Potret Keluarga Miskin di Ambon: Tinggal di Gubuk, Kerap Menahan Lapar

Konten Media Partner
12 Juli 2019 11:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tempat tinggal Janes Michael di Air Besar, Desa Passo, Kota Ambon. Dipotret pada Kamis (11/7). Dok: Lentera Maluku
zoom-in-whitePerbesar
Tempat tinggal Janes Michael di Air Besar, Desa Passo, Kota Ambon. Dipotret pada Kamis (11/7). Dok: Lentera Maluku
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Lentera Maluku. Setelah mengalami kecelakaan pada tahun 2014, kehidupan Janes Michael (37 tahun), seorang perajin batako di Ambon, berubah drastis. Ia harus bertahan hidup di gubuk berukuran 3x2,5 meter bersama istrinya, Jacklyn Yacob (30); dan empat anaknya. Itu pun bukan lahan pribadi, tapi dibangun di atas tanah kerabatnya.
ADVERTISEMENT
Saat didatangi Lentera Maluku pada Kamis (11/7), keadaan keluarga ini memang minim perhatian, baik dari sisi kesehatan maupun pendidikan. Rumah kecil yang tidak jauh dari sungai itu berdinding pelepah sagu dan papan, atapnya bocor, sehingga ditutupi dengan terpal berwarna biru.
Mereka hanya punya satu buah lampu, itu pun sambungan listrik dari tetangganya. Bahkan, mereka tidak punya kamar mandi. Mirisnya, mereka pun harus tinggal bersama lima ekor ayam piaraan mereka di dalam rumah itu.
Ya, keadaanlah yang memaksa mereka untuk bertahan di rumah tak layak huni itu. Sebelum menjadi perajin batako, Janes Michael pernah bekerja di salah satu perusahaan kayu terbesar di Maluku, yaitu PT Gema Hutani Lestari (GHL) di Kabupaten Buru.
ADVERTISEMENT
Namun, baru setahun menjadi karyawan, dia mengalami kecelakaan berat saat menebang pohon. Kayu yang ditebang jatuh menimpanya, yang membuat kakinya patah dan mengalami gangguan pada tulang belakang. Hingga akhirnya, ia harus dirawat di Rumah Sakit Namlea, kemudian dirujuk lagi ke Rumah Sakit Umum Haulussy Ambon untuk dioperasi.
"Semua ongkos dari musibah itu ditanggung oleh GHL. Cuma waktu mau operasi, biayanya Rp 7 juta dan sudah mau diamputasi, tapi beta tidak mau. Beta percaya diri dan yakin dengan iman, bahwa beta pasti bisa jalan, beta pulang dan minta keluar. Setelah keluar itu perusahaan tidak tanggung beta lagi," tuturnya.
Janes bersama keluarganya. di ruang tamu yang dijadikan tempat tidur. Dok : Lentera Maluku
"Akhirnya beta pakai pengobatan sendiri, dengan pakai orang untuk penyembuhan, karena kakinya belum sembuh normal. Jadi pakai orang untuk penyambungan, karena kaki ini patah," lanjut Janes.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2015, Janes memulai hidupnya di Ambon, tepatnya di Air Besar Desa Passo, Kecamatan Baguala. Meskipun dalam kondisi sakit, karena belum sembuh total, ia tetap tegar, berusaha untuk mengais rezeki. Ia pun mencoba berkebun di lahan orang yang tak jauh dari tempat tinggalnya.
Kebetulan ada lahan kosong yang tidak dimanfaatkan oleh si pemilik tanah, Janes pun meminta izin untuk menanam sayur-sayuran. Hasil kebun itu dijualnya bersama istri kepada masyarakat setempat.
Namun sayang, sayur-sayuran yang ditanamnya kerap dilahap oleh sapi piaraan warga yang juga berada di sekitar kebun itu. Ia bersama istri memutuskan untuk tidak berkebun lagi, Janes terpaksa mencari pekerjaan yang lain, dengan menjadi perajin batako di Desa Passo.
ADVERTISEMENT
Bila banyak yang order, dia bisa mendapatkan maksimal Rp 60.000 per hari. Tapi jika sedikit permintaan, dia hanya memperoleh Rp 30.000 saja atau bahkan tidak mendapatkan uang sama sekali. Jadi menahan lapar bukan hal baru bagi keluarga kecil ini.
"Sebenarnya beta pengin cari pekerjaan yang lebih baik, tapi karena kondisi cacat seperti ini, peluang untuk kerja sudah terlambat. Kalau dulu masih kuat bisa ke mana-mana," katanya.
Anak-anak Janes. Dok : Lentera Maluku
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari salah satu anggota Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AMGPM), Glen Pietersz, sang istri Jacklyn pun diduga mengalami gejala penyakit ginjal. Hal ini baru diketahui saat istrinya sakit dan diperiksa ke Puskesmas beberapa waktu lalu.
"Waktu istrinya sakit, mereka menelepon saya minta tolong. Saya datang bawakan air dan makanan, serta bantu biaya pengobatan ke puskesmas, memang tidak seberapa. Kata dokter puskesmas dia (Jacklyn) ada gejala ginjal," ungkap Glen yang pertama kali membantu keluarga itu.
Rumah berukuran 3x2,5 ini berada di samping sungai, (11/7). Dok : Lentera Maluku
Meski sudah lama tinggal di gubuk itu, Janes mengaku belum pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah. BPJS pun ia tidak punya.
ADVERTISEMENT
"Kami belum pernah dapat bantuan dari pemerintah," ungkap pria tamatan SMA itu.
Kondisi dapur di rumah Janes. (11/7). Dok : Lentera Maluku
Baru pada tahun 2018, anak mereka yang pertama, Aprilia Michael, mendapatkan kesempatan bersekolah gratis di SD Teologi Kristen Desa Suli, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah. Namun, Aprilia hanya bisa sampai di kelas 1 SD saja.
Dia tidak bisa melanjutkannya lagi ke kelas dua. Karena tidak miliki biaya transportasi, Aprilia terpaksa putus sekolah. Ia hanya bisa di rumah bermain bersama adik-adiknya yang masih kecil.
Aprilian yang menggunakan seragam Sekolah merupakan bantuan dari Tim Pikom AMGPM Daerah Pulau Ambon Utara. (11/7). Dok : Lentera Maluku
Beruntungnya di tahun 2019 ini, Aprilia sudah bisa masuk sekolah lagi. Ia dibantu oleh Tim Pikom AMGPM Daerah Pulau Ambon Utara dengan mendaftarkannya di SD 77 Passo. Aprilia juga tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi, dia hanya berjalan kaki sejauh 1 kilometer lebih dari rumah. (LM1)
ADVERTISEMENT