Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Peran Perempuan dan Anak Muda Mongolia dalam Transisi Energi
7 April 2025 8:01 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Leo Galuh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dari hamparan padang rumput Mongolia yang luas, Gereltuya Bayanmunkh memulai perjalanannya menuju dunia advokasi iklim. Ketika tumbuh besar di tengah alam, ia tidak menyangka bahwa keterikatannya dengan lingkungan akan membawanya pada sebuah misi besar: mendorong transisi energi hijau di negaranya.
ADVERTISEMENT
Gereltuya Bayanmunkh adalah Co-founder, Board director, Green Dot Climate NGO di Mongolia, sebuah negara di kawasan Asia Timur.
Kini, ia menjadi salah satu suara perempuan yang penting dalam gerakan iklim Mongolia, dengan fokus kuat pada pelibatan perempuan dan anak muda.
Saya sempat berbincang cukup dalam dengan Gereltuya saat lawatan saya ke Berlin bulan Maret 2025 pada gelaran Berlin Energy Transition Dialogue di Jerman.
"Secara logis itu masuk akal bagi saya, dan di hati saya, saya masih anak kecil yang berlari-lari di padang rumput," ujarnya dengan hangat, mengingat kembali masa kecilnya yang dekat dengan alam.
Gereltuya percaya bahwa krisis iklim adalah “induk dari semua masalah” yang berkaitan dengan kesehatan manusia. Maka dari itu, mendorong transisi energi—yang ia sebut sebagai aksi iklim paling penting kedua—menjadi panggilan moral sekaligus strategi logis dalam upaya penyelamatan bumi.
ADVERTISEMENT
Perbincangan kami semakin menarik ketika saya mencoba membandingkan potensi energi terbarukan di Indonesia dengan Mongolia.
Potensi Energi Terbarukan Mongolia
Menurut Gereltuya, Mongolia memiliki potensi besar dalam sektor energi terbarukan, terutama tenaga surya dan angin. "Dari semua itu, energi surya adalah yang paling besar potensinya," jelasnya.
Namun, potensi ini masih menghadapi banyak tantangan, termasuk dominasi laki-laki dalam kepemimpinan sektor energi.
"Sejak Mongolia menjadi negara demokratis pada 1990, kami sudah memiliki sekitar 18 kementerian energi berbeda, dan tidak satu pun dipimpin oleh perempuan," kata Gereltuya. Meski begitu, ia mencatat bahwa sebagian besar pekerjaan nyata di lapangan, seperti konsultasi dan penyusunan kebijakan, justru dilakukan oleh perempuan.
"Perempuan adalah spesialis, koordinator, penulis dokumen utama yang diajukan ke lembaga besar," tambahnya. "Saya melihat banyak pemimpin perempuan dalam energi terbarukan, jadi saya punya harapan besar akan peningkatan partisipasi menuju kesetaraan gender."
ADVERTISEMENT
Anak Muda sebagai Motor Perubahan
Jika kesetaraan gender masih menghadapi hambatan struktural, partisipasi generasi muda justru mengalami percepatan. Dalam dua tahun terakhir, Gereltuya dan timnya menjalankan kampanye Earth Month, yang melibatkan lebih dari 300 anak muda di Mongolia untuk melakukan aksi-aksi kecil dalam kehidupan sehari-hari melalui aplikasi AWorld.org.
"Kami menunjukkan bahwa banyak orang di Mongolia juga melakukan aksi," jelasnya. "Dalam dua tahun itu, kami berhasil mencatat 125.000 kontribusi individu, menghemat lebih dari satu juta kilogram CO₂, 17 juta liter air, dan ribuan jam energi."
Aksi yang dimaksud termasuk hal-hal sederhana seperti mematikan keran saat menyikat gigi atau tidak membiarkan televisi menyala tanpa ditonton. "Anda tidak perlu menjadi ilmuwan, cukup peduli pada lingkungan dan berkontribusi," serunya, sambil mendorong generasi muda Indonesia untuk ikut serta.
ADVERTISEMENT
Kerja-kerja yang dilakukan Gereltuya di Mongolia sedikit banyak bisa diterapkan di Indonesia. Tentu saja perlu menyesuaikan konteks generasi muda yang ada di Indonesia.
Pendidikan dan Pelibatan Komunitas
Di Mongolia, banyak rumah tangga—terutama masyarakat nomaden—masih menggunakan sistem tenaga surya lama yang tidak efisien dan bisa berbahaya. Karena itu, edukasi menjadi krusial.
"Jika kami bisa mendidik mereka tentang inovasi terbaru dan efisiensi biaya, kualitas hidup mereka bisa meningkat," ujar Bayamon. Energi bukan hanya soal listrik, katanya, tapi juga soal kesehatan dan umur panjang.
Membangun Sistem yang Lebih Inklusif
Namun demikian, Gereltuya mengakui bahwa perubahan tidak akan terjadi tanpa perombakan sistemik dalam pengambilan kebijakan.
"Kita harus sadar dan mengatasi bias kita sendiri, lalu mulai bersikap lebih inklusif dan menghargai keberagaman dalam pengambilan keputusan," tegasnya. Ia berharap ke depan, pengambilan keputusan tidak hanya lebih cepat dan terbuka, tapi juga lebih merata dalam hal distribusi kekuasaan dan suara antara laki-laki dan perempuan.
ADVERTISEMENT
Tantangan dan Harapan
Meski semangat besar membara, Gereltuya tak menutupi kenyataan bahwa inisiatif perubahan iklim di Mongolia masih menghadapi tantangan serius, terutama soal pendanaan.
"Kami masih sangat bergantung pada dana dari luar negeri atau organisasi donor. Kami belum mengembangkan model pendanaan uji coba yang tahan terhadap perubahan iklim," katanya. Selain itu, dengan populasi yang kecil, Mongolia juga kekurangan sumber daya manusia dalam sektor ini.
Namun, optimisme tetap menyala. Dengan pendidikan yang cukup dan keterlibatan komunitas yang luas, ia percaya Mongolia bisa melibatkan hingga 300.000 orang setiap tahun dalam aksi iklim.