Konten dari Pengguna

Potensi Koalisi Kubu Anies dan Ganjar: Politik Hipokrit?

Leonardo
Panitera untuk mengabadikan yang fana
30 Januari 2024 9:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Leonardo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo. Sumber: Instagram @aniesbaswedan dan Helmi Afandi/Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo. Sumber: Instagram @aniesbaswedan dan Helmi Afandi/Kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam kesempatan Haul (peringatan hari wafat) ke-45 K.H. Bisri Syansuri —kakek buyut Cak Imin—, Presiden PKS, Ahmad Syaikhu, mengutarakan keterbukaannya untuk berkoalisi dengan PDIP. Seperti yang diketahui, PKS dan PDIP mengusung paslon capres dan cawapres yang berbeda. PKS bersama Nasdem dan PKB mengusung paslon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (01), sementara PDIP bersasama PPP mengusung paslon Ganjar Pranowo-Mahfud MD (03).
ADVERTISEMENT
Bagi mereka yang awam dengan politik, hal di atas tentu sangat membingungkan. Bahkan, dapat menghasilkan skeptisisme dan sinisme terhadap dinamika politik dalam negeri. Bagaimana bisa kubu yang saling berlawanan dengan mudahnya menjalin persahabatan?
Akan tetapi, jika melihat secara saksama, potensi koalisi ini tidak datang dari ruang hampa. Setidaknya, sejak Putusan Nomor 90 Mahkamah Konstitusi yang melanggengkan jalan Gibran Rakabuming Raka menuju kursi cawapres bersama Prabowo Subianto (02), sudah banyak kesamaan dan penjajakan antara kubu 01 dan 03. Beberapa di antaranya adalah kesamaan narasi potensi kecurangan, komunikasi personal antartim sukses, ucapan selamat ulang tahun kubu 01 kepada PDIP, dan masih banyak lagi. Namun, inti dari semua hal tersebut ialah menjadikan kubu 02 —yang didukung oleh Jokowi— sebagai musuh bersama.
ADVERTISEMENT
Lalu, sejauh mana sebenarnya dinamika politik Indonesia menjelaskan hal ini? Apakah pernyataan “tidak ada kawan atau lawan yang abadi dalam politik” itu benar? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita akan melihat bagaimana politik sebagai ilmu pengetahuan dan praktik seharusnya dijalankan.

Kategorisasi Ilmu Pengetahuan

Aristoteles membagi ilmu pengetahuan dalam tiga bidang, yaitu teknis, teoretis, dan praksis. Klasifikasi ini didasarkan oleh orientasi tujuan, indikator kebenaran, dan objek/subjek pengetahuan. Walaupun metode penggolongan ini berasal dari zaman Yunani Kuno, namun sedikit banyak dapat ditemukan dalam klasifikasi ilmu pengetahuan dan institusi pendidikan modern saat ini.
Di sisi ekstrem pertama, yaitu teknis, manusia bertindak dengan benda mati. Oleh karena itu, orientasi keilmuan dalam bidang ini didasarkan pada produk yang dihasilkan. Kebenaran yang bersifat teknis didasarkan pada sejauh mana suatu produk memberikan manfaat atau kegunaan. Salah satu contoh ilmu dalam bidang ini adalah seni. Seorang seniman tidak membutuhkan kebenaran mutlak ataupun mematuhi kaidah-kaidah tertentu dalam berkarya. Sejauh karyanya dapat dinikmati dan menyentuh ‘hati’, seniman telah memenuhi standar kebenaran teknis.
ADVERTISEMENT
Di sisi ekstrem lain, terdapat bidang teoretis, yaitu ketika manusia bertindak dengan pikirannya sendiri. Pada bidang ini, kebenaran eksak menjadi orientasi utama yang dituju sehingga tidak melulu harus memberikan kegunaan aplikatif. Sebab, kegunaan dalam bidang teoretis justru tidak berguna. Beberapa contoh cabang ilmu dalam bidang ini adalah matematika dan fisika.
Namun, di antara kedua sisi ekstrem tersebut, terdapat bidang praksis ketika manusia bertindak dengan sesamanya. Indikator kebenaran dalam ilmu ini perlu ditentukan secara bersama atau bersifat intersubjektif agar dapat menghasilkan kebaikan bersama pula. Cabang ilmu yang termasuk dalam bidang ini adalah etika dan politik.
Jika melihat klasifikasi di atas, etika dan politik termasuk dalam kategorikan yang sama, yaitu praksis. Maka, tidak mengherankan apabila keduanya harus saling berkelindan. Namun, politik berpotensi diperlakukan dalam kategori lain sehingga meninggalkan etika seorang diri. Tentu, hal ini akan berdampak pada perubahan signifikan orientasi tujuan dan indikator kebenaran yang seharusnya diperjuangkan oleh politik dari ruang praksis. Lalu, bagaimana para politisi Indonesia memperlakukan politik dalam negerinya?
ADVERTISEMENT

Politik Indonesia dan Dinamikanya

Ganjar Pranowo dan Muhaimin Iskandar. Sumber: Dok. Istimewa
Jika melihat dinamika politik yang ada, baik di tingkat lokal maupun nasional, para politisi sering kali memperlakukan politik layaknya bidang teknis. Kita kerap menemukan pengusaha yang terjun ke politik demi mengamankan bisnis, artis yang mencalonkan diri untuk mendapatkan kekuasaan lewat ketenaran, dan masih banyak lagi. Semua hal ini merupakan contoh ketika orientasi politik didasarkan pada kegunaan tanpa mengindahkan aturan dan etika. Sejauh politik dapat memberikan kegunaan yang memuaskan, persetan dengan kebenaran.
Di sisi lain, politik juga kerap kali diperlakukan dalam konteks teoretis. Salah satu fenomena yang paling sering dijumpai di Indonesia berkenaan dengan hal ini adalah narasi ideologis untuk memilih pemimpin politik berdasarkan kesamaan agama, suku, atau etnis. Identitas seseorang menjadi faktor penentu utama bagi penilaian kapabilitas calon pemimpin tanpa melihat rekam jejak atau hasil kerjanya. Akibatnya, politik SARA, ekstremisme, dan radikalisme dapat berkembang subur tatkala politik diperlakukan secara teoretis.
ADVERTISEMENT
Untuk mengimbangi kedua kutub ekstrem teknis dan teoretis, politik perlu dikembalikan kepada konteks awalnya, yaitu praksis. Langkah awal untuk mewujudkan hal ini adalah dengan tidak sekadar mematuhi hukum, tetapi juga standar etika dalam berpolitik. Sebab, etika menjadi sumber utama ilmu praksis yang tujuan dan kebenarannya diorientasikan pada kebaikan bersama. Ibarat fisika yang bermuara pada matematika, begitu pula politik terhadap etika.
Dengan demikian, segala manuver politik, termasuk potensi koalisi dengan lawan, sudah seharusnya dilakukan secara etis. Tentu, bersatunya partai-partai yang bersebrangan secara ideologis menjadi sinyal positif bahwa politik tidak dipraktikkan secara teoretis. Namun, sensitivitas masyarakat dalam membaca dinamika politik ini sangat diperlukan.
Jawaban dari pertanyaan ini dapat kita diberikan melalui kotak suara pada 14 Februari 2024 mendatang.
ADVERTISEMENT