kalah mengharukan yaitu perjuangan petani Siantar yang tergabung dalam Forum Tani Sejahtera Indonesia (Futasi) yang berusaha mempertahankan tanah mereka yang merupakan lahan eks hak guna usaha (HGU) PTPN III Kebun Bangun. Sebagian besar petani tersebut tak punya rumah dan bertempat tinggal di pondok kecil. Ketika pembongkaran lahan dan kebun petani PTPN dilakukan, anggota Futasi memohon dan menangis, agar lahan dan kebun mereka tidak disrusak. Namun, apa daya perjuangan mereka hanya sia-sia belaka.
ADVERTISEMENT
Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa masih banyak petani-petani kita yang belum sejahtera kehidupannya. Tak jarang perjuangan mereka harus berakhir dengan kepedihan yang mendalam. Tanah bukan hanya sumber kehidupan bagi mereka, tetapi juga bagian dari masa depan dan keberlangsungan hidup mereka. Hak atas tanah merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia bagi para petani. Negara wajib melindungi Hak Asasi Manusia. Pengambilalihan lahan dengan cara dirampas dan tanpa izin dari pihak yang dirugikan merupakan bentuk ketidakadilan bagi para petani.
Pengalihfungsian menjadi lahan industri tidak semestinya harus mengorbankan hak-hak para petani atas tanahnya yang sudah mereka garap puluhan tahun. Investasi yang kerap dilakukan perusahaan besar maupun pemerintah dengan alasan kemajuan membuat pihak petani dirugikan. Perjuangan petani adalah bentuk perjuangan masyarakat kecil yang seringkali diabaikan karena adanya ketimpangan yang kuat dari para penguasa. Apakah ini yang dinamakan penerapan UUPA sebagai bagian dari kesejahteraan para petani?
ADVERTISEMENT
Salah satu tujuan UUPA adalah untuk membatasi kepemilikan tanah dan memberikan hak atas tanah kepada petani kecil. Namun, dalam praktiknya pemerintah lebih berpihak pada perusahaan besar sehingga para petani mengalami kesulitan dalam mempertahankan tanahnya. Ketimpangan dalam distribusi tanah ini mengharuskan munculnya reformasi agraria yang lebih melindungi hak-hak para petani kecil. Diperlukan implementasi UUPA yang lebih berfokus pada pembaharuan kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil.