Melki Sedek Huang dan Sisi Hipokrit Psikologis Aktivis

Leonardo
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia - Eks Magang Media Amnesty International Indonesia dan Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
4 Februari 2024 9:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Leonardo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Melki Sedek Huang, pelaku kekerasan seksual di lingkungan Universitas Indonesia berdasarkan SK Rektor UI No. 49/SK/R/UI/2024. Foto: Kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Melki Sedek Huang, pelaku kekerasan seksual di lingkungan Universitas Indonesia berdasarkan SK Rektor UI No. 49/SK/R/UI/2024. Foto: Kumparan.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Platform media sosial X diramaikan dengan sebuah tangkapan layar mengenai Surat Keputusan Rektor Universitas Indonesia (UI) Nomor 49/SK/R/UI/2024. Surat tertanggal 29 Januari 2024 tersebut berisikan mengenai penetapan sanksi administratif terhadap aktivis Melki Sedek Huang sebagai pelaku kekerasan seksual dengan menskorsnya selama satu semester. Kasus ini sendiri telah bergulir sejak 14 Desember 2023 lalu yang diikuti dengan penonaktifannya sebagai ketua BEM UI 2023 tiga hari kemudian.
ADVERTISEMENT
Namun, sejak laporan kasus bergulir pula, Melki kerap menunjukkan berbagai perilaku defensif. Salah satu di antaranya ialah dengan mengunggah foto di media sosial bersama para aktivis lain dan tokoh politik dalam berbagai kesempatan forum diskusi. Hal ini seolah ingin menampilkan dukungan banyak orang terhadapnya dan kasus tersebut merupakan bentuk kriminalisasi politis belaka —seperti yang disampaikan oleh Olivia Magdalena, eks Wakil Ketua BEM Fakultas Hukum UI, almamater Melki.
Selain perilaku di atas, Melki juga kerap menuliskan utas atau memberikan pernyataan yang kontroversial, seperti penggunaan istilah “dikasuskan”, “digembosi”, dan “yakin tidak melakukan kekerasan seksual”. Melalui berbagai term ini pula, Melki dinilai sedang menegaskan relasi kuasa dengan korban lewat titelnya sebagai Ketua BEM UI 2023. Tak ayal, banyak komentar latah dari netizen hingga tokoh publik dan media, seperti Novel Baswedan dan Tempo, yang tidak percaya mengenai eksistensi kasus kekerasan seksual tersebut.
ADVERTISEMENT
Sikap dan perilaku yang kerap ditampilkan Melki sangat kontradiktif dengan reputasinya sebagai aktivis. Aktivis yang kerap kali digambarkan sebagai pribadi kritis dan bergerak dengan motivasi altruis malah bertindak egois untuk menyelamatkan muka serta “nama baik”. Sebagai aktivis, —dan mahasiswa fakultas hukum— Melki seharusnya paham mengenai perspektif korban dalam penanganan kasus kekerasan seksual, terutama ketika melibatkan dirinya sebagai terduga pelaku. Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya: pelanggaran moral dianggap hanya akal-akalan pihak tertentu untuk mematikan pergerakan.
Lalu, mekanisme mental apa yang sebenarnya melatarbelakangi terjadinya kontradiksi di atas, terutama pada para aktivis?

Hipokrisi dalam Aktivisme

Ilustasi hipokrisi. Foto: Deviant Art Creative Commons.
Kasus Melki sebenarnya hanya menjadi sejumput kisah hipokrisi atau kemunafikan dalam dunia aktivisme dan pergerakan. Pada tahun 2015 lalu, lima aktivis mahasiswa di Kota Semarang didakwa kasus korupsi dana bantuan sosial. Mereka mengajukan proposal kegiatan bansos dengan mengatasnamakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan menyusun laporan pertanggungjawaban fiktif. Padahal, kegiatan itu sendiri tidak pernah dilaksanakan. Di sisi lain, terdapat Appridzani Syahfrullah, eks anggota Laskar Mahasiswa Republik Indonesia (LAMRI) yang menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap lebih dari lima orang dalam rentang 2014-2021. Padahal, ia dikenal sebagai aktivis yang getol menyuarakan hak asasi manusia (HAM).
ADVERTISEMENT
Fenomena hipokrisi aktivis ini dikenal dengan istilah Efek Kredensial Moral atau self-licensing. Seperti namanya, seseorang yang mengalami bias tersebut cenderung menjadikan reputasi atau rekam jejaknya yang “baik” sebagai legitimasi untuk melakukan hal yang tidak bermoral. Sikap dan perilaku yang tidak etis seakan dapat “dinetralkan” dengan kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukan sebelumnya. Namun, sebagaimana halnya suatu kecenderungan, bias ini dapat terjadi baik secara disengaja maupun tidak.
Efek Kredensial Moral dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Seseorang bisa saja telah menyadari sejak awal bahwa sesuatu yang menjadi tujuannya merupakan hal yang tercela. Maka, ia akan berupaya membangun citra diri yang baik terlebih dahulu. Di sisi lain, seseorang dapat tidak menyadari atau mengakui perbuatannya sebagai sesuatu yang tidak bermoral sehingga cenderung bersikap defensif. Apapun bentuknya, Efek Kredensial Moral menjadi mekanisme individu untuk menciptakan penilaian ambigu terhadap perilaku yang secara gamblang banal dengan dalih-dalih rasional.
ADVERTISEMENT
Celakanya, kelompok yang paling rentang mengalami Efek Kredensial Moral justru merupakan kalangan yang dinilai “bermoral”, yaitu aktivis —terutama yang bergerak secara daring (Gomez & Kaiser, 2019). Hal inilah yang menjelaskan mengapa kasus-kasus kekerasan dalam aktivisme marak terjadi. Namun, masalah universal tersebut masih dianggap sebagai hal yang tabu —bahkan mustahil terjadi— dalam gerakan-gerakan progresif karena banyak orang terjebak dalam ambiguitasnya. Kasus yang menerpa seorang aktivis dianggap hanya sebagai sarana pengalihan isu untuk membungkam sikap kritis. Jika anggapan ini diafirmasi, Efek Kredensial Moral sedang bekerja dalam kognisi seseorang.
Jikalau demikian, apakah aktivisme masih relevan untuk dilakukan? Bukankan ketiadaan gerakan menjadi tanah subur bagi kemunculan pemerintah otoritarian?

Persepsi Superior pada Aktivis

Dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan sebelumnya, penting untuk melihat bagaimana kecenderungan lain yang kerap terjadi pada kognisi aktivis di samping Efek Kredensial Moral. Arifin dkk. (2023) menemukan bahwa para aktivis memiliki tendensi untuk merasa superior secara kognitif (sok tahu) terhadap isu yang sedang diperjuangkannya. Pada aktivis demokrasi, misalnya, terdapat tendensi untuk percaya bahwa dirinya memiliki pengetahuan komprehensif mengenai mekanisme dan kondisi demokrasi negara. Seseorang akan cenderung menyederhanakan kompleksitas dan mengambil kesimpulan secara serampangan.
ADVERTISEMENT
Uniknya, Arifin dkk. (2023) juga menemukan bahwa kecenderungan persepsi superior ini terjadi lebih besar pada aktivis-aktivis yang berperilaku ekstrem. Walaupun seorang aktivis bertolak belakang secara ekstrem dengan pihak tertentu, misalnya pemerintah, sebenarnya ia sedang mengambil sikap mental yang sama. Maka, tak jarang ironi terjadi bahwa aktivisme pada beberapa segi justru menjadi sarana regenerasi bagi pejabat sekaligus penjahat negara. Melalui persepsi superior dan ekstremitas, tak ayal jika aktivis malah mengadaptasi sifat-sifat yang justru sedang dikritiknya, seperti tidak memiliki perspektif korban, mencari simpati, dan menegaskan relasi kuasa.
Untuk mencegah terjadinya potensi ini, terdapat langkah praktis maupun sistemis yang dapat dilakukan sebagai mekanisme korektif bagi aktivisme.

Mencegah Ekstremitas Aktivisme

Ilustrasi Aktivisme. Foto: Wallpaper Flare Creative Commons
Akar utama terjadinya persepsi superior dan ekstremitas adalah ilusi pengetahuan, yaitu ketidaksadaran akan celah antara pengetahuan aktual dengan perseptual dalam diri seseorang. Ironisnya, orang-orang yang memiliki dua tabiat tersebut sangat laku dalam pasar aktivisme. Hal ini dapat ditandai dengan ramainya panggilan untuk mengisi diskusi, seminar, dan berbagai acara lain. Tentu, kecenderungan tersebut menjadi sesuatu yang kontraproduktif bagi gerakan aktivisme sendiri, seperti stigma negatif terhadap aktivis dan berbagai perjuangannya.
ADVERTISEMENT
Untuk menanggapi di atas, aktivisme perlu untuk tidak hanya kritis secara eksternal, tetapi juga internal. Autokritik ini dilakukan untuk menyadari celah pengetahuan, menurunkan ekstremitas, dan menyelamatkan aktivisme dari benalu internal.
Arifin dkk. (2023) menemukan bahwa ekstremitas seseorang akan cenderung menurun ketika ditanyakan mengenai bagaimana mekanisme sesuatu bekerja alih-alih alasan seseorang memiliki sikap tersebut. Dalam kasus Melki, jika menemukan seseorang yang mengatakan bahwa kasus tersebut merupakan alat politis belaka, silakan bertanya padanya mengenai bagaimana mekanisme pelaporan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UI. Besar kemungkinan bahwa pihak tersebut tidak mengerti mengenai detail prosesnya sehingga dapat menyadari celah pengetahuan dan menurunkan tingkat ekstremitasnya. Strategi pertanyaan ini merupakan hal yang umum digunakan oleh psikolog klinis dalam menangani masalah kesehatan mental pada seseorang.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, lebih dari autokritik praktis, mekanisme korektif yang masif dan sistemis juga perlu dimiliki oleh gerakan aktivisme.
Hal ini bukan hanya bertujuan agar ia dapat fokus terhadap kasusnya, melainkan juga mencegahnya menyebarkan pernyataan yang berasal dari bias kredensial moral, persepsi superior, dan ekstremitas dalam panggung-panggung strategis. Lebih dari pada itu, deplatforming juga menjadi sarana efektif untuk mencegah waham bersama dan melindungi korban dari eksposur terhadap pelaku yang menebar ancaman laten lewat penegasan relasi kuasa.
Deplatforming menjadi tanggung jawab moral dan pembuktian gerakan aktivisme dari tuduhan sebagai sarana regenerasi penjahat negara.
ADVERTISEMENT

Referensi

Gomez, E. M., & Kaiser, C. R. (2019). From pixels to protest: Using the Internet to confront bias at the societal level. In Confronting Prejudice and Discrimination (pp. 319-335). Academic Press.
Arifin, H.H., Lamuri, A., Milla, M.N., & Muluk, H. (2023). Belief Superiority and Cognitive Biases in Indonesia: Closer Look. [Unpublished Manuscript].