Konten dari Pengguna

Pembedayaan Nelayan Lokal: Penegasan Kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara

Leonardo
Panitera untuk mengabadikan yang fana
13 Juni 2024 17:56 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Leonardo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Laut dan Kapal Perang. Sumber: PxHere.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Laut dan Kapal Perang. Sumber: PxHere.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ketika membaca judul tulisan ini, beberapa orang mungkin bertanya, “Apa itu Laut Natuna Utara?”. Sebagian pembaca lain yang telah mengetahui mungkin juga melakukan hal serupa, “Mengapa Laut Natuna Utara, bukan Laut China Selatan?”.
ADVERTISEMENT
Laut Natuna Utara merupakan hasil perubahan nama tempat (toponimi) dari sebagian wilayah Laut China Selatan yang berada di Indonesia melalui perilisan peta baru NKRI pada tahun 2017 lalu.
Perubahan toponimi ini dilakukan oleh Pemerintah Indonesia pascakembali memanasnya tensi di wilayah tersebut sejak penangkapan kapal ikan China, Han Tan Cou 19308, oleh KRI Imam Bonjol-383 milik TNI AL. Sebelumnya, China telah melayangkan protes terkait penangkapan tersebut yang direspons oleh Presiden Joko Widodo dengan menggelar ratas di atas KRI yang sama.
Toponimi Laut Natuna Utara menyiratkan bahwa wilayah tersebut merupakan bagian utara dari Indonesia alih-alih bagian selatan dari China (Laut China Selatan). Dengan demikian, perubahan toponimi tersebut menjadi salah satu bentuk penegasan terhadap kedaulatan wilayah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun, perubahan toponimi hanyalah bagian dari rangkaian kebijakan terkait ancaman konflik di Laut Natuna Utara. Lalu, bagaimana langkah Pemerintah Indonesia selanjutnya dalam menegaskan kedaulatan wilayah?

Gambaran Konflik Indonesia-China di Laut Natuna Utara

Ketegangan di Laut Natuna Utara merupakan konflik yang bersifat multilateral. Konflik ini melibatkan beberapa negara ASEAN —Brunei Darussalam, Filipina, Malaysia, Indonesia—, Taiwan, dan China yang berkaitan dengan tumpang tindih klaim wilayah.
Akar utama dari konflik multilateral ini adalah perilisan peta oleh China pada tahun 1947 sebagai dasar klaim wilayah yang terus digunakan hingga kini. Dalam peta tersebut, China menggunakan sembilan garis putus-putus untuk mengklaim Laut China Selatan sebagai wilayah penangkapan ikan tradisional mereka. Namun, hal ini dilakukan dengan mengabaikan hukum maritim internasional, khususnya Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982.
ADVERTISEMENT
Perebutan klaim di Laut China Selatan dapat dikategorisasi menjadi lima wilayah utama, yakni Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly, Pulau Paratas, Beting Scarborough, dan Tepi Macclesfield. Namun, konflik Indonesia dengan China cenderung tidak melibatkan kelima wilayah tersebut. Klaim sembilan garis putus-putus “hanya” tumpang tindih dengan 83.000 km3 atau 30% dari luas ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara.
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, signifikansi klaim China bahkan dapat melebihi persentase tersebut hingga hampir seluruh ZEE negara terkait. Oleh karena itulah, Indonesia melalui berbagai nota diplomatiknya selalu menegaskan bukan sebagai negara pihak yang bersengketa.
Namun, seperti yang dikatakan oleh Jenderal Soedirman, “Sejengkal wilayah pun tidak akan kita serahkan kepada lawan, tetapi dipertahakan habis-habisan”, demikian pun halnya Laut Natuna Utara. Kedaulatan Indonesia di wilayah tersebut menjadi prinsip utama. Lebih rendahnya intensitas konflik Indonesia dengan China dibandingkan dengan negara-negara lain bukan menjadi alasan untuk mengabaikan kedaulatan, melainkan privilese untuk menggunakan pendekatan nonmiliter dalam penegakannya.
ADVERTISEMENT

Melirik Taktik China

Sebagai negara adidaya penyeimbang Amerika Serikat, China memiliki daya tawar yang jauh lebih kuat dibandingkan negara-negara lain dalam konflik di Laut China Selatan. Namun, di era perang proksi saat ini, pendekatan militeristik yang eksesif dan terbuka cenderung dihindari.
Oleh karena itu, China lebih memprioritaskan pemberdayaan nelayan lokal dalam melanggengkan klaimnya di Laut China Selatan. Bahkan, strategi tersebut menjadi salah satu prasyarat dan komplementer dari kebijakan-kebijakan militeristik yang diambil oleh China.
Dalam cabbage strategy atau mengelilingi pulau-pulau dengan kapal untuk mempertahankan klaim terhadapnya, China melibatkan kapal nelayan dan administrasi perikanan di samping kapal perang angkatan laut dan pengawas laut. Di sisi lain, patroli kapal-kapal militer China di Laut China Selatan selalu dibarengi dengan kapal penangkap ikan sebagai bentuk penegasan terhadap wilayah laut dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Bahkan, China memiliki strategi pertahanan yang tidak biasa bernama maritime militia, yaitu metode klaim geopolitik dengan melibatkan industri perikanan sebagai kekuatan cadangan. Strategi ini melatih para nelayan untuk menjadi milisi paramiliter dan menjalankan misi mata-mata, komunikator, dan pelaporan. Partisipasi para nelayan dalam “perlindungan hak maritim intensitas rendah” ini diganjar dengan berbagai bantuan dari Pemerintah China, seperti subsidi bahan bakar, tunjangan sosial, hingga tunjangan pensiun.
Strategi-strategi berbasis pemberdayaan nelayan lokallah yang membuat China tetap dapat mempertahankan klaimnya walaupun telah divonis ilegal oleh Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) dan Mahkamah Internasional di Den Haag pada tahun 2016.
Bahkan, China kini menjadi pemilik armada penangkapan ikan terbesar di dunia menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) dengan jumlah mencapi 564.000 kapal. Dengan demikian, Indonesia dapat mengadopsi pendekatan China ini untuk menjawab ancaman konflik dan menegaskan kedaulatannya di Laut Natuna Utara.
ADVERTISEMENT

Pemberdayaan Nelayan Lokal

Selain dapat menegaskan kedaulatan di Laut Natuna Utara, pemberdayaan nelayan lokal dapat menjadi sarana optimalisasi eksplorasi dan pemanfaatan potensi di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 711 tersebut. Saat ini, terdapat setidaknya 767.126 ton/tahun potensi sumber daya perikanan di Laut Natuna Utara yang sebanding dengan 6,11% potensi nasional.
Namun, Laut Natuna Utara hanya berkontribusi sebesar Rp1,88 triliun bagi pendapatan domestik regional bruto (PDRB) dan 5% APBD Provinsi Kepulauan Riau. Dengan demikian, setidaknya Indonesia merugi hingga Rp2,98 Triliun per tahun karena maraknya penangkapan ikan ilegal dan kehadiran kapal asing.
Untuk mengatasi problem di atas, Pemerintah Indonesia perlu melanjutkan kebijakan pemberdayaan nelayan lokal dan penguatan industri perikanan yang selama ini telah dilakukan. Peningkatan kapasitas kapal dari 3-5 GT menjadi 15-20 GT ditemukan sangat berguna nelayan dalam melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi penangkapan ikan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, membekali nelayan lokal dengan alat yang lebih efektif dan ramah lingkungan, seperti cincin mini, pancing rawai, dan pukat cumi, juga dinilai sangat membantu. Penempatan Bakamla dan TNI AL juga dapat memberikan rasa aman bagi nelayan lokal yang kerap berjumpa tidak hanya dengan kapal nelayan asing, namun juga kapal militernya.
Di sisi lain, pemerintah juga dapat mendorong perusahaan migas di sekitar Laut Natuna Utara mengalokasikan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) bagi nelayan lokal. Sebab, izin eksploitasi gas di wilayah tersebut, khususnya Blok East Natuna, telah menjadi intensif yang sangat besar bagi investor sehingga cenderung mengurangi pendapatan negara. Oleh karena itu, alokasi dana CSR bagi nelayan lokal dinilai dapat menjadi sarana sirkularisasi pemanfaatan kekayaan negara bagi masyarakat sekitar.
ADVERTISEMENT
Namun, terdapat pula kebijakan yang perlu dipertimbangkan kembali karena dinilai kontraproduktif terhadap upaya pemberdayaan nelayan lokal sebagai bentuk penegasan kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara. Mobilisasi puluhan kapal cantrang dari pantai utara Jawa yang pernah dilakukan pemerintah dapat menimbulkan persaingan horizontal dengan nelayan lokal dan merusak lingkungan. Dengan demikian, strategi pemberdayaan nelayan lokal dan penguatan industri perikanan ini diharapkan dapat menjadi jawaban terhadap ancaman konflik dan bentuk penegasan kedaulatan Indonesia terhadap Laut Natuna Utara.